LUDUS & PRAGMA

5. Orang Lama Untuk Hari Baru



5. Orang Lama Untuk Hari Baru

0Keduanya berjalan tegas membelah bayu yang berembus. Kafe sisi bangunan kampus memang tempat paling cocok untuk melepas penat dan mengisi perut yang lapar. Meskipun akhir pekan datang, namun siapa sangka kalau mahasiswa tingkat akhir begini tak akan pernah lagi merasakan libur yang menghibur. Ia akan segera melakukan skripsinya bulan depan. Mengurus ini itu untuk mempersiapkan gelar sarjana yang disandang olehnya nantinya menjadi hal yang membuatnya benar-benar sibuk sekarang ini.     
0

"Lo beneran akan jadi orang kaya setelah ini?" Naila menyela di tengah keheningan yang ada. Kini menatap Raffa dengan penuh penghayatan. Remaja itu hanya mengangguk. Mengerang ringan sembari menjatuhkan pandangan untuk menatap aspal jalanan di bawahnya.     

"Lo pasti gak akan punya waktu untuk ketemu gue lagi. Orang kaya gak akan bergaul sama orang—"     

"Lo mau kerja di perusahaan papa gue?" tanya Raffa menyahut. Gadis yang ada di sisinya menoleh. Lamat-lamat tatapan itu tegas beradu dengan netra indahnya. Naila bukan orang berada. Orang tuanya hanya seorang pedagang kecil. Berkuliah di perguruan tinggi dengan label negeri terbaik di Jakarta benar-benar sebuah anugerah untuk gadis itu. Ia memang cantik, namun nasibnya tak secantik dan sebaik paras juga sikapnya.     

"Gue pengen masuk dan kerja atas kemampuan gue bukan karena ada orang dalam," kekeh Naila tertawa kecil. Ia memalingkan wajahnya. Mendapat sahabat baik seperti Raffa benar menjadi sebuah hadiah terindah yang ia dapatkan selama empat tahun terkahir ini. Banyak yang tak cocok dengannya sebab gaya hidup yang mewah dan tempat kunjungan yang harus 'wah'. Naila tak bisa menghabiskan uang kerja paruh waktunya untuk itu. Ia hanya bisa menggunakannya untuk bekal uang saku, mencukupi kebutuhan kuliahnya, dan menabung untuk masa depan. Naila bukan gadis yang suka berimajinasi menjadi seorang pemimpin besar suatu saat nanti. Bahkan untuk bermimpi saja ia tak berani. Bagaimana untuk melakukannya?     

"Lo berbakat dan lo cantik, mirip sese—"     

"Davira Faranisa?" Naila menyela. Memotong kalimat Raffa dengan ekspresi wajah lucu sekarang ini. Raffa selalu membahasnya. Menyebut nama gadis itu yang ia sendiri tak pernah tahu, benarkah Davira itu ada? Ataukah remaja jangkung yang ada di sisinya ini hanya sedang berkhayal saja?     

Naila tak pernah melihat paras Davira. Bagaimana fisik gadis itu, Raffa tak pernah mau menunjukkannya. Kala gadis itu datang dan menyambangi kamar pribadi sahabatnya ini ia pun tak menemukan jejak yang bisa membuatnya tahu bagaimana itu Davira Faranisa yang sebenarnya? Hal yang paling membuat Naila ingin bertemu dengan gadis itu adalah sebab Raffa terus saja mengaguminya bak remaja gila yang sudah tak ada warasnya sedikitpun.     

"Lo gak punya apa gitu yang bisa ditunjukkan ke gue tentang Davira Faranisa?"     

Raffa sejak diam. Tatap matanya tegas untuk menyapu setiap perubahan ekspresi yang ditujukan Naila sekarang ini. Gadis baik itu tulus ingin melihat bagaimana Davira Faranisa, dari tatapan matanya seakan memberi desakan pada Raffa untuk mengindahkan permintaannya kali ini.     

"Gak ada."     

"Cih!" pekik gadis itu melirih. Tersenyum seringai menutup kalimatnya.     

Kembali langkah kakinya tegas membelah jalanan. Menyusuri setiap trotoar bahu jalan untuk sampai ke depan kampus mereka. Raffa akan kembali ke rumahnya setelah ini. Urusannya sudah selesai. Hanya menghantar Naila untuk sampai dengan selamat di depan gerbang kampus. Tak banyak yang terucap di antara mereka berdua sekarang. Naila tetap Naila untuk dirinya, juga Davira tetap menjadi kenangan untuknya. Raffa tak tahu kapan gadis itu akan kembali nantinya? Benarkah ia akan kembali setelah sekian lama?     

Raffa tak lagi mendengar kabar dari Davira Faranisa. Sedikit menyesal sebab mengijinkan gadis itu untuk pergi lima tahun lalu. Jikalau akhirnya begini, Raffa tak akan pernah mengijinkan Davira untuk menghilang dari hadapannya. Ia tak lagi banyak bersua dengan Arka Aditya maupun Rena Rahmawati juga Kayla Jovanka. Nama yang selalu ada di papan iklan jalanan dengan wajah oriental itu selalu saja membuatnya muak. Kala melihat Kayla, Raffa teringat akan Davira Faranisa. Kala menyebut nama Arka Aditya, Raffa selalu terbayang akan wajah gadis cantik yang dulunya amat ia cintai.     

Jika memang tak bisa menggapai perasaan Davira untuknya, setidaknya Raffa ingin melihat Davira untuk satu kali saja. Melepas rindu yang menggebu dengan pelukan hangat layaknya seorang pria yang berjumpa dengan wanitanya.     

"Makasih udah antar gue sampai sini." Suara ringan menghentikan langkah Raffa. Remaja berkemeja rapi dengan tas punggung pekat itu menoleh. Menganggukkan kepala ringan sembari tersenyum manis. Raffa menyukai senyum Naila. Mirip seperti Davira Faranisa.     

Bagaimana bisa rasa cinta yang ada di dalam dirinya tak surut meskipun lima tahun sudah tak pernah bersua?     

••• LudusPragmaVol3 ••••     

Pandangannya mengudara. Menatap bentangan cakrawala yang luas. Tegas langkahnya membelah jalanan yang ada di bawahnya sekarang ini. Selepas turun dari halte bus di sisi perempatan, Raffa memilih berjalan kaki. Ia ingin menikmati udara sore. Berbagai macam kalimat berteori yang ada di dalam laporannya untuk si dosen cerewet benar-benar membuat dirinya gila sekarang ini. Ia ingin menatap alam. Menyambut senja indah bersama semburat awan jingga di atas sana. Raffa tak ingin melakukan apapun sekarang ini. Ia akan kembali ke rumah mamanya untuk bersua dengan wanita itu.     

Bertemu mamanya di akhir pekan begini adalah hal yang paling disukai oleh remaja itu. Tinggal bersama papanya tak membuat Raffa benar nyaman dan bahagia. Si pria dewasa berkumis itu hanya ambisi untuk mengejar uang dan membangun perusahaan bergedung tinggi. Raffa memang merasakan imbasnya. Hidup mewah serba berlebihan tanpa ada rasa kurang yang menghantui. Segala ia dapatkan dengan mudah. Hanya satu yang tak bisa ia dapatkan sekarang ini, kasih sayang dan kehangatan. Dari mamanya? Tidak, manusia bukan tempatnya cukup dan bersyukur. Rasa kurang akan selalu ada sebelum semua yang diinginkan datang padanya.     

"Kita bertemu akhirnya." Seseorang menyela dirinya. Langkah kaki yang tercipta kini dipaksa untuk berhenti. Menyambut kedatangan seseorang dari sisi perempatan jalan. Ia berjalan dengan arah berlawanan. Senyum manis mengembang ditujukan jelas untuk Raffa kali ini.     

Parasnya tak banyak berubah. Hanya kesan dewasa sedikit menempel di atas fisiknya. Arka yang berdiri di depan Raffa sekarang bukan remaja jangkung seusia dengan kakaknya dulu. Ia sudah berusia kepala dua. Menjadi seorang pengacara muda di awal karir? Ya, hanya itu yang diketahui oleh Raffa selama satu tahun terakhir ini.     

"Gak menyapa?" Arka berbasa-basi. Tersenyum kuda sembari meraih pundak remaja yang hanya setinggi telinga cupingnya itu.     

Raffa diam. Terakhir kali dirinya bertemu dengan Arka Aditya adalah setengah tahun yang lalu. Ah tidak, mungkin lebih. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya berbicara dengan pemuda satu ini. Alasannya cukup jelas, sebab ia tak menyukai Arka Aditya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.