LUDUS & PRAGMA

6. Janji lama



6. Janji lama

0Hanya diam tak banyak bersuara. Menatap gelas besar berisi minuman dingin yang dipesan oleh Arka Aditya untuk dirinya beberapa menit yang lalu. Raffa tak mau menatap. Terus menoleh ke arah sisi lain untuk menghindari kontak mata dengan laki-laki jangkung yang duduk rapi di depannya sekarang ini. Sudah lama sekali Arka tak bersua dengan adik mantan teman dekatnya ini. Dirinya terlalu sibuk untuk mengurus ini itu guna memapankan hidupnya.     
0

Sekalinya bertemu, harus dalam keadaan seperti ini. Arka paham mengapa Raffa membencinya sekarang ini. Tak menyukai dirinya sebab satu alasan yang kuat, yaitu karena mempercayai dirinya ia kehilangan Davira Faranisa. Memang tak logis kalau dipikir dengan nalar yang baik. Akan tetapi, Arka paham mengapa Raffa bisa berpikir demikian. Ia terlalu takut untuk kehilangan Davira Faranisa.     

"Katakan apa yang ingin kakak katakan. Jangan membuang waktuku di sini." Nada bicara Raffa terdengar dingin sekarang. Benar-benar tak menyukai kehadiran Arka sekarang ini.     

"Minum dulu. Setidaknya kita harus berbasa-basi ini itu untuk mengakrabkan suasana." Arka menyela. Melempar senyum ramah sembari mendorong sepiring kentang goreng yang ada di tengah meja.     

"Ngomong-ngomong siapa yang jalan sama kamu tadi, pacar kamu?" Arka kembali membuka mulutnya. Menitikkan netra indah miliknya tepat mengarah pada remaja yang masih diam enggan memberi jawaban untuknya. Raffa tak menyukai Arka, itulah fakta yang menjadi alasan segala sikap dingin yang ditunjukan oleh Raffa sekarang ini.     

"Dia udah punya tempat untuk kerja? Kantor aku menyediakan satu tempat untuk lulusan baru. Aku bisa merekomendasikan dia kalau boleh."     

"Benarkah?" Raffa kini menyahut. Sukses! Apa yang dikatakan oleh Arka sukses mencuri perhatian remaja jangkung yang ada di depannya. Ia paham benar kalau Raffa terlalu menyayangi gadis itu. Naila bukan namanya? Ya, Arka mengetahui itu. Ia menang lama tak bersua dengan remaja satu ini. Akan tetapi Arka mengawasi Raffa dengan benar. Sebab Adam sudah tak bisa melakukannya lagi.     

Arka menyayangi Raffa seperti adik kandungnya. Tak ingin remaja itu terluka adalah alasan kuat mengapa ia mengintai segala gerak gerik yang dilakukan olehnya. Mulai dari ia selalu datang ke bandara tiap akhir pekan dan menunggu sendirian di halte bus. Berteman dengan seorang gadis cantik yang selalu ada di sisinya. Kisahnya sedikit mirip dengan Arka. Menyayangi seseorang namun hatinya menolak untuk itu sebab keadaan tidak mendukungnya sekarang. Hati Raffa untuk Davira, namun raganya bersama Naila. Sama seperti dirinya sekarang. Hatinya untuk Davira, namun raganya nyaman bersama Rena.     

"Tentu. Aku akan merekomendasikan dia nanti."     

Raffa kini tersenyum singkat. "Terimakasih."     

"Jawab pertanyaan aku. Dia pacar kamu?" tanya Arka mengulang. Ia tak ingin kehilangan satu informasi penting lagi.     

"Hanya teman dekat. Aku masih menyukai Kak Davira," ucapnya tegas. Memalingkan wajah tak ingin berkontak mata dengan Arka terlalu lama.     

"Davira sudah menganggapnya sebagai adiknya. Menyimpan rasa itu hanya akan membuat dia kecewa." Arka menyahut. Kini menarik gelas besar berisi jus buah yang dipesannya beberapa menit yang lalu. Ia menyeruputnya kasar. Cukup lama diam membentang di antara dirinya dan Raffa sekarang. Tak ada yang ingin dikatakan oleh Arka untuk saat ini.     

Menanyakan kabar Adam? Tidak! Raffa pasti tak ingin membahasnya. Ia sudah pernah mencoba itu beberapa bulan yang lalu. Menganggap bahwa seseorang akan berubah dalam hitungan bulan saja adalah kesimpulan yang paling bodoh. Ia hanya akan membuat Raffa semakin tak nyaman duduk dengannya jikalau menyingung pasal kondisi kesehatan sang kakak sekarang ini. Jadi biarlah Arka yang mencari tahu sendiri. Kemampuannya menjadi seorang pengacara akan ia gunakan dengan baik.     

"Kamu kesal karena Davira tak benar kembali selama dua tahun?" To the point! Arka kini mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hatinya. Egois memang kalau membenci dirinya hanya sebab itu. Namun mau bagaimana lagi, rasa kehilangan seseorang mampu membuatnya menjadi aneh dan egois seperti Raffardhan Mahariputra Kin sekarang ini.     

"Aku hanya muak dengan keadaan." Remaja itu diam sejenak. Kini tatapan ia berikan pada Arka Aditya. Aneh, sebab baru pertama kali dirinya mendengar Raffa mengeluh pasal kehidupan. Remaja itu tergolong remaja yang diam. Menguasai dan tenang adalah cara pembawaannya untuk menghadapi dunia. Namun sekarang? Benar kata orang kalau batas sabar dan mengerti memang benar-benar ada.     

"Adam? Bagaimana dengan Adam?" tanya Arka melanggar batasannya. Baru saja ia menyimpan semuanya sendirian, namun mendengar Raffa mengatakan itu membuatnya ingin masuk ke dalam suasana yang tercipta.     

"Dokter bilang, semua kesembuhannya bergantung pada apa yang dia inginkan. Singkat kalau Kak Adam ingin sembuh maka ia bisa sembuh. Tapi sekarang ia bahkan tak punya keinginan untuk itu. Bukan hanya aku yang terpuruk dengan kepergian Kak Davira, tapi juga kakak aku." Raffa menjelaskan panjang lebar. Situasi yang tak pernah diketahui oleh dunia. Pasal Adam Liandra Kin yang menghentikan mimpinya menjadi seorang atlet muda.     

"Dia gak mau terapi?"     

Raffa kini tersenyum singkat. Tajam dan menyeringai hebat adalah kesan senyum yang ia berikan untuk Arka. Banyak yang berubah selepas kepergian Davira. Terlalu cepat perubahan yang ada memang, tanpa mau memberi sedikit celah untuk dirinya bisa bernapas lega. Mendengar Davira benar pergi kala itu sudah menjadi hantaman tersendiri untuk Raffa, lalu selepas itu ia mendapat panggilan dari nomor darurat yang mengatakan bahwa sang kakak mengalami kecelakaan parah. Hantaman demi hantaman seakan datang padanya bertubi-tubi. Tak mau berhenti dan terus menghampirinya. Puncak berada kala surat perceraian dilayangkan oleh sang papa. Membuatnya terpisah dengan mama juga sang kakak kandung adalah luka baru yang menumpuk di atas luka lamanya.     

Bukankah semesta terlalu berlebihan dalam memberi cobaan untuk Raffa? Memang benar ia pantas dihukum sebab mengkhianati sang kakak dan memisahkan dua orang yang saling mencintai. Akan tetapi, tetap saja semuanya terasa berlebihan.     

"Haruskah aku bertemu dengan kakak kamu?" tawar Arka memberi 'obat penenang' untuknya.     

"Entahlah. Kak Adam terlalu keras kepala sekarang ini. Lima tahun tak bisa membuatnya sadar bahwa Kak Davira tak akan pernah kembali padanya lagi. Rasa bersalahnya terlalu besar. Selepas kepergian Kak Davira dan sadar dari komanya Kak Adam menangis."     

"Aku tahu." Arka menyahut. Menundukkan pandangan sembari menghela napasnya ringan.     

"Aku menunggu Kak Davira setiap akhir pekan di bandara dan di halte bus. Berharap bahwa dia akan datang dan mengubah sebuah kekeliruan ini. Tapi aku tak mendapatkan apapun dari usahaku."     

"Aku juga tahu itu," ucap Arka kembali menyela.     

Raffa kini memincingkan matanya tajam. Menatap laki-laki yang mulai kembali mengarahkan sentral mata teduh untuk dirinya.     

"Kakak mengikuti aku?"     

"Semacamnya." Ia mengangguk ringan. Tersenyum kaku menutup kalimatnya.     

"Kakak tahu semuanya dan diam aja? Kapan kak Davira akan kembali?! Pasti kakak berhubungan dengan Kak Davira 'kan selama ini?" cecarnya pada Arka yang kembali diam sembari menganggukkan kepalanya ringan. Tak banyak yang dikatakan oleh Davira memang. Gadis itu tak pernah mau memberi tahu kapan ia akan kembali dan benarkah ia akan kembali?     

"Dia pasti akan kembali," ucapnya melirih.     

"Lima tahun lalu kakak mengatakan itu!" cela Raffa meninggikan nada bicaranya kesal.     

"Karena dia adalah Davira Faranisa?" imbuh Raffa kembali mencecar.     

"Karena dia sudah berjanji akan kembali."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.