LUDUS & PRAGMA

7. Arti dari Keluarga



7. Arti dari Keluarga

0Suasana hening terasa kala ia menginjakkan kakinya untuk masuk ke halaman rumah. Tak seperti rumah mewah milik sang papa yang dibangun baru di sisi padatnya kota. Ketika Raffa datang banyak pelayan yang menyambutnya. Ramah dan bersahabat. Senyum selalu ada kala ia berbicara untuk memerintah. Awalnya menyenangkan, sebab hal sepele saja tak perlu dilakukannya seorang diri. Raffa banyak diberi fasilitas gila oleh sang papa karena katanya, ia adalah berlian berharga untuk menjadi penerus perusahaan satu-satunya.     
0

Adam sang kakak? Tidak! Papanya tak begitu akur dengan sang kakak selepas peristiwa perselingkuhan yang dibongkar oleh anak pertamanya itu. Niat Adam memang baik, membantu sang mama agar hidup lebih bahagia lagi. Akan tetapi untuk papanya, niat Adam menghancurkan semuanya.     

"Kamu sudah pulang?" Hanya akan ada satu suara yang datang menyambutnya sekarang ini. Meskipun satu, namun ribuan kebahagiaan datang dibawa oleh wanita itu. Sang mama kandung.     

"Mama lembur lagi?" Raffa menyela. Menatap wanita berbalut gaun panjang yang jatuh tepat di atas mata kakinya. Ia menggeleng ringan. Meraih tubuh sang putra lalu mengusap punggungnya lembut.     

"Jangan terlalu banyak bekerja. Katakan apa yang ingin mama beli, Raffa akan membelikannya." Remaja jangkung itu kini membalas senyum sang mama. Menatap teduh paras lesu wanita paruh baya yang ada di depannya sekarang ini. Raffa membenci tinggal bersama papanya. Ia tak mendapat apa yang seharusnya ia dapatkan dari mama kandungnya. Kasih sayang dan kenyamanan. Cara berpikir laki-laki tua memang berbeda. Ia rasa setelah memberikan fasilitas gila pada sang putra akan membuatnya nyaman dan bahagia. Padahal kenyataannya? Nihil!     

"Simpan uang jajan kamu untuk menabung," tutur lembut.     

"Mama sendirian aja?" Raffa menyahut. Kini lensa indahnya menyapu setiap bagian ruangan. Di sudut pintu itu biasanya sang kakak berada. Duduk rapi sembari menikmati secangkir kopi yang seduhkan untuk menemani paginya.     

"Kakak gak ada?" susulnya kala sang mama hanya diam bungkam. Wanita itu kini melangkah. Menjauh dari posisi Raffa berdiri. Ia mengambil sesuatu. Sebuah tote bag kecil dengan isi penuh di dalamnya.     

"Berikan untuk kakak kamu," katanya memerintahkan. Remaja jangkung yang dilempari pertanyaan hanya diam. Sejenak mematung sembari menatap mamanya penuh pertanyaan. Satu kalimat tanya yang dilemparkan olehnya untuk sang mama saja belum terjawab, sekarang mamanya sudah memberi perintah baru yang tak bisa dimengerti olehnya?     

"Ah, kakak kamu ada di galerinya. Dia akan mengadakan pameran satu minggu lagi." Ia menjelaskan. Seakan paham dengan apa kiranya yang ada di dalam kepala putranya itu.     

"Sendirian?"     

"Dia pergi bersama supir. Tapi kakak kamu meminta supir untuk meninggalkannya karena dia akan bermalam di galeri. Jadi antarkan itu untuk Kak Adam." Lagi-lagi suara itu memberi penjelasan singkat. Raffa kini menganggukkan kepalanya. Jujur saja jika bukan perintah dari sang mama ia tak akan pernah mau datang memperdulikan kakaknya lagi. Adam membuat Davira pergi. Arka mengijinkan gadis itu untuk menjauh dari Indonesia. Itu sebabnya Raffa tak menyukai kehadiran dua laki-laki menyebalkan itu.     

"Antarkan juga baju ganti untuknya. Dia mungkin—"     

"Kak Adam pasti sudah bisa jalan sendiri," sahut Raffa memotong kalimat dari mamanya. Wanita di depannya hanya tersenyum ringan. Mengusap pundak si putra keduanya itu. Ia paham benar bagaimana perasaan sang putra terhadap kakakk kandungnya sekarang. Kepergian Davira dan perceraiannya dengan sang suami tentu menjadi pukulan tersendiri di masa labil seperti ini.     

"Baik-baik sama Kak Adam. Bagaimana pun keadaannya dia tetap kakak kamu."     

Raffa menghela napasnya kasar. Baiklah, ia mengerti. Hanya cukup menganggukkan kepala untuk menyetujui dan bergegas pergi lalu kembali lagi. Kakaknya sungguh sangat merepotkan sekarang ini.     

"Ngomong-ngomong ... ada kabar tentang Davira?" Ia kembali menyahut. Menarik pundak sang putra yang baru saja ingin pergi dari tempatnya.     

"Kalau ada aku pasti gak akan di sini," ucapnya menjawab singkat. Bukan hanya dirinya yang mencari dan mengkhawatirkan Davira, namun juga mamanya. Setiap saat ia bertemu dengan Raffa selalu saja pertanyaan itu yang menghampirinya.     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Sapuan kuas indah membentuk lukis wajah seseorang di atas kanvas putih. Paduan warna yang pas menjadi point penyempurna lukisan laki-laki yang duduk rapi di atas kursi roda miliknya itu. Sesekali bibirnya melengkung sempurna kala netranya kembali menyapu setiap sudut lukisan yang diciptakan oleh jari jemari indahnya sendiri. Ini bukan lukisan yang pertama, namun sudah puluhan lukis wajah seorang gadis yang sama. Davira Faranisa.     

"Selamat sore ...." Sebuah suara menginterupsi. Menarik pandangan laki-laki yang baru saja ingin kembali mengoleskan warna di atas lukisannya. Ia menoleh. Tepat mengarah pada pintu utama yang baru saja membunyikan lonceng nyaring sebab seseorang mendorongnya.     

Ruangan sedikit gelap, sebab ini jam galeri miliknya tutup. Tak ada pelanggan yang datang untuk membeli lukisan atau memesan sekarang ini. Jikapun ada akan memalui pesan singkat atau panggilan suara sebab siapapun yang membaca tulisan tutup di pintu kaca itu pasti akan tahu, bahwa toko lukisan tak lagi menerima pelanggan datang sekarang ini.     

"S--siapa?" tanyanya lembut. Seorang gadis bersurai panjang datang berjalan mendekat. Menerobos kegelapan untuk menghampiri dirinya yang ada di sudut ruangan.     

"Kita sudah tutup berapa—" Ucapannya terhenti kala netra indahnya mulai mengenali paras gadis cantik berkemeja rapi yang datang untuk menemuinya malam ini.     

"Lo lupa sama gue? Padahal kita baru berpapasan minggu lalu," ucapnya menyela. Tersenyum ringan sedikit canggung.     

"Rena," sapanya memanggil.     

Dia adalah Adam Liandra Kin. Yang menjadi topik utama selama lima tahun terakhir ini. Banyak yang terkejut mendengar kondisinya sekarang ini. Bukan lagi Adam yang super duper keren dengan gaya yang 'cool', namun Adam yang sekarang terlihat lebih sederhana dan tenang. Gayanya tak seperti dulu lagi. Kursi roda itu membatasi gerak langkah kakinya.     

Adam bukan Adam yang dulu lagi. Lima tahun mengubah dirinya menjadi pribadi yang tertutup dan tenang menguasai keadaan yang sedang terjadi. Kecelakaan lima tahun membuatnya harus duduk rapi tak lagi mampu berlari atau berjalan untuk mengejar mimpi. Ya, Adam lumpuh.     

Tidak, bukan lumpuh permanen yang membuat kedua kakinya hilang. Adam hanya dinyatakan lumpuh sementara. Setidaknya semesta sedikit memberi kesempatan untuknya untuk kembali memperbaiki keadaan yang sudah kacau. Meskipun begitu, Adam tak benar mengindahkan karunia-Nya.     

Dokter mengatakan bahwa ia bisa sembuh. Sangat bisa. Namun tergantung kemauan dan keinginan serta semangat remaja itu untuk kembali sembuh. Semuanya akan kembali ke tempatnya. Adam bisa berjalan dan berlari lagi, jika laki-laki itu menginginkannya.     

Sayangnya, Adam hanya ingin mengikuti alur hidupnya sekarang. Tak ada ambisi untuk kembali sebab Davira tak lagi ada di sisinya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.