LUDUS & PRAGMA

8. Harapan Di Ujung Hari



8. Harapan Di Ujung Hari

0"Long time no see, Adam." Ia tersenyum manis. Mengambil satu tempat kosong untuk duduk di sisi teman lamanya itu. Rena dulunya sering menjenguk Adam. Tepat saja galeri ini dibuka dua tahun lalu. Ia menyukai setiap lukis indah yang dihasilkan dari jari jemari pemuda satu ini. Setiap goresannya seakan menyimpan keunikan tersendiri.     
0

"Lo yang lama gak datang ke sini, long time no see gak cocok buat gue." Adam terkekeh kecil. Meletakkan kuas yang ada di dalam genggamannya. Memutar kursi roda untuk menatap Rena dengan benar.     

Ia menatap Adam dengan sayu. Jika mengingat semuanya di masa lalu sedih rasanya. Sebab ia hanya menjadi penonton bisu tanpa mampu berbuat apapun. Sekarang Rena berdiri di pihak netral. Tak ingin berada di sisi siapapun untuk mendukung opini macam apapun. Ia ingin menyikapi semuanya dengan dewasa. Perginya Davira, berubahnya Raffa, diamnya Arka, dan kondisinya Adam sekarang ini. Semua pasti ada tujuan dan artinya. Semesta mungkin saja sedang menyiapkan alur terbaik untuk kisah ini nanti.     

"Gue sibuk untuk menyiapkan ini itu."     

"Selamat atas kerjanya. Gue denger lo diterima di perusahaan." Adam menyahut. Mendorong air putih yang selalu ia siapkan untuk menerima pelanggan yang datang ingin memesan.     

"Thanks." Rena tersenyum manis. Kembali menatap Adam dengan penuh penghayatan.     

"Lo denger kabar dari Davira?" tanya laki-laki itu dengan penuh kehati-hatian. Gadis yang ada di depannya kini menghentikan aktivitasnya. Menatap dengan benar laki-laki yang menunggu jawaban dari dirinya sekarang ini. Rena tahu kalau Adam pasti berharap jawaban positif darinya. Setidaknya cukup menganggukkan kepala dan mengatakan iya. Tak perlu banyak menjelaksan dari mana informasi itu berasal. Namun bagaimana ini? Dirinya sendiri saja juga berharap Davira memberi kabar baik untuknya.     

"Nihil," jawabnya melirih. Tentu, Adam akan kecewa dengan ini. Sangat kecewa!     

"Mungkin hanya Arka yang tahu. Tapi sejak saat itu, kita gak pernah berbicara secara intens. Hanya bertemu dan sekali pandang lalu menyapa. Keadaan benar-benar berubah, 'kan?" Ia tersenyum manis untuk mengakhiri kalimatnya. Benar, semua berubah di luar kendalinya. Adam tak lagi bisa berjumpa dengan Davira. Juga, gadis itu benar-benar menutup komunikasi darinya.     

Rena menganggukkan kepalanya. Tak ingin masuk lebih dalam lain ke dalam pembicaraan yang mungkin akan terasa berat dan banyak meninggalkan luka, dirinya memalingkan wajah. Tepat pada lukisan besar setengah jadi yang baru dikerjakan oleh Adam sebelum ia datang dan menyela. Meskipun belum sempurna, namun Rena tahu itu adalah wajah cantik Davira Faranisa.     

"Itu lukisan yang ke berapa?" tanya Rena menunjuk.     

Adam menoleh. Tepat pada ujung jari telunjuk gadis yang ada di depannya. "Dua puluh tiga mungkin dua puluh empat. Gue terlalu sibuk belakangan ini. Banyak yang memesan. Jadi gak bisa buat lagi."     

Gadis yang mendengarnya hanya tersenyum. Dari Adam ia banyak belajar, bahwa cinta sejati tak selama lurus dalam perjalan. Terkadang perlu jatuh, tersungkur, bahkan dalam keadaan sekarat sekalipun baru seseorang akan sadar betapa ia mencintai orang itu.     

"Lo yakin Davira masih begitu?" tanya Rena berbasa-basi. Sukses mencuri perhatian Adam yang kembali menoleh untuk menatapnya.     

"Maksud gue ... lima tahun berlalu. Wajah seseorang bisa saja berubah. Entah matanya yang membesar, pipinya yang menjadi tirus, atau mungkin ada bagian luka di wajahnya. Kita tak pernah tahu bukan?" Rena menjelaskan. Tersenyum singkat terkesan benar-benar dilaksanakan.     

Adam mengangguk. "Lo benar. Tapi hanya kenangan itu yang gue punya."     

"Adam," panggil Rena kembali menyela.     

"Lo berharap Davira kembali sebagai apa?" tanyanya membuat lawan bicaranya itu bungkam sejenak. Ia menatap Rena dengan penuh makna. Gadis itu sedikit banyak membantunya untuk terus bersemangat di tengah kondisinya yang begini.     

"Teman? Sahabat? Pacar? Orang baru? Orang lama? Gadis baik?" cecar Rena kala cukup lama menunggu Adam untuk membuka mulutnya.     

"Sebagai Davira Faranisa," ucapnya singkat.     

"Bagaimana jika dia kembali bersama tunangannya?" Seseorang menyala. Masuk ke dalam ruangan dan berjalan tegas. Keduanya menoleh. Tepat pada seorang remaja jangkung yang meletakkan kasar tote bag bersama tas kecil tempatnya menyimpan pakaian sang kakak untuk malam ini.     

"Raffa?!" Rena menyela. Remaja satu itu memang tak ada sopan santunnya sama sekali!     

"Maksud Raffa bisa saja 'kan? Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk hidup sendiri di negeri orang." Ia melanjutkan. Menatap sejenak sang kakak yang diam mematung. Adam tersenyum miring. Mulai menatap fokus segala langkah Raffa yang kini berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan tempatnya beristirahat kalau ingin menginap galeri miliknya.     

"Gue mau menyusul Raffa. Buat diri lo nyaman, oke?" Adam menyela diam gadis yang ada di depannya. Menutup kalimat dengan senyum manis kemudian mendorong kursi roda dan menghampiri sang adik kandung. Masuk ke dalam sebuah ruang pribadi miliknya.     

Adam Liandra Kin menatap sang adik yang ada di depannya. Mengeluarkan segala yang ada di dalam tote bag lalu menatanya rapi di atas meja.     

"Ada pesan dari mama?" tanya Adam berbasa-basi.     

Raffa menoleh. Tepat mengarahkan pandangannya untuk menyambut kedatangan sang kakak. Sejenak ia melirik tongkat yang ada di sisi ranjang milik sang kakak.     

"Kakak ikut terapinya 'kan?" tanya Raffa mengalihkan pembicaraan.     

Adam ikut melirik tepat mengarah pada apa yang mencuri perhatian sang adik kandung. "Mama yang memaksa."     

"Setidaknya sembuh untuk aku." Raffa menyahut. Duduk di sisi ranjang empuk berukuran kecil yang ada di sisi ruangan. Kakaknya suka berada di tempat ini. Sendirian untuk mencari inspirasi katanya. Namun siapa sangka Adam berada di tempat ini hanya untuk menghilangkan stress yang melanda. Menenangkan diri dari apa yang terjadi padanya     

"Kamu berharap kakak sembuh?" Adam tersenyum manis. Mendekat pada Raffa yang masih tak acuh akan kehadirannya.     

"Setidaknya jangan merepotkan lagi. Kakak selalu pergi sesuka hati dan membuat aku yang harus mengantar ini itu." Ia menggerutu ringan. Melipat keningnya samar kala Adam hanya tertawa untuk memberi respon.     

"Jujur! Kakak udah bisa jalan 'kan?"     

Ia menoleh. "Lebih nyaman duduk di kursi roda," celetuknya ringan.     

Mendengar itu Raffa kini berdecak kasar. Tepat memberi tatapan tajam untuk kakak kandungnya itu. Adam selalu begitu kalau sedang bersama dirinya. Guyonan kecil nan receh. Setidaknya bisa menutupi luka hati yang dirasa oleh keduanya sebab kehilangan satu orang yang sama.     

"Ada kabar dari Davira?" tanya Adam kembali menyela.     

"Kalau ada ... aku tak mungkin ada di sini," sahutnya sembari menghela napasnya kasar. Bukan hanya Adam yang terluka hatinya sekarang ini, namun juga Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Kakak berharap Kak Davira datang dan menjadi milik kakak lagi?" Remaja jangkung itu menoleh. Menatap paras Adam yang berubah sayu. Yang diajak berbicara diam sejenak. Menaikkan kedua bahunya bersamaan.     

"Aku hanya ingin dia kembali. Itu saja."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.