LUDUS & PRAGMA

9. Risak Renjana



9. Risak Renjana

0Dentingan suara sendok yang beradu dengan ujung garpu di atas permukaan piring kini mulai memudar. Menyisakan suasana hening kala jam makan malam sudah berakhir. Davira menatap sang ayanhanda. Pria tua berkumis rata dengan jenggot tebal yang menutupi dagunya itu kini kembali memfokuskan tatapan masuk ke dalam layar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Papanya adalah orang sibuk. Meskipun semua akan diserahkan pada putrinya itu, namun tetap saja ia harus mengatur ini itu untuk mengembangkan sayap perusahaannya lebih lebar dari. Davira terkadang merasa kesepian. Hanya ada papanya di rumah mewah ini. Pembantu juga pelayan yang bekerja tak pernah bisa menemani Davira dengan benar. Gadis itu hanya menghabiskan harinya si kafetaria terdekat. Membawa banyak buku untuk menambah wawasannya.     
0

Lima tahun berada di London membuatnya benar-benar berubah layaknya seperti penghuni tetap negara ini. Davira mulai hapal apa-apa saja yang boleh dilakukan juga tak boleh dilakukan di negara ini. Sangat berbeda dengan Indonesia. Dari cuaca hingga suasana dan gaya hidup. Mewah sedikit berkelas.     

"Ada kabar dari Indonesia?" tanya Davira menyela. Meletakkan garpu dan pisau potong yang ada di genggaman tangannya. Sang papa diam sejenak. Memindah fokus untuk menatap putri cantiknya itu.     

Davira memang sudah dewasa. Akan tetap untuk Denis, ia adalah gadis kecil yang amat disayangi dan dimanja olehnya. Davira tak tumbuh dalam jangkauannya dulu. Menembus dosa dengan memberi segala macam bentuk kasih sayang dan fasilitas dari hasilnya berkerja adalah hal yang dilakukan olehnya sekarang ini.     

"Kabar siapa yang mau kamu dengar?" Denis tersenyum ringan. Menatap sang putri dengan hangat. Tak aneh jikalau makan malam hanya dihadiri oleh mereka saja. Sepi rasanya, meksipun meja besar dan banyak menu yang menghiasi akan tetapi percuma saja kalau yang ada hanya mereka berdua.     

Jujur saja Denis berharap bahwa ia bisa kembali bahagia bersama Diana dan ketiga putri cantiknya. Akan terapi ia paham, bahwa itu terlalu serakah. Davira berada di sisinya dan mulai mau menerima ia dengan baik saja sudah menjadi karunia terbaik yang diberikan Sang Kuasa untuk dirinya di usia yang tak lagi bisa dikatakan muda dan berapi-api.     

"Kabar apapun." Davira menyahut. Menarik segelas air putih untuk melegakan tenggorokan yang terasa sedikit kering.     

"Tentang bisnis mama kamu yang semakin berkembang pesat. Omset penjualan meningkat dan ia akan segera naik jabatan lagi." Papanya mulai berbicara. Sedikit panjang namun sukses menarik perhatian sang putri.     

Davira menganggukkan kepalanya. Ia sudah mendengar itu dua hari yang lalu. Kala bertukar kabar dengan sang mama memalui sebuah panggilan suara.     

"Arka menjadi seorang pengacara."     

"Itu berita lama. Arka kalah lagi juga berita lama." Gadis itu menyela. Tertawa kecil mengiringi kalimat singkat yang ia ucapkan.     

"Alia punya pacar baru?" tanya Denis menyahut. Kali ini Davira diam. Baru saja ia ingin kembali memotong daging di atas piring miliknya itu. Akan tetapi selepas mendengar apa yang dikata oleh sang ayah ia menghentikan aktivitasnya.     

"Sekarang ini?" tanyanya sembari membulatkan matanya sempurna.     

"Dia sudah kelas dua SMA. Itu hal yang wajar. Bahkan kamu dengan Adam dulu—" Ucapan Denis terhenti kala tak sengaja dirinya menyebut nama yang sukses membuat putrinya memalingkan wajahnya. Davira enggan lagi meneruskan aktivitas selepas mendengar nama itu. Ekspresinya berubah kaku sekarang ini.     

"Maafkan papa," ucap Denis mengubah arah pembicaraan mereka.     

"Berita lainnya? Tentang Ana?" Davira kembali membuka suaranya. Tak ingin terlalu mendalami apa yang dikatakan oleh sang papa sekarang ini. Ia mencoba tetap tenang dan tersenyum manis.     

Ada satu perasaan yang aneh kala nama mantan kekasihnya itu disebut tepat di depan wajah Davira. Nama yang terdengar sukses membuat hatinya bergejolak hebat. Entah mana yang lebih dominan, antara rindu yang menggebu atau amarah yang masih kokoh dalam dirinya. Kecewa tentu ada sebab ia pergi dalam perasaan dan keadaan yang tak mendukung.     

"Alia akan masuk taman kanak-kanak taun depan. Mama kamu mengurusnya dengan baik. Seperti anaknya sendiri." Denis tersenyum ringan. Menatap Davira yang menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Dia juga anak mama," katanya menyambung.     

Davira sudah dewasa sekarang ini. Tak ada lagi kebencian untuk apa yang ada di dalam diri Alia dan Ana. Jika induk ular membunuh ibu tupai, maka anak tupai tak berhak membenci anak ular yang membunuh ibunya bukan? Ya kiranya begitu yang menjadi keputusan Davira selama lima tahun memperbaiki dirinya.     

"Papa mendengar kabar tentang Larisa?" tanya Davira memotong aktivitas sang ayahanda. Pria dewasa berkemeja itu menoleh. Menaikkan pandangan untuk menatap sang putri.     

Denis menggelengkan kepalanya ringan. Tidak, ia lupa mencari tahu tentang sahabat dari putrinya. "Besok kalau kembali ke Indonesian lagi, papa akan mencari tahu."     

"Papa lupa lagi?" Davira menggerutu. Mengernyitkan dahi sembari mendesis ringan.     

Denis tersenyum kuda. "Papa terlalu banyak pikiran belakang ini. Maafkan."     

"Serahkan perusahaan ini sama Davira. Papa tinggal duduk dan menuai hasilnya." Gadis itu menyahut.     

"Bagaimana dengan perusaahan yang ada di Indonesia? Itu terlihat lebih cocok untuk kamu." Denis menyahut. Ditatapnya sang putri yang baru saja menyelesaikan aktivitas minumnya. Davira bungkam. Jika begitu artinya ia harus kembali ke Indonesia untuk mengolahnya. Di London hanya sia-sia saja.     

"Aku lebih suka di sini."     

"Banyak relasi papa di Indonesia. Akan lebih mudah menanganinya. Di London biar papa yang mengurus. Terlalu rawan untuk kamu yang masih belajar." Denis membujuk. Tepat waktunya, inilah yang selalu ingin ia katakan pada Davira. Hanya menunggu waktu yang tepat tanpa menyakiti hati sang putri sebab menyuruhnya untuk kembali ke Indonesia.     

"Perusahan di sana tidak terlalu besar. Papa memindah pusatnya di sini. Kalau kamu yang belum.berpengalaman memegang kuasa penuh, itu akan sangat berbahaya entah untuk perusahan maupun untuk kamu sendiri, Davira."     

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Ada sekertaris Lim yang mengurusi dan membantu Davira di sini. Sejauh ini masih baik-baik saja, Pa." Ia memprotesnya. Sungguh Davira belum berniat untuk kembali.     

"Itu sebab papa masih menjadi pemimpinnya. Kamu harus belajar dari yang kecil. Mengurus perusaahan yang ada di Indonesia bisa menjadi batu loncatan untuk menguasai perusahaan yang ada di London," papar Denis memberi pengertian.     

"Kalau Di Indonesia untuk Davira lalu Alia dan Ana?"     

Denis tersenyum ringan. Meriah jari jemari sang putri dan menggenggamnya erat. "Alia menyerahkan kuasnya penuh untuk kamu. Ana terlalu dini untuk memikirkan itu."     

"Alia tak ingin mengurus perusahan manapun. Semuanya adalah punya kamu," lanjut Denis memberi banyak pengertian untuk putri kandungnya itu.     

"Kembalilah ke Indonesia. Mama bilang dia ingin tinggal lagi dengan kamu, Davira."     

Diam membisu! Sebab Davira tak bisa memutuskan semuanya hanya dalam satu malam saja. Jujur ia belum siap menghadapi semuanya di Indonesia nanti. Termasuk bertemu dengan Adam Liandra Kin.     

.... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.