LUDUS & PRAGMA

10. Tentang Kerinduan



10. Tentang Kerinduan

0Cove Lighting menjadi fokus gadis berambut pendek dengan ujung yang dibuat sedikit bergelombang. Sesekali bibirnya terbuka. Menciptakan celah sebab napas memaksa untuk keluar dengan embusan kasar yang mengiringi. Ia hanya diam. Tak banyak berbicara sebab tak ada siapapun sekarang ini. Kamar pribadi Davira Faranisa memang lebih nyaman dan lebih luas dari apa yang ia miliki di Indonesia. Rumah dengan desain interior yang memukau ini benar-benar membuat dirinya nyaman terus berada di London dengan hawa dan cuaca yang tak menentu. Ia adalah orang lokal, Indonesia asli tanpa ada darah campuran yang mengalir di dalam tubuhnya. Jadi jangan salah kalau sesekali Davira masih mengalami culture shock sebab budaya, kebiasaan, bahkan situasi yang ada di London amat sangat berbeda dengan apa yang ada di di Indonesia. Meskipun sudah lima tahun lamanya, namun Davira adalah orang berdarah asli Negara Indonesia.     
0

Gadis itu kini menggeliat kasar. Menatap ponsel yang tergeletak di sisi ranjang berukuran besar miliknya itu. Gelas wine sudah kosong. Ia hanya diperbolehkan oleh sang papa meneguk satu gelas bukan satu botol. Tak salah jikalau Davira mulai menyesuaikan diri dengan budaya orang barat. Akan tetapi kalau terlalu banyak dalam menyesuaikan itulah yang menjadi permasalahannya.     

Davira kesepian. Tak menyangkal jikalau ia merasakan hal yang demikian. Dirinya sendiri. Selama lima tahun tak ada yang datang untuk menjenguknya di negara ini. Toh juga, semua teman-temannya sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Jadi Davira tak bisa menyalahkan mereka.     

Arka sudah menjadi seorang pengacara hebat. Meskipun Rena kehilangan mimpinya, namun sahabatnya itu sudah hidup lebih mapan dengan menjadi seorang karyawan di perusahaan ternama di Jakarta. Davira juga mendengar kabar tentang Kayla Jovanka. Si mantan musuh yang sudah baik membantunya hingga titik darah penghabisan lima tahun lalu. Sukses dan berkelas! Menjadi artis dengan banyak fans yang mengidolakannya. Memang mendengarnya terasa sedang bermimpi. Namun mau bagaimana lagi, itulah kenyataannya.     

Davina? Masa bodoh. Ia hanya berharap semesta memberi banyak pembelajaran untuk gadis itu. Satu kabar yang paling ingin ia dengar hingga saat ini, tentang Larisa Hannara Putri. Davira hanya sempat membahasnya dengan Arka satu tahun yang lalu. Katanya, Larisa sudah bahagia dan baik-baik saja. Arka tak mau banyak membahas Larisa di tengah obrolan mereka yang katanya sangat berharga sebab Davira selalu saja sibuk dengan dunia kerjanya.     

Pintu kini diketuk. Menyita fokus gadis berambut pendek itu untuk bangkit dan meletakkan fokusnya menatap pintu kayu yang ada jauh di sisi bangunan kamarnya. Seseorang menyela dengan suara berat itu. Tak salah lagi, sang papa yang menyusul. Davira memang berpamit selepas selesai makan malam tadi. Mengatakan bahwa ia lelah dan ingin beristirahat. Memikirkan pasal pekerjaan benar-benar membuat pundaknya terasa berat.     

"Boleh papa masuk?" Denis menyela. Tersenyum ringan sembari mendorong pintu kayu yang ada di depannya. Davira mengerang. Memberi kode pada sang ayahanda untuk lekas masuk ke dalam kamar pribadinya. Akhirnya, Davira punya teman untuk menghabiskan malam.     

"Papa bawa sesuatu?" tanya Davira melirik sebuah dokumen yang ada di genggaman tangan kiri sang papa. Pria itu mengangguk ringan. Tersenyum manis dengan tegas berjalan mendekati sang putri.     

Davira bangkit. Turun dari ranjang untuk mendekati sang papa. Duduk rapi di atas sofa sisi ruang kamarnya, menghadap keluar jendela yang tegas memotret pemandangan langit malam tak berbintang. Entah mendung atau memang cakrawala tak mau berbaik hati sekarang ini. Menampilkan keindahan mungkin terasa begitu mahal untuknya.     

"Bacalah." Denis menyodorkan dokumen itu pada sang putri. Gadis cantik yang kini diam sembari menerima uluran tangan dari sang papa. Davira menatapnya sejenak. Seakan sedang mencoba membaca apa kiranya yang ada di dalam dokumen itu dengan menebak perubahan ekspresi wajah sang ayahanda tercinta.     

Nihil! Denis hanya tersenyum seakan semuanya baik-baik saja. Tak ada beban, padahal Davira yakin bahwa dokumen itu pasti membawa sebuah berita dengan beban baru yang harus dipikul sang papa.     

Gadis itu mulai membuka satu persatu dokumen yang ada di depannya. Membaca tentang topik perusahaan, Davira sudah mulai menyesuaikan diri dengan itu. Jadi tak perlu menelisik satu persatu hanya sekilas mata memandang saja ia sudah cukup mengerti apa kiranya yang menjadi inti permasalahan yang dibahas.     

"Papa akan pergi ke Hongkong?" tanya Davira menyela.     

Denis mengangguk ringan. "Mungkin dua hari lagi. Ini perjalan bisnis yang mendadak Davira. Jadi tak bisa—"     

"Davira akan ikut." Gadis itu kembali memotong kalimat sang papa. Kembali menutup dokumen yang ada di pangkuannya dan menatap Denis penuh pengharapan.     

"Tidak. Jangan ikut." Denis menggelengkan kepalanya. Menolak usulan sang putri untuk kembali ikut mengekorinya dalam perjalanan mengembangkan sayap perusahaan.     

Denis kembali memberikan dokumen kedua untuk Davira. Sejenak membuat sang putri kembali diam dengan tatapan aneh penuh tanda tanya. "Ambilah. Ini punya kamu," kata Denis lembut.     

"Apa maksud papa?"     

"Papa sudah mengurus perusahan yang ada di Indonesia. Membalikkan atas nama kamu di sana. Perusahan itu kecil, jadi papa rasa kamu bisa mengolahnya sendirian." Denis menerangkan. Kini sukses memberi banyak pertanyaan untuk Davira. Benarkah ia harus kembali ke Indonesia?     

"Davira ingin di sini. Davira janji akan menjadi pemimpin yang baik untuk perusahaan papa di sini. Papa bisa mengembangkan perusahaan di Hongkong dan meninggalkan Davira—"     

"Perusahaan di sini papa jual."     

Deg! Hati Davira hancur. Tidak! Papanya pasti sedang beralasan untuk membuatnya pergi ke Indonesia bukan? Perusaahan ini baik-baik saja. Tak mungkin sang papa menjual seluruh asetnya sebab kerugian atau semacamnya.     

"Papa memindah semuanya ke Hongkong Davira. Tiga tahun yang lalu tepatnya."     

"Kenapa tidak memberi tahu Davira?" Gadis itu memprotes. Tepat mengarahkan tatapannya untuk sang papa. Denis kembali melukai harapannya. Memang dirinya tak terlalu bahagia hidup sendirian di sini. Akan tetapi tetap saja. Papanya tak boleh bertindak seperti ini.     

"Prospek yang ada di Hongkong lebih bagus daripada di London. Jadi papa mengambil keputusan. Berbahagialah sebab semuanya lancar sampai sekarang."     

Ia kini menghela napasnya kasar. Untuk apa Davira mengomeli papanya sekarang? Untuk apa ia harus marah dan merajuk bak bocah yang tak diberi yang jajan untuk membeli gula-gula manis? Tidak ada gunanya! Semua sudah terjadi.     

"Kalau begitu kenapa gak dua tahun atau tiga tahun lalu papa mengatakan ini?"     

Denis menghela napasnya. Meraih bahu sang putri untuk membangun kata pengertian di dalam diri Davira sekarang. "Sebab waktu itu papa mempertaruhkan banyak nyawa. Kamu gak boleh ikut berperang. Kamu hanya boleh duduk sebab kamu tuan putrinya di sini." Denis membuat perumpamaan. Sukses membuat sang putri diam Bungkam tak bersuara.     

"Kembalilah ke Indonesia, Davira."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.