LUDUS & PRAGMA

11. Cerita Dari Sebuah Rasa



11. Cerita Dari Sebuah Rasa

0Ia menyodorkan sebuah map cokelat untuk pemuda tampan yang ada di depannya sekarang ini. Hanya berteman dua gelas kopi susu dingin keduanya berbincang ringan. Sesekali tersela sebab Raffa hanya ingin berbicara apapun yang berhubungan dengan tujuannya datang kemari. Lowongan pekerjaan yang dijanjikan oleh Arka Aditya kemarin. Katanya ia akan mencarikan dan merekomendasikan Naila, si gadis yang setia berada di sisinya selama empat tahun terakhir untuk bisa mendapat sebuah pekerjaan yang layak. Arka tak membicarakan posisi apa itu, ia hanya berkata bahwa semuanya akan baik dan bertempat pada tempatnya. Naila akan mendapat pekerjaan yang layak, gaji yang tetap, dan kehidupan yang mapan selepas lulus dari perguruan tinggi nanti.     
0

Memang, Raffa tak bisa sepenuhnya mempercayai Arka Aditya ataupun sang kakak kandung lagi. Masa lalu mengajari dirinya untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan meletakkan kepercayaan untuk siapapun. Ia hanya ingin percaya dengan dirinya sendiri.     

--dan dirinya berkata untuk saat ini setidaknya sejenak saja mendengarkan dan mempercayai Arka Aditya untuk sahabatnya. Menurunkan sejenak ego agar Naila bisa hidup dengan nyaman tanpa harus melamar sana-sana dengan jarak kantor yang tak bisa dibilang dekat.     

"Apa ini?" tanya Arka menarik map cokelat di depannya. Sigap jari jemari panjangnya mulai membuka tali yang mengaitkan setiap ujung map. Berniat untuk membuka dan membaca apa yang menjadi isinya.     

"Tepati janji kakak waktu itu. Beri Naila perkejaan yang tetap."     

Arka kini menoleh. Tak jadi membuka isinya, ia kini menatap Raffa penuh keseriusan. Arka bisa menebaknya. Profil dan biodata Naila pasti ada di dalam map ini. Riwayat pendidikan juga kopian ijasah serta riwayat pendidikan yang sempat ditempuh oleh gadis cantik itu.     

"Naila gak mau ketemu aku sendiri?" Arka berkelit. Kembali meletakkan map cokelat itu di atas meja.     

"Dia sedang ada di rumah sakit untuk merawat ibunya. Jadi aku yang mewakili." Raffa menyahut. Sedikit ketus bukan sebab ingin memulai pertengkaran. Raffa memang begitu, ia lebih suka berbicara padat, singkat, dan jelas tak mau banyak berbasa-basi. Dengan nada bicara yang tegas terdengar sedikit ketus untuk memberi penekanan pada setiap kalimat yang ia lontarkan untuk lawan bicaranya.     

"Katakan aku menitipkan salam," ucapnya tersenyum manis. Mulai menarik segelas kopi susu dengan beberapa balok es batu yang membuat kulacino di dasar gelas semakin jelas berbekas.     

"Datanglah ke pameran Kak Adam minggu depan. Dia pasti suka melihat kehadiran kakak." Raffa kembali membuka mulutnya. Menciptakan celah untuk melontarkan kalimat yang sukses membuat lawan bicaranya diam seribu bahasa.     

Ini seperti bukan seorang Raffardhan Mahariputra Kin. Sebelumnya ia tak pernah peduli dengan sang kakak. Hanya untuk mengatakan pada Arka perihal apa kemauan Adam Liandra Kin? Tidak, bahkan bantuan sekecil itu pun Raffa enggan melakukannya. Ia mulai menjauh dari siapapun. Termasuk Rena yang pernah berhubungan baik dengannya mesti hanya sesaat. Ia menutup diri dari siapapun yang datang dari masa lalu. Menjadi pribadi baru dengan menutup lembaran lama. Raffa tak pernah mau memaafkan siapapun yang membuat Davira benar-benar pergi dari Indonesia. Jika benar janji ditepati hanya dua tahun pergi, mungkin Raffa tak akan begini. Membenci dan menjauhi semua orang di masa lalu, ada risiko dari perginya Davira namun tak bisa menepati janji untuk kembali tepat dua tahun selepas pergi.     

"Kenapa jadi peduli sama pameran kakak kamu?" tanya Raffa tersenyum miring.     

"Katakan apapun sama Kak Adam untuk membuat dia bersemangat sembuh. Mungkin kalimat dari kakak bisa sedikit memberi motivasi untuknya."     

Arka diam. Menatap perubahan ekspresi di atas paras tampan remaja di depannya itu. Bagaimana bisa wajah mereka identik namun sifatnya berbeda dan bertolak belakang seperti ini?     

"Aku sudah muak dengan keadaan Kak Adam. Dokter bilang hanya dua sampai tiga tahun paling lama hingga Kak Adam bisa jalan lagi. Tapi apa? Lima tahun berjalan dan dia masih di atas kursi roda," imbuhnya menerangkan.     

Arka yang tadinya hanya diam mendengarkan itu kini menghela napasnya kasar. Tepat memberi pandangan teduh untuk remaja yang masih mengomel di depannya itu. "Boleh aku tanya sesuatu?"     

Raffa kini ikut menatapnya. Menelisik setiap inci raut wajah yang ditunjukkan Arka untuk dirinya.     

"Kenapa kamu masih bersemangat untuk melanjutkan kehidupan? Maksud aku ... kamu satu-satunya orang yang menunggu Davira setiap minggu di halte bus, datang ke rumahnya, dan menunggu di bandara. Kamu yang memberontak dengan membenci kita semua. Kamu yang—"     

"Karena Kak Davira yang memintanya lima tahun lalu." Raffa memotong kalimat Arka. Mendiamkan remaja yang baru saja ingin mencecar dirinya dengan ribuan kalimat bodoh itu.     

"Maksudnya?" tanya Arka memincingkan mata.     

"Kak Davira bilang dia ingin melihatku menjadi Raffa yang lebih baik dua tahun lalu. Kala itu dia mengatakan dengan sepasang mata yang berbinar! Itu sebabnya aku menjadi sekarang ini. Memilih ikut bersama papa dan tinggal untuk menguasai perusaahan papa. Aku melakukan semuanya untuk membuat Kak Davira benar-benar bangga," tuturnya menjelaskan.     

Benar kata seseorang, cinta yang tulus tak pernah memandang usia. Tak pernah meminta waktu banyak untuk terus bersama dan saling mengenal satu sama lain. Cinta yang tulus datang dari hati tak pernah memandang untuk siapa dan dari siapa. Semua usia, semua manusia, segala jenis makhluk di dunia ini pantas untuk mendapatkannya. Bahkan untuk seorang Raffardhan Mahariputra Kin sekalipun.     

"Sekarang kamu masih menyukainya Davira sebesar itu?" tanyanya menyela.     

Raffa menyunggingkan sisi bibirnya. Mendesah ringan sembari mengembuskan napasnya kasar. "Memangnya aku bisa apa?"     

"Cintai orang lain. Itu akan membantumu melupakannya." Pemuda itu menyela. Tersenyum manis sembari memasukkan map cokelat ke dalam tas jinjing yang ia bawa.     

Sejenak diam membentang. Selepas mendengar kalimat itu dari Arka Aditya, Raffa hanya diam membisu. Menurunkan pandangan untuk menatap kulacino yang ada di sudut meja. Arka benar. Mencintai orang lain untuk melupakan rasa cintanya pada Davira memang cara yang paling ampuh untuk saat ini. Ia tahu bahwa Davira tak akan bisa menganggapnya sebagai seorang laki-laki sedewasa apapun dan setua apapun usianya. Davira hanya memandang dirinya sebagai Raffardhan Mahariputra Kin, adik kandung dari laki-laki yang ia cintai. Bahkan kepergian Davira seakan menjadi tamparan tersendiri untuknya.     

Jikapun Davira menyukainya juga, pasti ia akan memberi kabar setidaknya satu bulan sekali untuk memastikan bahwa Raffa baik-baik saja. Davira melupakan dirinya. Lima tahun berjalan tak kabar apapun yang didengar oleh Raffa tentang gadis yang dicintainya itu. Bukankah semesta sudah keras dalam memberi tamparan sekarang ini?     

"Naila." Arka kembali membuka suaranya. Menarik pandangan remaja yang ada di depannya.     

"Dia adalah gadis yang pantas mendapatkan cinta dari kamu."     

"Kenapa?"     

"Karena orang baik akan mendapatkan orang yang baik juga."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.