LUDUS & PRAGMA

12. Cinta Dan Kasih



12. Cinta Dan Kasih

0Aroma khas rumah sakit kini masuk ke dalam lubang hidung remaja jangkung yang berjalan tegas menyusuri setiap lorong rumah sakit. Ia ingin bertemu seseorang siang ini. Bukan lagi Arka Aditya atau sang kakak yang amat sangat merepotkan dirinya, namun Naila. Si sahabat baik yang sudah menunggunya di food court bangunan rumah sakit tempat ibunya di rawat. Raffa memberi kabar pada gadis itu bahwa semua sudah selesai. Bukan persahabatan mereka, namun urusan penyerahan dokumen dan portofolio milik Naila pada Arka.     
0

Remaja itu mendapat sebuah permintaan tolong dari sahabat kemarin malam. Mengirimkan beberapa file pada Raffa untuk segera di cetak dalam lembar kertas dan diserahkan untuk Arka. Alasannya Naila tak bisa melakukan sendiri sebab sang ibu perlu mendapat perawatan intensif untuk kesekian kalinya. Pikiran gadis itu sedang 'semrawut' sekarang ini. Raganya penuh ketakutan dengan hati yang sudah kalut. Ibunya semakin parah setiap hari. Kondisi tak bisa lagi kembali seperti semula. Hanya Tuhan yang bisa menentukan sampai kapan ia bisa melihat ibunya di atas muka bumi.     

Raffa terhenti sejenak. Perawakan gadis yang menjadi tujuannya datang kemari sudah tertangkap jelas oleh netra indah miliknya sekarang ini. Melihat kedatangannya, Naila melambai ringan. Tersenyum kuda bak seseorang yang baru saja mendapat berkah terhebat. Ia mirip dengan Davira. Pandai menyembunyikan apa yang dirasa olehnya sekarang ini. Raffa tau benar, kalau Naila pasti ingin menangis sejadi-jadinya sekarang ini. Melihat kondisi sang ibunda tercinta tak kunjung membaik tentu menjadi luka terbesar dan terdalam untuk dirinya sekarang.     

Remaja jangkung itu kembali berjalan. Mendekat pada Naila yang duduk di sisi bangunan food court dengan beberapa makanan ringan di depannya.     

"Udah lama nunggu?" tanya Raffa menarik kursi di depan gadis itu. Naila menggeleng. Tersenyum manis sembari terus mengiringi segala aktivitas si sahabat baik.     

"Gimana? Kak Arka suka portofolio gue?" tanya Naila penuh harapan.     

Raffa mengangkat kedua sisi bahunya. Sejenak diam tak berucap sepatah katapun. Ia menatap Naila dengan benar. Dalam semburat wajah cantiknya, ada satu kekhawatiran besar di dalam dirinya sekarang ini. Entah pasal masa depannya atau pasal sang ibunda.     

"Kak Arka akan segera mengabari." Raffa akhirnya menyahut. Singkat, padat, dengan nada bicara ringan sedikit renyah.     

"Terimakasih banyak bantuannya, Raffa. Lo selalu ada buat gue. Tapi gue belum tentu selalu ada buat lo."     

"Gimana sama tante?" Remaja jangkung itu mengalihkan pembicaraan. Ia tak suka kalau Naila membahas akan hal itu. Raffa memang selalu ada untuknya. Membantu Naila dalam segala hal yang tak bisa dilakukan oleh gadis itu sendirian. Untuk Naila? Bagi gadis itu ia tak selalu ada di sisi Raffa kala remaja itu membutuhkan sesuatu. Akan tetapi untuk Raffa, Naila adalah yang paling baik untuk semua anugerah yang diberikan semesta padanya.     

"Keadaannya memburuk. Perlu operasi, tapi bunda menolaknya." Naila melirih. Menundukkan pandangan untuk menghindari tatap mata dari lawan bicaranya. Jujur saja, Naila benci keadaannya yang mengharukan dirinya terlihat begitu menyedihkan di depan Raffa. Ia tak pernah malu sebab hidup serba sederhana terkadang merasa kekurangan seperti ini, namun Naila merasa tak suka sebab dirinya terlihat menyedihkan dan patut untuk dikasihani seperti sekarang ini.     

"Gue bisa minta bantuan ke papa. Mungkin gak banyak tapi cukup untuk—"     

"Bunda akan lebih memilih menggunakan yang itu untuk biaya wisuda gue nanti. Menabung untuk kehidupan gue di masa depan ketimbang harus dihabiskan untuk biaya operasi dengan tingkat kesembuhan yang kecil." Naila memotong kalimat Raffa. Sejenak membuat remaja yang ada di depannya menghela napasnya berat. Raffa paham bahwa sifat Naila turun dari ibunya.     

"Ayah lo? Dia masih belum pulang?"     

"Untuk apa pulang? Gue berharap dia gak akan pernah kembali lagi." Naila tersenyum miring. Menarik sebotol soda yang ada di depannya. Kasar membuka tutup dan mulai meneguknya dengan kasar.     

Setiap aktivitas itu, Raffa memperhatikan. Gadis itu memang tak akan suka kalau diajak menyinggung pasal sang ayahanda. Raffa tahu bagaimana rasanya punya seorang ayah yang tak bertanggung jawab seperti itu. Bukan sakit dan menyedihkan, namun lebih kepada muak dan menjengkelkan.     

"Gue putus dari Dito." Naila kembali membuka mulutnya. Kini sukses kembali menarik perhatian Raffa yang menoleh dan menatapnya tajam. Mata itu membulat sempurna. Wajahnya kaku dan bibirnya bungkam tak mampu banyak berbicara sekarang ini. Mengejutkan memang, sebab Naila selalu membanggakan sang kekasih hati yang jauh tempat tinggalnya dari dirinya sekarang ini. Naila pernah bercerita kalau kekasihnya itu adalah laki-laki terbaik yang pantas menggantikan posisi sang ayahanda tercinta. Baru tiga tahun berjalan, namun hubungan mereka sudah kandas saja?     

"Kenapa lo jadi diam begitu?" tanya Naila menelusuri arti tatapan yang diberikan Raffa untuk dirinya sekarang ini.     

Raffa menggeleng ringan. Tersenyum kaku dengan kesan yang benar-benar dipaksakan. Jujur saja ia tak tahu harus memberi balasan macam apa. Yang jelas di dalam hatinya sekarang ini, ia merasa lega.     

--lega sebab apa? Entahlah. Hanya saja itu melegakan.     

"Kapan kalian putus?" tanya Raffa akhirnya mau membuka suara.     

Naila terdiam sejenak. Tak ada tanda-tanda di dalam raut wajahnya sekarang ini. Akan normal kalau Naila menangis terisak sembari berbicara banyak padanya layaknya seorang gadis yang sedang diputus cintanya. Dipunahkan harapan dan dipatahkan kebahagiaannya. Normal juga kalau Naila datang padanya dengan hidung memerah dan mata sembab. Akan tetapi gadis itu duduk dengan wajah yang biasa saja. Tak ada luka yang ditunjukkan olehnya. Tiga tahun menjalin hubungan bukanlah waktu yang singkat. Memutuskannya di tengah jalan seperti ini tentu memiliki luka tersendiri bukan?     

"Kemarin malam. Dia bilang dia bosan dengan hubungan kita. Jadi memilih untuk mengakhirinya."     

Raffa menghela napasnya untuk kesekian kalinya. "Li gak nangis?"     

"Buat apa?"     

"Lo putus cinta sekarang ini. Pacar lo yang lo cintai memutuskan hubungan hanya karena bosan. Bukankah itu menyakitkan?"     

Naila menganggukkan kepalanya ringan. "Gue butuh alasan untuk menangis."     

"Itu alasan yang bagus!" Raffa kini memprotes. Mengetuk sisi meja untuk membuat Naila tersadar.     

"Kenapa lo jadi berharap gue nangis sekarang?" tanya Naila memincingkan matanya tajam. Sedikit aneh memang, biasnya Raffa akan membuatnya menghilangkan rasa sedih di dalam hati. Menghentikan air mata dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Bukan malah menyuruhnya menangis seperti ini.     

"Jangan menyembunyikan luka dengan senyuman itu. Lo jadi sangat mirip dengan seseorang sekarang ini." Remaja jangkung itu memalingkan wajahnya. Tak lagi menatap Naila yang diam sembari mulai menelisik arti dari tatap wajah beserta kalimat yang terlontar keluar dari celah bibir Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Davira Faranisa?" tanyanya melirih.     

Raffa kembali menoleh. "Hm. Kak Davira."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.