LUDUS & PRAGMA

14. Lukisan Takdir



14. Lukisan Takdir

0Musik ballad menggema di ruangan. Memecah keheningan yang ada. Sedikit riuh sebab kafe kecil ini mulai dikunjungi oleh beberapa orang. Tak banyak memang, namun cukup untuk membuat sebuah keributan. Di tengah ruangan dengan lampu besar yang menggantung di atasnya. Seakan menjadi point of center bagi seluruh pengunjung, Kayla datang. Duduk manis dengan gaun mewah yang membalut tubuhnya. Tak aneh jikalau mata memandang ke arahnya. Ia adalah aktris sekaligus model brand ambassador sebuah produk kecantikan terkenal di Jakarta. Bayaran tinggi dengan kehidupan mewah nan mapan. Kayla sudah cukup bahagia. Sebab pernikahan sebentar lagi datang menyambut. Datang kemari adalah sebuah pilihan yang salah.     
0

"Ada yang ingin dipesan?" Pelayan menyambutnya. Senyum sesekali menyambut selepas tahu pelanggan macam apa yang menyambangi kafe tempatnya bekerja sekarang ini.     

"Apapun yang enak. Katakan aku ingin bertemu dengan pemiliknya." Kayla tersenyum manis. Menyambut tatapan hangat yang dilemparkan untuknya kali ini.     

"Kamu ingin tanda tangan aku?" Kayla berbasa-basi. Ia tahu semua anak muda pasti mengidolakan dirinya. Jadi tak salah untuk menawarkan hal yang demikian.     

"Boleh aku juga meminta foto?"     

Kayla mengangguk. "Tentu. Tapi katakan pada pemiliknya aku ingin menemui dia."     

"Bos sedang tidak ada di—"     

"Lo nyari gue?" Menyela dan menginterupsinya. Seseorang datang dengan langkah tegas dari balik pintu masuk kedai sederhana ini. Tata bangunan yang tak mewah. Tempat yang tak luas dengan dekorasi Ra monoton. Bukan seperti tempat mewah yang sering dikunjungi olehnya sebelum ini. Bisa dikatakan, ini adalah kali pertama Kayla Jovanka menarik perhatian dengan datang di tempat sederhana seperti ini.     

"Kamu boleh pergi." Ia kembali menyela. Menyuruh anak buahnya untuk pergi dari posisinya sekarang. Meninggalkan dirinya dengan Kayla Jovanka yang terus menatapnya aneh.     

Kayla menyeringai. Mengetuk sisi meja untuk memberi kode isyarat pada gadis di depannya itu untuk segera duduk dan berhadapan dengannya.     

"Davina Fradella Putri!" Kayla mulai memanggil. Berbasa-basi dengan tatapan mata yang menyebalkan. Meremehkan? Tentu. Ini yang paling disukai oleh Kayla. Melihat musuhnya jatuh dan hancur.     

"Gadis bodoh yang tak bisa menjalankan bisnis keluarga. Membuat perusaahan rumah makan sang papa bangkrut karena kebodohannya? Wow! Hot news!" Kayla bertepuk tangan. Kini menyita banyak perhatian untuk mengalihkan tatapan tepat mengarah pada keduanya.     

Kayla diam sejenak kala Davira memalingkan wajahnya. Tak lagi mau menatap ia hanya diam sembari menghela napasnya kasar. Kayla tak salah, dirinya memang dungu pasal ini.     

Dua tahun yang lalu, tepat saat masa perkuliahan sedang berlangsung. Dirinya diberi kepercayaan sang ayahanda untuk menjalankan rumah makan dengan bangunan besar nan megah. Berkelas dengan harga fantastis dan rasa bintang lima yang tak banyak rumah makan miliki. Pesona karir yang memukau memang. Akan tetapi, semuanya semu!     

Hilang begitu saja. Lenyap dimakan keadaan yang sulit. Hanya tinggal satu kafe kecil nan sederhana yang kini dijalankan oleh dirinya. Mama dan papanya tak akan pernah lagi mau memberi fasilitas untuk memanjakan dirinya. Hidup mandiri dengan didikan yang tak biasa tentu membuat Davina banyak menutup dirinya.     

"Katakan apa yang mau lo katakan sekarang!" Ia menyentak. Kesal sebab Kayla Jovanka terlalu membuang waktunya.     

"Kenapa lo putus dari Adam? Bukannya kepergian Davira tentu menjadi kemenangan untuk lo?"     

Davina menoleh. Sejenak diam untuk menelisik keadaan. Tatapan itu tajam. Bak singa yang membidik di tengah Gurun Sahara. Perlahan senyum seringai muncul. Menjadi point penyempurna keadaan yang terjadi sekarang ini. Baik Kayla maupun Davina adalah dua ular yang saling mencoba menyerang sekarang ini. Ego dan amarah benar-benar tinggi sekarang. Mungkin jikalau tak ada orang di sini, Davina maupun Kayla akan saling baku hantam sekarang.     

Davina menjaga kondisi kafenya tetap tenang selepas kedatangan artis papan atas yang memperkeruh suasana. Untuk Kayla, ia menjaga dirinya tetap terlihat baik di muka umum meskipun rasa ingin mengumpat dan meludah tepat di depan wajah gadis di depannya ini sangat tinggi.     

"Apa gunanya bersama orang lumpuh?" tanya Davina menyeringai.     

"Jalang gila," umpat Kayla lirih. Menatap Davina dengan penuh kekesalan. Setelah semuanya dia bisa berkata seperti itu? Bukankah iblis satu ini benar-benar kurang ajar?     

"Katakan apa yang—"     

"Apa yang akan lo lakukan kalau Davira kembali?" tanya Kayla memotong kalimat lawan bicaranya.     

"Lo berharap gue memohon dan meminta ampun?" Davina membalas. Ikut tersenyum aneh mengimbangi apa yang ia dapatkan dari Kayla Jovanka.     

"Gue hanya penasaran. Lo masih punya malu dan harga diri atau tidak setelah semua yang lo lakukan di masa lalu."     

Kayla mencondongkan badannya ke depan. Melipat kedua tangannya tapi di atas meja sembari terus memberi tatapan pada lawan bicaranya. Davina bungkam. Tak lagi mampu banyak berkata untuk memberi respon. Ia menghindari segalanya. Siapapun yang berasal dari masa lalu, ia membenci itu.     

Selepas tragedi yang terjadi pada mantan kekasihnya, ia mendapat sebuah kabar. Adam lumpuh sementara. Ia harus duduk di kursi roda bahkan selama satu minggu dirinya tak sadarkan diri. Davina tak ingin terjebak dalam situasi seperti itu. Meninggalkan Adam dengan berpura-pura bahwa tak mendengar semuanya adalah caranya untuk pergi tanpa terdeteksi oleh siapapun.     

"Gue gak akan menjawab itu. Katakan apa yang mau lo katakan? Kalau gak ada gue akan pergi." Gadis itu kini mulai bangkit. Mendorong kursi yang menyangga tubuhnya.     

"Ini buat lo," ucap Kayla mendorong undangan kecil yang ada di depannya. Gadis itu terdiam sejenak. Bisu tak mampu bersuara apapun lagi.     

"Undangan pernikahan gue," tuturnya melanjutkan.     

"Gue gak akan datang." Davina menyahut. Melirik sekilas secarik kertas tebal dengan desain modern nan mewah. Ada satu pita kecil di sisinya. Menandakan bahwa calon suami yang akan meminang Kayla bukanlah dari sembarangan orang.     

"Setidaknya datanglah sebentar. Lo gak mau 'kan kalau jadi bahan perbincangan? Semua akan datang, bahkan Adam sekalipun."     

"Gue bilang gue gak akan datang!" Davina memberi penekanan. Tak ingin mengindahkan permintaan gadis sialan di depannya itu.     

"Lo bisa pergi setelah membayar pesanannya," imbuhnya memberi penekanan. Kayla tersenyum miring. Ia tak akan melepaskan Davina begitu saja. Datang ke sini butuh banyak pertimbangan. Kayla tak pernah mau berurusan dengan si ular sialan ini. Akan tetapi, ia suka melihat kehancuran dari musuhnya.     

"Davira ke London." Kayla menyela. Menarik langkah kaki gadis yang baru saja ingin meninggalkan dirinya sendirian.     

"Dia pergi ke London selama lima tahun ini. Semua yang terjadi lima tahun lalu adalah ulah Raffa sebagian besar." Kayla kini bangkit. Sigap menarik mantel tebal yang tadinya hangat menyelimuti tubuhnya.     

"Dia akan kembali dari London, secepatnya," imbuhnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.