LUDUS & PRAGMA

15. Pergi Untuk kembali



15. Pergi Untuk kembali

0Hawa dingin seakan sudah menjadi sahabat bagi Davira Faranisa. Di manapun tempatnya, ia akan selalu merasakan dingin yang menusuk tulang belulangnya. Tempat ini adalah kafe langganan yang sering dikunjungi oleh dirinya. Entah untuk bertemu seorang teman, atau hanya sekadar duduk sembari bersantai menghilangkan stress-nya.     
0

Suasana tak ramai, sebab kafe ini dibangun di salah satu sisi gang jalan raya. Tak banyak dijangkau oleh orang asing. Yang datang hanya yang mengetahuinya. Davira menyukai tempat ini. Seduhan kopi susu dengan aroma yang khas seakan membuatnya benar-benar candu. Rindu akan tempat seperti ini di Indonesia. Di mana tempat indentik selalu ia datangi bersama sang kekasih. Nihil hasilnya jikalau Davira berusaha pergi untuk menghilangkan perasaan itu. Tanam rasa yang ia berikan untuk Adam Liandra Kin terlanjur dalam dan berakar. Waktu selama ini tak benar-benar menutupnya dan menghilangkan rasa itu. Waktu hanya membuatnya sejenak untuk lupa dalam kesedihan. Kala bersantai seperti ini, perasaan itu datang lagi. Perpisahan yang terjadi belum benar usai. Semua kisah terasa tertahan di satu koma. Belum sempat menambahkan titik di akhir kisah, perasaan Davira seakan sedang digantungkan oleh takdir semesta.     

"You come again?" Seseorang menyela dirinya. Menarik kursi tepat di depan Davira dan duduk rapi di atasnya.     

Gadis itu tersenyum manis. "Maafkan aku. Aku terlalu sibuk belakangan ini."     

"Kau sudah memesan?" Ia kembali berucap. Menatap Davira dengan penuh keseriusan. Hangat senyum itu mengembang. Memberi sebuah isyarat pada Davira bahwa kedatangannya sangat dirindukan olehnya.     

"Bagaimana bisnismu, Joe?" tanya Davira menyela. Ia menarik secangkir kopi susu yang ada di depannya. Mendorong tepat di depan pria berjas hitam dengan kaos polos yang menjadi paduannya. Joe adalah teman dekat Davira si sini. Menjalankan bisnisnya banyak memberi pembelajaran untuk seorang Davira Faranisa. Gadis itu tak bergeming kalau Joe sudah mulai mempresentasikan kepandaiannya akan dunia bisnis, saham, dan investasi. Joe adalah si muda berbakat. Pandai mengolah karir dan membuat namanya berkembang pesat sekarang ini.     

"Sedikit macet sebab ada kendala yang tak kusadari." Pria itu menimpali. Tersenyum kaku untuk mengekspresikan hatinya sekarang ini.     

Davira memincingkan matanya. Aneh, sebab Joe tak pernah salah dalam memprediksi. Selain sekretaris pribadi sang papa yang membantunya, Joe juga banyak berperan dalam pengembangan karir seorang Davira Faranisa.     

"Bukan masalah yang besar. Tenang saja," ucap Joe seakan paham arti tatapan yang dilemparkan Davira untuk dirinya.     

Davira kini menganggukkan kepalanya samar. Hubungannya dengan Joe bukan hanya sekadar teman yang saling menyapa kala tak sengaja berpapasan di tengah jalan. Hubungannya dengan pria berdagu lancip dengan mata bulat itu bukan juga sebuah hubungan monoton yang melibatkan cinta di dalamnya. Joe adalah rekan berharga untuk Davira. Begitu juga sebaliknya. Berpisah dengan Joe sebab perusahaan sang papa sudah dijual dan dipindahkan ke Hongkong benar-benar membuat dirinya terpukul.     

"Joe," panggil Davira menyela keheningan yang hampir membentang di antara keduanya. Joe menoleh. Tepat mengarahkan pandangan untuk menatap gadis cantik yang ada di depannya sekarang ini.     

"Ada masalah?" tanya Joe kala menyadari tatapan mata Davira sedikit lain. Sayu nan teduh. Semburat kekecewaan ada di dalam ekspresi wajah cantiknya itu. Davira seakan sedang membawa berita buruk untuknya sekarang ini.     

"Kurasa kita harus berpisah setelah ini Joe," ucap Davira membuat pria yang ada di depannya terpaku.     

"Apa maksudnya, Davira?" tanyanya sembari samar mengerutkan dahinya. Joe baru saja ingin mengenal dekat Davira. Meskipun lima tahun berlalu, namun pertemuan mereka terasa baru kemarin pagi. Joe nyaman berteman dengan gadis asal Indonesia ini. Pembicaraan yang hangat, topik perbincangan yang berbobot, dan persahabatan yang penuh kasih sayang. Joe tak pernah menerima cinta macam itu. Ia hanya menerima cinta dari kedua orang tuanya.     

"Papaku memindahkan perusahaannya di Hongkong. Perusahaan yang ada di sini dijual," tegasnya menuturkan.     

Joe terdiam sejenak. Manik matanya masuk ke dalam netra indah milik Davira. Gadis itu tak sedang bergurau untuk memberi kejutan padanya. Joe akan berulang tahun bulan depan. Ia sempat mengira bahwa Davira sedang mengejutkannya sekarang.     

"You are serious?" tanya Joe memastikan.     

Davira menganggukkan kepalanya. "Aku banyak berterimakasih padamu, Joe. Kau adalah teman satu-satunya untukku di sini."     

"Kau akan ikut ke Hongkong?" tanya Joe menyahut. Mengabaikan kalimat dari gadis yang ada di depannya sekarang ini.     

Sejenak diam. Tak bersuara untuk menimpali apa yang dikatakan oleh Davira untuknya. Joe benar-benar akan kehilangan sosok Davira nanti. Ketika gadis itu pergi dari hadapannya, itu artinya Joe akan sendirian. Tak ada teman berbincang dengannya lagi. Tak ada seduhan kopi hangat yang masuk selepas percakapan selesai dilaksanakan.     

"Itu masalahnya. Papa meminta aku kembali ke Indonesia." Davira menundukkan pandangan. Menatap kulacino di tengah meja selepas Joe mengangkat secangkir kopi yang diberikan Davira untuknya.     

"Apa masalahnya, Davira? Indonesia adalah kampung halamanmu. Semua teman dan keluargamu berada di sana." Joe menegaskan. Menatap Davira dengan penuh kehangatan. Gadis itu tersenyum manis. Menggeleng-gelengkan kepalanya untuk ide yang diberikan Joe padanya.     

"Ini tentang mantan kekasihmu?" Joe kembali membuka mulutnya kala tak ada suara yang datang dari celah bibir Davira Faranisa. Joe tahu semua tentang kisahnya di masa lalu. Bersama pria ini, Davira banyak mencurahkan hatinya. Tentang penyesalan yang ada selepas pergi meninggalkan Adam kala itu. Tentang sebuah amarah, kebencian, dan kekecewaan yang juga menyelimuti kala itu. Joe tahu semuanya. Seakan gadis itu sudah banyak mempercayai Joe meskipun kala itu mereka baru saja mengenal sebagai seorang teman dekat.     

"Apa kata hatimu untuk itu Davira?" tanya Joe melembutkan nada bicaranya. Kembali pria itu meletakkan secangkir kopi yang baru saja diseruput separuh olehnya. Tajam ia berikan tatapan penuh fokus untuk gadis yang masih diam sembari tersenyum kaku.     

"Ketika menyingung soal keraguan, hati dan apapun yang ada di dalam diri adalah pemberi jawaban yang tepat, Davira."     

Ia menghela napasnya kasar. Mulai memainkan ujung jari jemarinya untuk menulis huruf acak di atas meja. Suasana kembali sepi kala Davira memilih diam tak mau menanggapi. Joe tau bagaimana perasaan Davira sekarang ini. Bercampur aduk menjadi satu.     

"Kembalilah, jika itu kata hatimu." Joe kembali menimpali. Menyusul kalimat dengan senyum manis yang menjadi penutup kalimatnya saat ini.     

"Aku hanya takut, Joe." Akhirnya gadis itu menimpali. Lirih nan samar ia berbicara. Joe sejenak mendekatkan wajahnya pada Davira. Gadis itu menunduk tak mau lagi memandangnya.     

"Apa yang kau takutkan?"     

"Adam?" tanya Joe melanjutkan. Menatap Davira dengan penuh penghayatan.     

"Keadaannya." Davira menyahut. Ikut menatap Joe dengan sayu nan teduh.     

"Aku takut menghadapi keadaannya."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.