LUDUS & PRAGMA

16. Dialog Dua Remaja Yang Patah Hati



16. Dialog Dua Remaja Yang Patah Hati

0Aroma yang khas tercium masuk ke dalam lubang hidung dua laki-laki yang kini saling menatap ke arah langit-langit lorong rumah sakit. Adam sudah melakukan tujuannya. Mengecek perkembangan kakinya yang dikatakan sudah lebih baik dari pada bulan lalu. Ia akan bisa berjalan bahkan berlari kalau terus berusaha dengan baik. Hanya cukup memotivasi diri agar hidup lebih berprogres ke depan.     
0

Kini keduanya tak segera keluar dari area rumah sakit. Di sisi lorong yang sedikit sepi ini keduanya berada. Arka Aditya juga Adam Liandra Kin. Tak saling menatap dengan diam tak bersuara adalah aktivitas yang dipilih keduanya. Sesekali terdengar helaan napas dari Adam, disusul desahan ringan dari laki-laki itu dengan kasar. Bukankah seharusnya ia bahagia selepas mendengar diagnosa dari dokter? Adam akan bisa berjalan lagi. Tak harus menggunakan kursi roda ataupun tongkat untuk menyangga tubuhnya. Ia bisa menari bersama hujan. Tertawa dengan takdir semesta dan mencari Davira entah kemana perginya. Sampai saat ini tak ada yang mau memberitahu Adam, di mana Davira berada?     

Ada rasa yang selalu bergejolak di dalam hati laki-laki itu. Perihal keberadaan sang gadis tercinta. Benarkah Davira tak akan kembali? Benarkah ia sudah memiliki tambatan hati di sini? Adam sangat ingin mendapat jawaban itu. Meksipun hasilnya akan menyakitkan, namun setidaknya ia bisa bernapas lega. Tak lagi harus berdoa dengan harapan kosong seperti ini. Memang benar kata orang-orang, bahwa semua akan terasa lebih berharga ketika itu sudah hilang dan pergi dari hadapan kita. Itulah yang Adam rasakan kala tersadar dari komanya beberapa tahun lalu.     

"Lo bisa pulang kalau lo mau pulang," sela Adam memecah keheningan. Matanya sejenak melirik laki-laki setara usia dengannya itu. Jas mahal berbalut membuka dada kekarnya. Ada dasi yang menggantung rapi di lehernya. Tas kerja khas orang kantoran menemani di sisi kursi kosong tempatnya duduk. Arka datang kemari, menghantarkan dirinya untuk memeriksakan keadaan selepas selesai bekerja. Tak banyak yang dikatakan oleh laki-laki itu sebelumnya. Menghantar Adam mungkin sudah menjadi beban tersendiri untuknya.     

"Gue lebih suka di sini. Suasananya tenang." Arka menyahut. Menoleh pada lawan bicaranya. Ia tak mengubah posisinya. Masih bersandar pada dinding lorong rumah sakit dengan pandangan yang kembali naik menatap langit-langit lorong yang sedikit gelap.     

"Kenapa nada bicara lo berubah? Lo kalah lagi?" tanya Adam menyahut. Sedikit memutar posisi duduknya untuk mengambil kata nyaman sekarang ini. Keduanya sekarang lebih mirip dua pria tampan yang sedang putus cinta. Ditinggal pergi sang kekasih hati lah yang membuat keduanya datang dan mampir ke rumah sakit.     

"Gue menang." Ia menyahut. Menyeringai di bagian akhir kalimatnya.     

"Terus? Kenapa lo kelihatan sedih?"     

"Sejak kapan lo peduli sama gue?" tanya Arka dengan nada melirih. Perlahan ia memejamkan rapat kedua matanya. Menghela napas ringan untuk mencoba menghilangkan kegelisahan yang ada di dalam hatinya. Arka sudah mendengarnya. Perusahaan papa Davira yang ada di London sudah dijual.     

Denis mengatakan itu lewat sebuah panggilan singkat. Mengatakan padanya untuk bersiap menyambut kepulangan Davira jikalau ia berhasil membujuk sang putri. Akan tetapi jangan terlalu menaruh harapan, sebab kita tak tahu bagaimana keputusan Davira nanti.     

"Boleh gue minta tolong?" Adam kembali menyusul. Menyela dalam keheningan yang membentang di antara mereka berdua. Arka menolehkan wajahnya. Selepas mendengarnya, ia kini meras bahwa Adam benar sudah berubah. Keadaan memaksa dirinya untuk seperti ini. Dihancurkan dan diremukkan paksa seakan menjadi pembelajaran terbaik untuk menjadi dewasa bagi seorang Adam Liandra Kin.     

"Apapun selain meminta Davira kembali."     

Adam menyeringai. Benar, baru saja ia ingin menggunakan kalimat itu. Meminta Davira kembali padanya sebab rindu ini benar-benar sudah keluar dari batasan.     

"Beri tahu gue ke mana Davira pergi."     

Arka menatapnya. Sepasang manik tajam bak elang yang membidik itu kini mulai terkesan sayu nan teduh. Adam tak lagi berapi-api kala berbicara dengannya. Lima tahun sudah cukup untuk menyurutkan emosi yang ada di dalam diri laki-laki bertubuh jangkung itu. Adam terlibat sangat ingin mengibarkan benda putih untuk menyerah. Ia tak ingin lagi berambisi untuk kembali memiliki Davira Faranisa. Ia hanya ingin ... melihatnya sekali saja.     

"Lima tahun semuanya menyembunyikan itu dari gue karena mereka khawatir gue akan menyusul Davira. Bukankah kalian itu jahat?" Adam meneruskan kalimatnya. Ia ingin memprotes, namun entah pada siapa? Ia hanya bisa merengek seperti bayi minta susu sekarang ini.     

"Gue gak akan menyusul Davira, Ka. Gue cuma—"     

"London." Arka menyahut. Memotong kalimat Adam yang kini diam membisu. Tak ada yang keluar dari celah bibirnya. Pertanyaan itu sudah terjawab setelah lima tahun lamanya.     

"Tepati janji lo untuk gak menyusul dia. Jangan jadi pria brengsek yang suka ingkar janji." Arka memalingkan wajahnya. Bibirnya menggerutu ringan dengan sekali mendecak di bagian akhir kalimatnya.     

Jujur saja melihat keadaan yang berubah seperti ini terkadang membuatnya muak. Arka hanya ingin melihat semuanya menjemput bahagia dengan cara mereka masing-masing. Membiarkan Davira pergi kala itu, ia berpikir bahwa keputusannya sudah tepat. Sahabatnya mungkin perlu waktu untuk menyendiri dan memahami keadaan, akan tetapi ia salah. Kepergiaan Davira hanya untuk membuat jalur luka yang baru.     

Entahlah, benarkah sahabatnya itu sudah bahagia dia sana? Ataukah lima tahun ia lalui dengan luka yang tak pernah bisa sembuh?     

"Thanks." Adam menyahut. Tersenyum manis sembari menundukkan pandangannya. Menatap ujung jari jemarinya yang mulai bermain untuk menghilangkan sepi yang memeluk dirinya.     

"Terus lo mau apa?"     

"Entahlah. Gue hanya penasaran soal itu."     

"Lo masih cinta sama Davira?" Arka menyahut. Menoleh untuk menarik pandangan lawan bicaranya.     

"Pantaskah gue untuk mencintai Davira lagi?" tanya Adam melirih.     

"Syukurlah lo sadar diri."     

"Arka ...."     

"Dam!" Arka menyahut. Menyela panggilan remaja yang ada di sisinya.     

Adam kembali membulatkan matanya sejenak. Kedua sisi alisnya naik bersamaan. Cukup lama ia menunggu kalimat dari Arka. Laki-laki yang memanggil namanya itu kini hanya diam mencoba untuk menelisik apa arti perubahan raut wajah milik Adam sekarang.     

"Kalau Davira kembali dan bertemu lo, apa yang akan lo lakukan?" Acak! Pertanyaan itu sangat acak bagi Adam. Ia bahkan tak berani lagi untuk membayangkan itu. Mendengar kabar dari Davira yang baik-baik saja, sudah membuat hatinya lega. Bertemu dengan Davira Faranisa? Tidak, Adam tak akan pernah sanggup melakukan itu.     

"Memangnya Davira mau bertemu dengan gue?" kekehnya tertawa kecil. Singkat nan lirih. Tawa itu terdengar begitu menyayat di hati. Sekali lagi, Adam benar pasrah pada keadaan. Waktu yang akan menentukan mau dibawa ke mana perasaannya ini. Akankah berlabuh pada tempat yang sama? Atau akan berlayar hingga penghujung hati tua nanti?     

Tak ada yang tahu, bahkan Adam dan Davira sekalipun.     

.... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.