LUDUS & PRAGMA

17. Best Regret



17. Best Regret

0Ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh seorang manusia sehebat apapun dia itu. Hal itu adalah menciptakan manusia lain bersama dunia baru yang menentang takdir semesta. Semua akan kembali pada tempatnya, akhirnya. Menjadi hal yang sedikit asing sebab bukan itu harapan yang ada di dalam doa. Waktu berperan banyak dalam hal ini. Mulai dari mengubah, membiasakan diri, menghapus, mengobati, bahkan sampai mengubah menjadi sesuatu yang baru. Semua hanya pasal waktu! Tanpa usaha? Bodoh! Waktu akan memberi hadiah atas apa yang kita lakukan di masa lalu. Menjadi orang baik maka akan menuai hasil yang baik pula. Waktu berlaku adil, hanya saja terkadang manusia yang tak puas akan hal itu.     
0

Jangan menyalahkan orang lain ketika ia tak tepat memenuhi harapanmu. Salahkan dirinya sendiri sebab terlalu banyak dan terlalu besar memberi harapan untuk sesama manusia. Pelajaran itu yang banyak diterima oleh seorang Adam Liandra Kin, Arka Aditya, Davira Faranisa, Kayla Jovanka, Raffardhan Mahariputra Kin, juga Davina Fradella Putri.     

"Lo akan balik sekarang?" tanya Adam menyela langkah. Arka sabar menuntun dirinya yang keras kepala sekarang ini. Tak mau menggunakan kursi roda dan memilih berjalan dengan dua tongkat yang menyangga tubuh jangkungnya.     

"Lo mau gue nginep di rumah lo juga?" tanyanya dengan nada ketus. Adam tersenyum ringan. Menggelengkan kepalanya untuk memberi respon.     

Kembali hening membentang. Langkah kian jelas menyusuri tiap petak ubin rumah sakit yang memantulkan samar bayangan keduanya. Pintu kaca besar ada di depan. Hanya tinggal beberapa langkah keduanya dinyatakan keluar dari area bangunan rumah sakit. Adam juga Arka, ingin menutup hari dengan bahagia. Tak ingin ada dendam yang menyelimuti di dalam mimpi indah mereka. Meskipun begitu, tetap saja ada. Mereka hanya manusia. Menyesali dan saling menyalahkan adalah cara terbaik untuk menyikapi kehidupan.     

"Lo masih berhubungan 'kan sama Davira?" tanya Adam kembali menyela. Arka tak menjawab. Hanya menatap lurus ke depan dengan satu tangan yang menopang tubuh jangkung milik Adam.     

Hawa dingin mulai terasa. Tak lagi aroma rumah sakit yang tercium dan menari-nari di dalam lubang hidung keduanya, kini aroma khas malam dengan semilir bayu yang berembus tegas dirasakan oleh keduanya. Suasana tak lagi sepi seperti kala mereka ada di dalam bangunan rumah sakit, kini lalu lalang kendaraan dengan beberapa orang yang melintas tertangkap jelas oleh kedua netra Arka juga Adam Liandra Kin.     

"Emangnya kenapa?" tanya Arka akhirnya mau membuka suara.     

"Gue bukan tukang antar pesan. Jadi jangan menitip pesan," susulnya dengan tegas memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya.     

Adam tertawa. Samar ia menggelengkan kepalanya untuk memberi respon. "Gue hanya ingin tanya."     

"Lo banyak pertanyaan hari ini."     

"Saat Davira berbicara, bagaimana nada bicaranya?" Adam menyahut. Mengabaikan kalimat Arka yang kini mulai memelankan langkahnya. Tatapannya mengudara. Tak lagi menatap jalanan yang ada di depannya, namun ia menatap bentang luasnya cakrawala yang menjadi payung peneduh untuk bumi. Langit sedikit gelap. Tak ada bintang yang bertaburan juga tak ada Dewi malam yang indah dengan bulatan sempurna dan cahaya kuningnya. Malam benar sunyi kalau dirasa dengan benar.     

"Bicaranya sama. Khas seorang Davira Faranisa. Tak ada yang berubah. Hanya saja, ia lebih sering menghela napasnya untuk menjeda kalimatnya." Arka mempersingkat. Kini tatapannya turun untuk menatap Adam yang ada di sisinya.     

"Bukan cuma lo yang berat akan keputusan itu, dia pun." Ia mengimbuhkan. Sekarang Arka tak lagi ingin berbaik hati. Menghantarkan Adam memang dengan maksud yang lain. Ia ingin menemui Adam, berbincang dengannya untuk memastikan bagaimana kehidupan laki-laki brengsek satu ini.     

Galeri yang dibangun oleh dirinya di sisi kota memang berkembang cukup pesat. Banyak yang datang untuk memesan atau hanya sekadar melihat untuk memuji. Adam cukup populer di kalangan seniman. Meksipun mimpinya bukan itu. Bahkan ia akan mengadakan pameran minggu depan. Rasanya seperti semesta tak benar adil dalam memberikan penghakiman. Yang Arka harapankan adalah Adam hidup menderita dengan dunia yang pergi berpaling meninggalkan dirinya.     

Akan terapi ia salah, dari sekilas pandang mungkin semua mengira bahwa laki-laki satu ini tak pernah mendapatkan ganjarannya. Hidup dengan nyaman? Tidak. Adam mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan. Penghakiman terbaik dari sebuah kesalahan akan pengkhianatan adalah rasa kehilangan yang teramat dalam. Menyesal seumur hidup bahkan bersujud beribu-ribu kali banyaknya, tak akan pernah bisa membuat penyesalan itu hilang adanya. Hanya Davira yang bisa menghilangkan hukuman itu dari Adam Liandra Kin.     

"Kenapa lo harus mengkhianati dia dulu? Bahkan hubungan kalian akan baik-baik saja kalau lo mau mengerti dan mengubah cara pikir lo." Arka kembali membuka suaranya. Seakan ingin menjadi hakim adil yang membuat keputusan di sini, laki-laki itu mulai memberi penghakiman untuk Adam.     

"Entahlah. Gue emang bodoh dan brengsek."     

"Sekarang Davina pergi meninggalkan lo. Bukankah itu lucu?" tanya Arka tersenyum miring.     

"Gue bahkan gak pernah ketemu Davina lagi sejak itu. Dia menghilang tiba-tiba." Adam menyahut. Langkah pincangnya kini ikut memelan dan terhenti ketika Arka menghentikan langkah sepasang kaki jenjangnya.     

Bukan tanpa alasan Arka berhenti, namun sebab taksi sudah ada di sisi jalan. Ia hanya akan menghantarkan Adam sampai sini. Selebihnya biarlah ia kembali ke rumah dengan dua kaki lemahnya itu.     

"Happy Food. Lo bisa datang ke sana kalau lo merindukan pacar baik lo itu." Arka kini menarik pintu taksi yang ada di sisinya. Memiringkan tubuhnya untuk memberi celah bagi Adam masuk ke dalamnya.     

Adam terdiam. Tatapan Arka tak pernah benar teduh untuknya. Dendam itu masih ada tentunya. Amarah yang ada di dalam hatinya hanya sedang disembunyikan oleh Arka dengan baik. Tak pernah hilang sampai raga itu rapuh dan nyawa pergi melayang.     

"Thanks. Udah nganterin gue sampai sini," jawab Adam tersenyum manis. Meraih pintu taksi dan masuk ke dalamnya. Ia tak lagi banyak berucap. Menjawab dan menanggapi Arka dalam topik pembicaraan seperti itu hanya akan merugikan dirinya saja. Jadi, lebih baik menghindar sebab ia datang dari rumah bukan dari masa lalu.     

Waktu memberi tamparan untuk Adam bahwa rasa yang ia miliki untuk Davina hanya sebuah napsu semata. Ia tak benar mengharapkan gadis itu untuk bahagia bersamanya. Posisi Davina hanya bak angin segar yang sejenak berembus di tengah pengap hawa yang ada di sekelilingnya. Ia tak benar mencintai Davina. Yang ada di dalam hatinya sekarang ini hanya penyesalan, kerinduan, dan rasa cinta untuk Davira Faranisa.     

"Antarkan dia dengan baik, Pak." Arka menyela. Memberi interuksi pada pria yang duduk di kursi kemudi.     

"Hati-hati di jalan," ucapnya pada Adam.     

Adam mengangguk ringan. "Arka!" panggilnya mencegah laki-laki yang baru saja ingin menutup pintu taksi.     

"Jaga Davira," pungkasnya menutup percakapan.     

Arka terdiam sejenak. Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan untuk diucapkan oleh seorang Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.