LUDUS & PRAGMA

18. Kasih Dari Seorang Adik



18. Kasih Dari Seorang Adik

0Sunyi menelan sepi. Bersama kerikan jangkrik yang menjadi melodi pemecah keheningan malam, gadis cantik bersurai panjang yang jatuh tepat di atas punggungnya itu masih saja fokus menatap rentetan kalimat berteori yang ada di depannya. Ia mengabaikan hawa dingin yang mulai menusuk tulang belulang. Malam akan semakin larut kalau ia tak segera menyelesaikan tugasnya kali ini. Ketimbang berada di dalam kamar pribadinya, Alia memilih duduk bersantai sembari mengerjakan tugas sekolahnya di balkon rumah mewah yang sudah menampung dirinya bersama sang adik lima tahun lamanya. Sungguh bersyukur sebab dirinya sang Ana tak perlu merasakan dinginnya lantai panti asuhan dan ramai berdesak kalau ingin meminta jatah makan siang.     
0

Alia dan Ana hidup dengan layak. Amat sangat layak! Kasih sayang ia dapatkan dari Diana. Harta dan fasilitas yang dikirim oleh sang papa dari London juga tak pernah kurang sedikitpun. Ana akan masih ke sekolah tahun depan, sedangkan dirinya akan segera lulus satu tahun lagi. Ia sudah dewasa, meskipun usia masih dibilang remaja. Alia besar dengan kasih sayang, namun tak manja oleh rasa itu. Ia tetap ingin menjadi gadis yang hebat. Layaknya seperti Davira Faranisa yang tak akan pernah mengeluh apapun keadaan yang menimpanya.     

Langkah kaki menarik perhatian Alia. Membuatnya menoleh. Sejenak mengabaikan kalimat dan tulisan tangan indah yang diciptakan oleh goresan pena hitam dalam genggamannya. Diana datang bersama satu nampan kecil berisi segelas susu hangat di tengahnya. Ada sepiring kue kering dengan topi cokelat yang paling Alia suka kalau malam datang sebelum tidur seperti ini. Mamanya dulu selalu menyiapkan ini untuk dirinya dan sang adik.     

"Tan— ah, maksud aku mama belum tidur?" tanya Alia mengubah panggilan. Lima tahun memang sudah berlalu. Akan tetapi bagi sebagain orang, itu terasa sangat singkat untuk menyesuaikan keadaan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.     

"Gimana mama bisa tidur kalau kamu kasih di luar seperti ini?" tanya Diana dengan lembut. Meletakkan nampan yang ada di dalam genggamannya tepat di sisi meja tempat Alia meletakkan buku dan pena hitamnya.     

"Kalau Ana? Dia sudah tidur?" tanya Alia menyusul.     

Diana tersenyum manis. Menganggukkan kepalanya untuk memberi respon. "Hanya sekali dongeng dia sudah tidur," tuturnya tertawa kecil nan singkat.     

"Tugasnya masih banyak?" tanya Diana kembali menyela. Melirik tulisan indah yang mulai memenuhi buku tulis kecil di depan Alia.     

Gadis itu menghela napasnya. Mengangguk samar sembari tegas melipat bibirnya masuk ke dalam. Sibuk dengan ribuan tugas yang menumpuk bukan hal aneh untuk seorang pelajar seperti Alia ini. Jadi Diana harus mulai memakluminya.     

"Masuklah ke dalam. Kerjakan di dalam kamar. Di sini sangat dingin," ucap Diana sembari mengusap kepala sang putri tiri. Alia memang putri yang dilahirkan dari rahim wanita jalang yang sudah merebut suaminya di masa lalu. Kebencian Diana untuk Mira akan tetap ada di dalam hatinya. Bukan sebab luka itu tergores untuknya, namun sebab Davira juga merasakannya. Apa yang diperbuat sang suami dan Mira di masa lalu bukan hal wajar yang bisa dapat pengampunan dengan cepat, bahkan waktu dan masa tak bisa membuatnya hilang begitu saja.     

Hidup Diana dan Davira menderita sebab Mira. Itulah fakta yang selalu membuat dendam dan amarah itu ada di dalam lubuk hati Diana. Akan tetapi ia mengajarkan pada sang putri untuk tak membenci anak ular meskipun induknya sudah mengambil makan siangmu. Sebab jika disuruh memilih, anak ular itu pasti tak akan pernah mau memiliki induk yang pandai mencuri seperti itu.     

"Lebih nyaman di luar. Lagian, setiap aku tidur di kamar kak Davira, aku selalu merindukannya." Alia mengelak. Menatap Diana dengan sayu. Senyum tipis mengembang di atas paras cantiknya sekarang. Sumpah demi apapun, paras Alia sekilas mirip dengan Mira. Menatap gadis kecil itu tentu membuat Diana mengingat bagaimana Mira semasa hidupnya.     

"Untuk itu ada kabar baik dan ada kabar buruknya." Diana menyela. Tersenyum kuda sembari mengusap punggung milik Alia.     

Matanya menyipit bersama dengan kerutan dahi yang terlihat samar. Sepasang alis cokelat muda itu saling bertaut. Menunggu kalimat penambah yang akan diucapkan oleh Diana sekarang ini.     

"Mau mendengar yang mana dulu?" Wanita itu memberi pilihan. Sejenak diam menunggu jawaban pasti dari anak gadisnya itu. Alia sudah seperti putri kandungnya. Menggantikan posisi Davira di rumah ini agar ia tak kesepian sebab ditinggal pergi sang putri kesayangannya.     

Alia tak pernah merepotkan dirinya. Bahkan ketika Diana menawarkan untuk memberi les privat dengan biaya yang mahal, gadis itu menolaknya. Alia bisa belajar sendiri. Tak perlu membuang uang hanya untuk itu. Toh juga, Diana sudah tak pantas lagi untuk bekerja keras. Merawat Ana dan dirinya pasti sudah sangat berat.     

"Berapa kabar baik dan berapa kabar buruk?"     

"Kabar baiknya ada satu dan kabar buruknya ada dua." Diana kini mengacungkan kedua jarinya. Tepat di depan wajah gadis yang kini menatapnya sumringah. Sungguh, jika saja tidak ada Diana maka hidup Alia akan benar-benar sepi bak kota mati tak berpenghuni.     

Diana benar-benar menghidupkan suasana hatinya selepas kematian sang mama. Papanya pergi bersama Davira dan hanya pulang satu tahun sekali. Itu pun tak lama sebab bukan hanya satu hal yang ia urusi di London. Akan tetapi banyak. Diana menemani harinya. Memberi warna dan banyak cinta untuk membesarkan Alia dan Ana di rumah ini. Wanita itu juga memberi banyak fasilitas untuknya. Semua tak ada yang kurang. Hidupnya benar-benar nyaman dan berkecukupan.     

"Kabar baiknya dulu ...."     

Diana mengambil satu napas panjang. Menahannya sejenak kemudian mengembuskan perlahan. Ia menatap Alia dengan teduh. Tersenyum ringan kemudian.     

"Kak Davira mungkin akan kembali ke Indonesia minggu depan."     

Alia membulatkan matanya. Senyum manis mengembang di atas paras cantiknya itu. Sontak ia merespon. Gembira dengan bertepuk tangan untuk mengekpresikan itu.     

"Tapi itu hanya kemungkinan kecilnya. Jika Davira tak ingin kembali, dia akan ikut pergi ke Hongkong dengan papa." Diana kembali memotong. Seakan baru saja diterbangkan jauh lalu dihempaskan jatuh, wajah Alia kembali berubah masam.     

"Kenapa ke Hongkong?"     

"Perusahaan papa dipindahkan ke sana. Di Hongkong perusahaan itu lebih besar dan berkembang. Papa akan mengurusnya sendiri, jika Davira setuju ia akan dipulangkan dan mengurus perusahaan yang kamu serahkan tahun lalu." Wanita itu mempersingkat. Menatap Alia dengan tahapan teduh penuh pengertian.     

"Kabar buruknya itu?"     

Diana menggeleng. "Pertama kalau Davira kembali ke sini, kamu mungkin akan tidur di kamar tamu untuk sementara. Kedua kalau—"     

"Aku bahkan bersedia untuk tidur di lantai asalkan Kak Davira pulang." Alia menyela. Kali ini sukses menarik perhatian Diana yang menatapnya aneh. Ia terkekeh kecil kemudian. Mencubit pipi gadis cantik di depannya itu. Ya, Alia begitu menyayangi Davira ketimbang adik kandung sendiri.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.