LUDUS & PRAGMA

20. Sebelum Kembali



20. Sebelum Kembali

0"Keluar." Adam berucap. Melirik Davina dengan akhir sebuah tatapan tajam untuk gadis yang ada di sisinya itu.     
0

Davina menghembuskan napasnya singkat. Tak percaya bahwa Adam akan menurunkannya di tengah-tengah perjalanan begini. Halte bus masih jauh dari sini, kiranya kalau berjalan dengan kaki maka menghabiskan dua puluh hingga tiga puluh menit lamanya.     

"Lo ngusir gue setelah maksa gue masuk ke dalam?" Ia memincingkan matanya. Tegas menatap lawan bicara yang hanya diam sembari menganggukkan kepalanya samar.     

"Gue udah dapat jawaban dari apa yang mengganjal di dalam hati gue selama ini. Tentang mengapa lo pergi begitu saja ninggalin gue?" tukasnya mempersingkat. Yang diajak berbicara hanya diam. Membisu sembari menatap paras Adam dengan amarah yang meluap-luap.     

"Cepetan. Gue harus pulang," ucap Adam memalingkan wajahnya.     

Tak ingin banyak berbasa-basi lagi, Davina mendorong pintu yang ada di sisinya. Melangkah keluar untuk menuruti apa yang diinginkan oleh Adam Liandra Kin. Gadis itu menatapnya dengan penuh amarah. Sesekali menghembuskan napasnya kasar dengan arah pandang yang tak lagi fokus. Baru sekarang ia begitu merasa kecewa dan marah dengan laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu.     

"Ah satu lagi!" Adam menahan pintu taksi yang baru saja ingin ditutup oleh gadis di depannya. Lagi, tatapan Davina dipaksa untuk kembali pada Adam. Ia tak berucap selama beberapa detik. Hanya tersenyum kecut sembari menyapu setiap bagian tubuh gadis yang ada di depannya. Tatapan mata itu aneh, seakan ingin menghina namun hati tak sampai untuk melakukannya.     

"Kita putus," ucap Adam dengan tegas.     

"Cih!" Davina berdecak. Tak percaya bahwa Adam akan mengatakan hal itu. Satu hal yang kini sedang bergelut di dalam hatinya, bahwa ia sangat merindukan laki-laki yang ada di depannya sekarang.     

Menyesal? Entahlah. Davina hanya ingin memeluk Adam sekarang ini. Rasanya aneh! Hatinya seakan dipaksa untuk menerima keadaan, namun batinnya menjerit kesakitan. Lima tahun berlalu begitu saja. Meninggalkan Adam kala itu benar-benar sebuah keputusan bodoh untuknya. Ia memang gadis yang pengecut. Lari dari masalah untuk menghindari semua yang terjadi padanya.     

"Bukan lo yang ninggalin gue, tapi gue yang memutuskan hubungan ini. Camkan itu," tuturnya mengimbuhkan. Kini ia memalingkan wajahnya. Menatap ke arah lain sebab tak ingin lagi bertukar tatap dengan gadis yang baru saja menghela napasnya kasar.     

Tak ada yang terucap di dalam bibir merah muda. Gadis itu diam menerima keadaan yang sedang terjadi padanya. Ia tak bisa menyalahkan Adam, apa yang dilakukan oleh Adam adalah tindakan yang benar. Mengakhiri apa yang belum usai di masa lalu adalah alasannya membiarkan Davina naik ke dalam taksi.     

Pintu di tutup dengan kasar. Kembali taksi itu melaju membelah padatnya jalanan kota. Adam tak lagi menatap apapun yang ada di belakang. Semuanya yang ada di belakangnya adalah masa lalu dan kenangan. Jika itu adalah sebuah kenangan baik, maka Adam akan mengenangnya. Akan tetapi jika untuk kenangan buruk, ia akan menguburnya bersama waktu.     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Suasana tak ramai. Hening dan tenang adalah situasi yang selalu ada di dalam rumah mewah bergaya modern yang sedikit berubah sebab beberapa bagian mengalami renovasi dan pembangunan ulang.     

Arka menyandarkan tubuhnya ke belakang. Sofa empuk ini menjadi penyangga tubuh jangkungnya. lampu besar yang menggantung di tengah langit-langit ruangan kini menjadi fokusnya dalam menatap. Ia tak bergeming dalam sepersekian detik. Menunggu seseorang datang yang katanya hanya pergi sebentar untuk mengambil minum dan menyuguhkan dirinya beberapa camilan untuk menemani sepi.     

Di rumah Davira ia menghabiskan malam. Selepas bertemu Adam, Arka tak berniat untuk langsung kembali ke peraduannya. Mampir sebentar ke rumah sahabat lama adalah tujuannya datang kemari. Ia tak datang dengan tangan kosong, ada oleh-oleh yang dibelinya untuk si tuan rumah yang sudah berbaik hati memberikan kelonggaran untuk membuka pintu dan menyambutnya malam-malam begini.     

"Sudah makan malam?" Seseorang menyela. Berjalan dengan langkah ringan sembari menatapnya dan tersenyum manis. Ada satu nampan yang dibawanya. Berisi segelas teh hangat dengan beberapa potong roti kering bertoping susu kental manis di atasnya.     

"Sudah, Tan." Arka ikut tersenyum. Memutar tubuhnya untuk menghadap Diana. Menyambut kedatangan wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung itu dengan antusias.     

"Papa dan mama sehat 'kan?" Diana kembali menimpali. Tatapannya tegas sedikit teduh untuk laki-laki yang kini membantunya meletakkan semua yang ada di dalam nampan. Arka tak bersuara. Ia hanya menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah seraya tersenyum manis dan hangat.     

"Ana sudah tidur, Tante?"     

"Hm, Alia pun baru saja masuk ke kamarnya." Ucapan itu menutup percakapan ringan mereka. Sejenak diam. Sama-sama tak bersuara sebab tak ada lagi yang ingin dibicarakan. Kedatangan Arka tergolong tiba-tiba. Biasanya ia akan memberi kabar terlebih dahulu, namun malam ini seakan-akan terdorong oleh badai dari luar pemuda tampan ini datang menyambangi rumahnya.     

"Mau menginap?" Diana kembali berbasa-basi. Ingin memecah hening dan sepi yang mulai memeluknya.     

"Davira ada kabar, Tan?" Ia menyahut. Mengabaikan pertanyaan dari Diana dan mengubah topik pembicaraan. Ia datang untuk Davira. Menanyakan kabar gadis kesayangannya itu adalah tujuan utama Arka datang malam ini. Besok ada kasus yang harus ia tangani di persidangan. Tak bisa mampir mungkin sampai lusa depan. Tergantung seberapa berat persidangan yang harus ia hadapi nanti.     

"Aku tidak bisa menghubungi Davira satu minggu terakhir ini. Ada masalah di London?" tanya Arka kembali mengimbuhkan. Diana lagi-lagi tersenyum manis. Seakan itulah senjata terbaik untuk mencairkan suasana yang ada.     

"Perusahaan Denis di jual dan dipindahkan ke Hongkong." Diana mulai menjelaskan. Sukses menarik kedua sisi alis pemuda tampan yang ada di depannya.     

"Lalu Davira?"     

"Ada dua pilihan yang bisa dipilih oleh Davira. Pergi Ke Hongkong dan memulai hidup baru atau kembali ke Indonesia untuk mengambil alih perusahaan yang ada di sini. Davira akan menjadi pemiliknya kalau—"     

"Lantas, Davira menjawab apa?" Arka menyahut. Memotong kalimat Diana yang baru saja ingin menjelaskan.     

"Kamu sangat penasaran?" tanya Diana bermain teka-teki. Ia menyorotkan lensanya tepat pada paras tampan remaja yang ada di depannya.     

Arka diam. Sejenak mencoba untuk menerka keadaan yang sedang ada di sekitarnya. "Davira belum mau memutuskannya?"     

Wanita berambut panjang yang dibuat Cepol kecil ala kadarnya itu tertawa ringan. Menganggukkan kepalanya untuk memberi respon pada apa yang dikatakan oleh pemuda jangkung berjas sedikit kacau itu.     

"Kamu benar-benar mengenal Davira," tukasnya menepuk pundak milik Arka.     

"Bicaralah dengan dia. Siapa tahu ketika kamu yang membujuk, Davira akan mau untuk pulang," pungkas Diana tersenyum manis.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.