LUDUS & PRAGMA

21. Melepaskan



21. Melepaskan

0Siapa yang tak suka suasana tenang dengan gemercik air yang menyela keheningan? Davira Faranisa begitu nyaman akan hal itu. Ia terus saja menatap air mancur kecil yang dibangun di sisi ruang kerja sang papa. Ikan kecil berhias warna yang indah berenang di bawahnya. Sesekali menyembulkan kepala untuk bernapas dan mengambil oksigen dari alam. Gadis itu tersenyum manis. Tak banyak berbicara ia hanya duduk sembari terdiam menikmati suasana yang ada. Ada satu keputusan yang menghantarkan langkah kakinya untuk sampai ke lantai atas gedung yang tak akan pernah lagi ia sambangi apapun alasannya.     
0

Pengurangan karyawan mulai terjadi. Suasana sepi dengan beberapa hal yang mulai berubah. Papanya memang gila ambisi seperti dirinya. Menjual perusahaannya tanpa sepengetahuan Davira Faranisa tentu membuat hati gadis itu sedikit kecewa. Ia banyak menaruh harapan untuk tinggal di sini dan mengembangkan perusahaan menjadi lebih banyak dan lebih tinggi lagi.     

"Sudah lama menunggu papa?" Suara berat menyela dirinya.     

Davira menoleh. Tepat di depan ambang pintu seseorang berdiri dengan tegap membawa satu kotak kardus besar tanpa isi di dalamnya. Pria itu berjalan mendekat. Tak lagi dengan setelan jas mahal dan sepasang sepatu mengkilap, penampilannya benar-benar terbilang sangat sederhana untuk golongan seorang pemimpin perusahaan besar.     

"Papa benar akan menjualnya?" tanya Davira kembali memastikan. Seperti apapun usahanya untuk percaya dengan semua ini, tetap saja ... ia belum bisa meletakkan semua kepercayaannya.     

"Pembelinya akan datang besok. Jadi kita harus mengemasi semuanya. Karyawan yang tetap ingin berkerja akan ikut ke Hongkong, tapi yang tak mau sudah papa beri pesangon yang cukup serta bonusnya." Pria itu menjelaskan. Mulai mengumpulkan semua dokumen yang ada di atas meja. Memasukkannya satu persatu ke dalam kotak tanpa mau menatap kegelisahan yang ada di atas paras cantik sang putri.     

Berat hati rasanya. Meninggalkan London dan harus dipaksa untuk kembali ke Indonesia lagi. Bagi Davira, ia sudah nyaman berada di sini. Meskipun terkadang sepi datang membentang, namun ia tak pernah risau akan hal itu. Banyak hal yang bisa ia lakukan di sini. Bukan seperti Indonesia yang harus berkendara untuk pergi ke lain tempat, di London kau bisa berjalan kaki sembari menikmati apa yang alam suguhkan hari ini.     

"Kamu sudah memutuskan?" tanya Denis menghentikan aktivitas kecil yang ia ciptakan. Netranya kembali untuk sang putri. Menelisik arti tatapan yang kini teduh menaruh banyak harapan untuk Davira Faranisa.     

Gadis itu tak bergeming dalam sepersekian detik. Hanya diam sembari sesekali menghela napasnya kasar. Sekali lagi, rasanya sangat berat. Bagai ribuan ton batu yang ditimpakan tepat di atas pundaknya, gadis itu tak percaya akan memutuskan ini. Hongkong sangat asing untuknya. Memulai hidup baru dan relasi baru sungguh menjadi hal yang paling ia benci. Davira tak ingin memulainya dari awal lagi. Meskipun bersama sang papa, namun tetap saja. Rasanya sangat memuakkan.     

"Hm. Davira sudah memutuskan." Lirih suara itu akhirnya terdengar masuk ke dalam telinga Denis. Pria berkumis tipis dengan rambut abu-abu itu kini mengerjapkan matanya. Menunggu kalimat lanjutan dari sang putri.     

"Aku akan kembali ke Indonesia," ucapnya sembari menghela napas ringan. Kepalanya kini menggeleng samar. Entah ada apa namun ia merasa akan menyesali keputusan gila ini.     

Davira memang membenci segala kenangan yang ada di Indonesia, namun ia lebih membenci harus memulai hidup baru dan beradaptasi di tempat yang tak ia sukai. Dewasa bukan pasal bagaimana pandai menyikapi keadaan saja, terkadang dewasa juga pasal bagaimana kita gila dalam mengambil keputusan.     

"Papa akan siapkan paspor dan penerbangannya," tutur Denis antusias. Kembali ia melanjutkan aktivitasnya. Menatap tumpukan dokumen yang ada di sisi meja.     

"Segitunya papa pengen Davira kembali ke Indonesia?" tanyanya menggerutu.     

"Indonesia akan lebih baik untuk kamu." Denis menyahut. Tepat saat gadis itu ingin menghela napasnya, kekehan kecil menyela. Ulur tangan pria berkaos V itu kini tegas mengacak puncak kepala sang putri. Jujur saja, lima tahun sudah cukup untuk Denis mengenal dan menjaga Davira. Gadis itu dewasa atas pengawasan darinya. Membahagiakan sang putri adalah harapannya di usia tua nanti. Katakan saja ia bersyukur di atas luka yang dimilik oleh putrinya sendiri. Memang terdengar sedikit kejam, namun dari luka dak kisah buruk itu Denis mendapat kesempatan untuk bisa bersama Davira Faranisa.     

"Aku harus berpamitan dengan seseorang sekarang." Ia kembali menyela. Tepat mengarahkan pandangan netranya untuk sang papa.     

"Siapa?"     

••• LudusPragmaVol3 •••     

"Joe!" Antusias suara itu memanggilnya. Pemuda bermantel abu-abu muda yang baru saja ingin membayar jajannya itu menoleh. Sejenak menghentikan aktivitasnya kemudian kembali menyodorkan selembar uang kala mengetahui siapa gerangan yang berteriak bak orang gila di tengah kerumunan.     

Davira Faranisa, si gadis cantik yang tersenyum manis untuk menghampiri posisi sang teman dekat. Joe menoleh. Selepas mendapat kembalian untuk jajanan yang dibelinya, ia menyambut kedatangan Davira dengan menyodorkan satu kantung makanan untuk gadis itu.     

"Aku tahu kau pasti di sini," ucapnya tersenyum manis. Menerima uluran dari Joe yang hanya menganggukkan kepalanya ringan.     

"Sudah memutuskan?" tanya Joe tiba-tiba. Tak ingin berbasa-basi seakan paham benar bahwa gadis itu datang untuk mengatakan sesuatu.     

Ya, Joe mengenal Davira. Gadis itu tak akan pernah senggang di waktu begini. Mendatanginya di tempat ramai begini, pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan olehnya.     

"Hm. Sudah," tukas Davira singkat.     

"Jadi bagaimana?"     

"Aku akan kembali ke Indonesia. Jadi mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita," ucapnya melirih. Menundukkan pandangan untuk menatap irama langkah kaki yang keduanya ciptakan sekarang ini.     

"Bagaimana menurutmu?" susul Davira kala Joe hanya terdiam.     

"Apanya yang bagaiman? Kau bahagia dengan keputusan itu?" Joe menyahut. Dengan nada ringan seringan langkah yang keduanya ambil sekarang ini.     

Davira terdiam. Sejenak tak ada suara untuk memantapkan hatinya sendiri. London adalah tempatnya menjadi dewasa, namun ini bukan kampung halaman tercinta. Hongkong akan menjadi tempat ukir sejarah yang baru jikalau ia memutuskan untuk ikut bersama sang papa, namun Davira membenci untuk kembali beradaptasi. Indonesia? Semua kenangan buruk ada di sana. Bahkan sampai detik ini ia tak tahu, bisakah Davira menghadapinya?     

"Hanya itu yang bisa kupilih. Tak mungkin menetap di sini tanpa keluarga atau pekerjaan yang tetap." Davira kembali berucap. Tak tersenyum atas apa yang dikatakan oleh bibirnya sendiri.     

"Setidaknya kau bisa memperbaiki itu semua, Davira."     

Gadis itu menoleh. Tak mengerti dengan maksud kata memperbaiki di sini. Apanya yang harus diperbaiki? Salahkah ia pergi waktu itu?     

"Memperbaiki keadaan dengan kembali menerobos masa lalu. Membuat sebuah kenangan indah untuk menjemput masa depan. Itulah kunci untuk bahagia Davira," ucap Joe tersenyum manis.     

... To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.