LUDUS & PRAGMA

23. Kalimat Penenang (Bagian 1)



23. Kalimat Penenang (Bagian 1)

0Tatapannya tak ingin beralih. Tetap dalam satu titik di mana paras cantik seorang Davira Faranisa berada. Ia mengabaikan Naila yang diam di sudut meja. Gadis itu masih diam membisu sebab belum benar bisa menyesuaikan diri dengan kondisi barunya. Sungguh, ia bahkan tak tahu benarkah gadis yang duduk di depannya ini adalah Davira Faranisa? Bagaimana jikalau Raffa hanya menipu dirinya saja sebab ia belakangan ini terlalu banyak berbicara dan bertanya-tanya perihal bagaimana itu Davira Faranisa?     
1

"Kenapa lihat kakak sampai segitunya?" tanya Davira sembari menarik segelas lemon tea yang ada di depannya. Ia tersenyum manis kala Raffa benar-benar membisu. Tak ada celah bibir yang diciptakan oleh remaja itu, bahkan segelas jus mangga yang dipesannya saja sudah mencair hampir meluap keluar dari mulut gelas sebab ia tak kunjung meminumnya.     

"Ada yang aneh di wajah aku?" susulnya untuk memecah keheningan. Dua remaja yang duduk berjajar di depannya itu benar aneh sekarang ini. Entah terpukau pada seorang wanita muda yang baru saja mendarat dari pesawat dan pulang dari luar negeri, atau bagaimana? Yang jelas, hanya ia yang berbicara sekarang ini.     

"Kakak baru datang?" Naila menyela. Seakan paham apa yang kiranya ada di dalam pikiran seorang Raffardhan Mahariputra Kin. Lemah dan payah kalau sudah menyangkut seorang wanita cantik. Dasar, buaya!     

"Kiranya satu jam lalu. Aku menyempatkan makan siang karena sudah lima tahun pergi dari Indonesia." Davira mempersingkat. Suaranya terdengar lembut dan nyaman meskipun ini kali pertama dirinya bersua dengan seorang bermata bulat dengan dua gigi kelinci yang menyembul keluar kala ia tersenyum kuda.     

"Kakak ini beneran Davira Faranisa?" Naila kembali menyela. Kini tatapan aneh muncul untuk Davira. Samar ia mengerutkan dahinya. Kedua alisnya tersentak mengikuti matanya yang membulat.     

Davira menganggukkan kepalanya. "Ada yang aneh tentang itu?"     

Naila diam sejenak. Matanya terpaku bersama raut wajah yang tak berubah. Ia sejenak melirik Raffa yang terus diam tak kunjung membantunya dari rasa canggung ini. Remaja sialan itu terus saja menatap Davira tanpa mau berkedip sedetikpun.     

"R--Raffa bercerita banyak tentang kakak," ucap Naila melirih.     

"Benarkah?" tanya Davira menatap remaja jangkung yang ada di depannya. Lensa itu teduh. Hidungnya mancung dan sepasang alis itu berwarna legam tak menyiku. Senyum dan bibir itu mengingatkan Davira pada seseorang ... bukannya memudar, semakin bertambahnya usia Raffa semakin mirip dengan sang kakak. Bahkan katakan saja bahwa seluruh lukis wajah Adam ada di atas paras tampan milik Raffa.     

Senyum manis itu menghilang kala bayang seseorang mulai masuk ke dalam pikirannya. Lekas gadis itu menggelengkan kepalanya ringan. Tak ingin terlalu lama menatap, Davira kini memindah fokus untuk menatap kulacino yang dihasilkan oleh gelas besar milik Naila.     

"Kenapa kakak kembali?" Suara itu akhirnya menyela. Tak hanya Davira, namun juga Naila. Dua gadis berbeda usia itu kini menoleh. Tepat mengarahkan pandangan matanya untuk menatap perubahan raut wajah milik Raffa.     

"Bukankah seharusnya lo tanya bagaimana kabar, kondisi dan—"     

"Kakak hanya mampir sejenak?" susulnya mengabaikan kalimat yang terucap dari bibir sang sahabat.     

Naila diam. Memejamkan matanya sejenak sembari berdecak lirih. Sahabatnya itu memang tak tahu sopan santun. Meksipun Davira adalah gadis yang datang dari masa lalunya, namun tetap saja Davira itu lebih tua darinya. Juga, ia baru saja kembali dari negeri seberang.     

Davira tersenyum manis. Kembali menatap Raffa yang diam menunggu jawaban darinya. Tak ada suara yang menyela. Keduanya hanya diam dengan sorot mata yang datar.     

Ponsel berbunyi. Bukan milik Raffa maupun Davira, namun Naila. Gadis itu sigap meraihnya. Cepat mematikan dering yang mengganggu dengan membuka spam pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya.     

"Siapa? Dari rumah sakit?" tanya Raffa menyela. Gadis di sisinya menggeleng ringan. Tersenyum manis untuk membalas tatapan mata penuh dengan kekhawatiran itu.     

"Dari kampus. Gue harus segera kembali," ucapnya menyela.     

"Aku pamit dulu, Kak." Naila bangkit dari tempat duduknya. Cepat mengemasi barang-barang miliknya untuk pergi dari sana. Meninggalkan Raffa juga Davira yang masih sama-sama diam tak bersuara. Entah hanya perasaannya saja, atau memang seperti ini nyatanya. Naila merasa bahwa kehadiran dirinya menjadi hama untuk Raffa maupun Davira.     

Pesan yang masuk bukan berasal dari kampus yang mengharuskan dirinya pergi, namun dari seorang teman yang ingin mencurahkan isi hatinya pada Naila kalau nanti kembali ke kampus.     

"Kabari gue kalau ada perkembangan dari rumah sakit." Remaja itu menarik pergelangan tangan milik Naila. Membuat gadis di depannya terhenti dan menatapnya teduh. Naila tak berucap, ia hanya mengangguk samar sembari tersenyum ringan. Sekali lagi gadis itu membungkukkan badannya untuk memberi salam perpisahan pada Davira.     

Naila pergi. Kini hanya bersisa Raffardhan Mahariputra Kin yang duduk berhadapan dengan Davira Faranisa. Lima tahun mengubah banyak gadis yang ada di depannya itu. Surai itu tak lagi panjang tergerai, namun pendek menggantung di atas pundaknya. Cara Davira memoleskan make up pun bisa dibilang lebih baik dan lebih sempurna lagi. Benar, bahwa kecantikan seorang gadis akan bertambah seiring menuanya usia.     

"Dia pacar kamu?" tanya Davira memecah keheningan. Tak mau menjawab apa yang menjadi pertanyaan Raffa sebelumnya.     

"Aku masih menyukai kakak." Raffa menyahut. Tegas nada bicaranya membuat Davira hanya mampu mengembangkan senyum tipis nan kaku. Keadaan tak benar berubah sekarang ini. Ia masih menjadi seorang gadis untuk Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Lima tahun berlalu, aku harap kamu mengerti itu." Davira kembali membuka suaranya. Berucap dengan nada lirih nan hati-hati. Ia mendarat satu jam lalu. Bahkan belum sempat singgah ke rumahnya, Davira melihat Raffa berjalan dengan seorang gadis cantik. Ia memutuskan untuk menemuinya terlebih dahulu. Sebab Davira sudah mendengar semuanya.     

Ia tahu bahwa Raffa selalu menunggu kepulangannya tiga tahun yang lalu. Selalu menunggu di pintu masuk dan keluar bandara, menunggu di dalam halte bus, bahkan duduk sendirian di depan gerbang rumahnya. Davira tahu semua itu. Tak ada yang terlewatkan.     

"Kenapa kakak mengingkari janjinya?" tanya Raffa kembali memutar balikkan pertanyaannya. Topik sebelumnya akan sangat membosankan. Benar kata Davira, lima tahun berlalu. Ia tak ingin terjebak dalam topik pembicaraan yang sama.     

"Maafkan aku, tapi sulit untuk kembali kala itu."     

"Setidaknya beri kabar." Raffa menyahut cepat. Tak peduli apa yang ada di dalam pikiran Davira sekarang ini, tak peduli juga jikalau ini akan merusak hari baiknya. Raffa tahu, kerinduan ini yang membuatnya bersikap seperti sekarang. Bahkan jikalau Davira tak memintanya untuk melepas pelukan dan berbicara di tempat yang layak, ia tak akan pernah mau melepasnya.     

"Aku benar-benar ingin kabur dan menghilang saat itu," tukasnya melirih. Tatapan Davira berubah menjadi sayu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.