LUDUS & PRAGMA

24. Kalimat Penenang (Bagian 2)



24. Kalimat Penenang (Bagian 2)

0Helaan napas menyela keduanya. Davira hanya diam. Selepas melontarkan kalimat yang tak pernah disangka olehnya akan lolos keluar dari celah bibirnya itu, ia menundukkan pandangan. Tak lagi menatap Raffa yang ada di depannya. Sorot lensa itu menghindari paras tampan identik dengan milik sang mantan kekasih. Davira paham bahwa apapun yang menjadi keputusannya pastilah memiliki sisi baik dan buruknya. Pergi ke London dan mengingkari janji untuk kembali dua tahun setelahnya memang terdengar jahat untuk sebagaian orang. Ia sudah mengkhianati janjinya sendiri. Apapun alasannya, Davira tetaplah seorang pembohong untuk Raffardhan Mahariputra Kin. Davin pun juga paham, kalau rasa kecewa pasti ada di dalam hati remaja jangkung yang ada di depannya itu.     
0

"Kenapa kakak kembali?" Ia mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab oleh Davira. Tak ingin meloloskan gadis itu begitu saja, Raffa benar ingin mencecarnya dengan ribuan pertanyaan untuk melegakan hati yang gundah selama tiga tahun terakhir. Tak ada yang bisa mengiriminya sebuah informasi untuk melegakan hatinya, semua terasa tiba-tiba dan sangat aneh untuk Raffa. Davira pergi, keadaan berubah dan janji tak ditepati. Kedua orang tuanya bercerai dan sang kakak lumpuh sementara. Arka dan Rena tak lagi akrab dengannya. Kayla menjadi gadis penipu bermuka dua di depan masyarakat. Ia tak pernah mendengar kabari dari Davina lagi. Gadis sialan itu menghilang selepas satu tahun pesta perpisahan diadakan.     

Lalu? Tak ada yang membantu dirinya untuk memecahkan segala teka-teki yang menyelimuti di dalam diri. Semua terasa semu namun jelas adanya. Bukan hanya Davira, namun Raffa juga ingin kabur dan menghilang bak seorang pengecut. Akan tetapi, semesta mengirim satu malaikat tanpa sayap yang ada di sisinya setiap saat, Naila.     

"Karena ini rumahku," ucap Davira mempersingkat. Tersenyum aneh mengiringi kalimatnya.     

Mendengar itu Raffa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tak bisa banyak berbicara sekarang. Paham dan mengerti? Tidak sepenuhnya. Setidaknya dari apa yang ia dengar, Raffa paham akan satu hal kalau Davira akan menetap di sini. Entah berapa lama, namun dalam waktu dekat ia tak akan pergi lagi.     

"Berapa lama kakak akan di sini?"     

Davira menghela napasnya kasar. Kembali sorot netra itu menyapu setiap inci lukis wajah tampan yang ada di depannya. Hatinya kembali bergejolak hebat. Rasa rindu kini mulai menggebu-gebu. Semesta tak pernah benar-benar menghilangkan rasa cintanya pada sang mantan kekasih, semesta hanya menutup itu untuk sementara. Kalau waktunya sudah tiba, maka ia akan membukanya kembali.     

"Bukankah seharusnya kamu tanya kabarku terlebih dulu? Setidaknya berbasa-basi ini itu sebab kita sudah lama tak bertemu." Davira menyela. Tak ingin terlalu larut masuk ke dalam perbincangan yang berat seperti ini. Ini kali pertama dirinya kembali ke Indonesia. Dirinya sudah disambut dengan hal seperti ini.     

"Sampai kapan kakak akan di sini?" Tepat dugaan! Remaja satu ini adalah orang yang kokoh dalam pendiriannya. Sekuat apapun Davira mencoba mengalihkan pembicaraan, tetap saja ia akan kalah telak.     

"Selamanya."     

Percakapan terhenti. Raffa tak lagi berucap selepas mendengar kalimat singkat itu keluar dari bibir Davira. Tatapannya tak menandakan bahwa ia sedang berdusta sekarang ini. Apa yang dikatakan olehnya, adalah sebuah kebenaran.     

"K--kakak serius?" tanyanya terbata-bata.     

"Perusahaan papa aku dipindahkan ke Hongkong. Aku tak ingin ikut ke sana. Jadi aku memilih untuk kembali. Paham sekarang?" Davira menimpali. Sukses membuat remaja yang ada di depannya itu mengangguk-angguk kepalanya sembari tersenyum manis. Matanya menyala-nyala. Antusias adalah ekspresi yang terlukis di atas paras tampannya sekarang ini. Davira melihat remaja jangkung di depannya itu sudah merasa sedikit lega sekarang. Setidaknya senyum itu, benar tulus datang dari hatinya.     

Raffa kini memindah fokus netra indahnya. Mulai mengaduk-aduk minuman yang ada di depannya dan menyeruputnya kasar. Senyum itu tak pernah pudar dari atas bibir merah muda miliknya. Sesekali melirik Davira yang duduk rapi sembari memberikan sorot teduh mengarah padanya. Ia masih belum bisa mempercayai ini. Davira duduk di depannya dengan penampilan yang berbeda. Lebih cantik dan lebih elegan lagi. Bukan lagi seorang siswi sekolah menengah atas yang anggun dengan rambut pekat berponi tipis dan seragam sekolah yang monoton, Davira sudah menjadi seorang wanita muda yang berkarir. Caranya berpakaian pun lebih manis di pandang. Tak monoton, namun juga tak berlebihan. London benar-benar mengubahnya.     

"Kakak akan ada di sini selamanya?" tanya Raffa kembali memastikan. Ia ingin tahu satu hal, bahwa apa yang didengarnya tak salah. Davira akan tinggal dan menetap di sini selamanya.     

"Hm ... segitu senengnya 'kah kamu?" tanya Davira terkekeh ringan. Raffa menganggukkan kepalanya. Tak menjawab dengan suara namun kiranya anggukan itu sudah mewakili semua.     

"Ngomong-ngomong soal ...."     

"Kak Adam?" Raffa menebak. Memotong kalimat Davira yang baru saja ingin kembali berucap. Bukan, ia tak ingin tahu tentang itu. Davira hanya ingin tahu bagaimana kabar keluarga Raffa.     

"Dia lumpuh," ucap Raffa menegaskan.     

Deg! Hatinya panas. Dada Davira sesak. Matanya tak mampu berkedip juga lidahnya kelu. Bibirnya kaku tak bisa bergerak untuk menciptakan suara. Ada rasa aneh yang menyelimutinya sekarang ini.     

"Lumpuh sementara." Remaja itu mengimbuhkan. Kini mulai mendongakkan kepalanya untuk menatap perubahan ekspresi wajah Davira Faranisa.     

Tepat dugaan! Tatapan dan raut wajah itu tak asing untuk Raffa. Khawatir, sedih, gundah, dan gulana bercampur menjadi satu sekarang ini. Bibir itu terhenti tak mampu berucap apapun lagi. Sejenak hening membentang di antara keduanya.     

Davira kini memalingkan wajahnya. Tak ingin lagi bertatap muka dengan lawan bicaranya. Lirih ia menghela napasnya. Mengapa semua terasa kembali berat sekarang?     

"Kakak gak mau tanya kenapa Kak Adam bisa—"     

"Gimana kabar mama kamu?" Davira mengubah topik pembicaraan. Tak mau membahas apapun yang berhubungan dengan sang mantan kekasih. Ia tak perlu tahu apapun yang menyangkut pasal kehidupan Adam Liandra Kin sekarang ini. Toh juga, ia yakin Adam sudah lebih bahagia dengan Davina Fradella Putri.     

"Dia kecelakaan lima tahun yang lalu." Raffa memulai. Menarik kembali pandangan Davira kala kalimat singkat itu terdengar masuk ke dalam lubang telinganya.     

"Maksud aku Kak Adam. Saat itu dia ingin mengejar kakak, meskipun tahu bahwa itu sudah terlambat. Karenanya dia mengalami kecelakaan dan membuatnya lumpuh sementara selama lima tahun terakhir ini." Remaja jangkung itu meneruskan kalimatnya. Tak peduli dengan raut wajah gadis yang ada di depannya sekarang ini. Meskipun bibirnya menolak, namun tatapan mata itu seakan mulai menaruh rasa ingin tahu.     

"Tapi tenang saja, dokter sudah mengatakan bahwa jika Kak Adam mempunyai ambisi untuk sembuh, tahun ini ia akan bisa berlari lagi," pungkasnya menutup kalimat.     

"Kenapa kamu menceritakan ini padaku?" tanya Davira menyahutnya.     

Raffa menyeringai samar. "Karena kakak terlihat ingin mengetahuinya."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.