LUDUS & PRAGMA

25. Hati Yang Baru



25. Hati Yang Baru

0Bel sekolah nyaring berdering. Panjang bunyinya khas mengingatnya gadis berambut pendek itu kala masa sekolah menengah atas dulunya. Ini adalah momen yang paling disukai dulunya. Waktu telah usia dengan bel panjang yang mengakhirinya. Pembelajaran sudah selesai. Waktunya untuk pulang menyambangi kediaman tercinta. Ada satu alasan gadis itu menyambangi tempat ini, bukan untuk kembali mengukir sejarah dan kenangan atau mengulas kembali, Davira datang untuk menjemput seseorang.     
0

Ia tak kembali ke rumah selepas bertemu dengan Raffa, gadis itu pergi dengan sang supir untuk menjemput seseorang. Davira berharap, meskipun penampilannya sudah banyak berubah dan usianya mulai menua, Alia tak akan pernah bosan untuk menunggunya datang kembali.     

Riuh dirasakan olehnya selepas sepersekian detik bel berhenti. Kini suasana yang tadinya sepi bak kota mati kembali hidup dengan riuh gemuruh semua penghuni sekolah yang saling bersautan. Menyapa, memanggil, tertawa, bahkan menghina dalam tanda kutip untuk melepas penat dan tegang di dalam diri mereka.     

Davira pernah merasakan semua itu. Membosankan, namun sebuah rutinitas yang paling dirindukan. Berseragam putih abu-abu adalah masa yang paling mengesankan di dalam hidupnya. Meskipun lebih banyak kenangan buruk yang terukir. Akan tetapi siapa yang bisa menyangkanya, kalau kenangan itu membuat Davira menjadi lebih dewasa dan terbuka pikirannya.     

"Lo temui gue sepulang les nanti malam, oke?!" Teriakan itu menyita perhatian Davira. Seorang gadis dengan suara yang sama. Logat bicara tak berubah, meskipun sudah lima tahun lamanya.     

Baru saja ia ingin datang menghampiri Alia, namun seorang laki-laki menyela langkahnya. Berjalan ringan dengan langkah tegas menyambangi posisi berdiri sang adik tiri. Tegas tangan panjang itu merangkulnya dengan kasar. Alia menoleh cepat. Menatap siapa kiranya yang sudah bersikap kurang ajar padanya? Ah! Dia lagi!     

"Mau langsung pulang, Dear?"     

Tawa kecil muncul dari celah bibir milik Davira Faranisa, jadi remaja tak terlalu tinggi dengan tubuh sedikit berisi itu lah yang diceritakan oleh sang papa? Kekasih baru Alia.     

"Memangnya mau kemana?" tanya Alia berjalan ringan. Diikuti langkah kaki sang kekasih yang masih kuat merangkul pundaknya. Mereka berjalan beriringan. Membelah padatnya kerumunan yang ada di sekitar. Tak pernah mau peduli dan ambil pusing, gaya berpacaran anak jaman sekarang memang terlihat sedikit bar-bar dan kacau.     

"Bagaimana kalau makan es krim?" tanya Davira menyela. Dari sisi kanan ia berdiri. Tepat mendaratkan kedua kakinya sejajar di bawah pohon rindang yang dilalui oleh sang adik tiri.     

Alia menoleh. Menyipitkan matanya sebab posisi Davira sedikit samar, ah bukan! Lebih tepatnya ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Davira kembali? Itulah yang ada di dalam pikir Alia saat ini.     

"Gak mau?" tanya Davira kembali membuka suaranya. Senyum itu merekah hebat. Menandakan bahwa hari baik sudah datang. Sedikit ragu, namun Davira lolos melakukannya. Merentangkan tangan untuk kembali menerima pelukan dari orang-orang yang merindukan kehadirannya sekarang ini.     

Alia diam. Mematung tak berkutik sama sekali. Perlahan rangkulan remaja yang ada di sisinya terlepas. Bukan hanya Alia yang terkejut dengan kedatangan Davira sore ini, namun juga sang kekasih. Memang, remaja itu tak pernah bertemu Davira secara langsung. Akan tetapi dari semua cerita Alia yang didengarnya dengan penuh ketulusan, ia tahu akan satu hal bahwa Davira adalah orang baik yang berjiwa besar. Seorang tokoh yang patut menjadi panutan banyak orang.     

Kisah buruk seakan mengusirnya dari Indonesia. Menepi sejenak untuk mengenali luka dan berusaha menyembuhkannya sendirian. Ia tahu semua itu, tentu dari kisah yang diceritakan oleh Alia kala gadis itu merengek minta dipertemukan dengan Davira Faranisa, sang kakak tiri.     

"Kak Davira!" Alia berteriak. Kasar mendorong tubuh sang kekasih untuk memberinya celah berlari mendekat pada Davira. Jatuh tepat di atas pelukan gadis yang erat melingkarkan tangannya di atas punggung Alia. Hangat, pelukan untuk pertama kali selepas lima tahun berlalu sangatlah hangat dan nyaman. Semua terasa seperti mimpi untuk Alia.     

Sore ini, semesta menjawab semua harapannya. Davira kembali dengan keadaan yang baik. Sehat tubuhnya, juga Alia berharap bahwa hatinya pun demikian.     

"Kapan kakak kembali? Kenapa gak bilang-bilang sama Alia?!" pekik ya menggerutu. Melepas pelukan Davira yang merenggut oksigen untuk dihirupnya dengan leluasa.     

"Mama gak cerita?" tanya Davira memincingkan matanya. Sekilas ia menatap remaja yang mulai berjalan mendekat. Menghampiri Alia juga Davira yang berdiri di bawah pohon rindang tepi pagar besar sekolahan. Ini adalah tempat Davira mengukir sejarah bersama sang mantan kekasih dulunya. Memang, bukan momen indah untuk dikenang. Setiap ia melihat bangunan ini, rasanya seakan hati sedang dicambuk hebat. Perih dan pedih. Panas juga sesak dirasa di dalam batinnya yang bergejolak.     

---benar bukan? Ia hanya takut menghadapi keadaannya. Di Indonesia banyak buruk terjadi.     

Akan tetapi benar juga kata Joe, bahwa cara menyelesaikan masa lampau yang belum usai adalah kembali kembali dan menerobos waktu. Menuntaskan semua satu persatu dengan melawan rasa sakit yang mungkin saja muncul. Berlari dan terus berlari tak akan pernah bisa mengobati luka itu. Waktu tak sebaik itu. Hanya menutup dan membuat lupa. Suatu saat nanti, akan ada waktunya pula luka itu akan kembali terbuka jikalau tak diselesaikan dengan baik.     

"Mama tau tentang ini?" Alia menyahut. Memprotes gadis yang lebih tua darinya itu.     

"Tentu. Kakak memberi kabar kemarin sebelum terbang ke sini," tuturnya lembut.     

"Cih, mama memang pembohong besar!" Alia melipat tangannya di atas perut. Bibirnya mengerucut sembari mulai bergumam ringan. Tak lagi menatap Davira, gadis itu mengalihkan pandangannya. Tentu, mamanya sudah berbohong. Menutupi berita baik hari ini.     

"Kak Davira?" Remaja jangkung menyela. Berdiri tepat di sisi Alia sembari mengulurkan tangannya. Sopan dan santun. Caranya memanggil sangat lembut. Bahkan sebelum mengulurkan tangan, ia mengelap permukaan tangannya dengan celana abu yang dikenakan olehnya. Tak kotor, namun itu etika yang bagus.     

Davira menyukai senyum dan caranya menatap. Tak seperti remaja brandal yang suka menyombong. Alia pandai memilih kekasih.     

"Kamu pacarnya Alia?"     

Ia mengangguk. Makin tegas mengulurkan tangan untuk membuat pertemuan kali ini terasa begitu indah dan berkesan. Davira menerima itu. Berjabat tangan ringan sembari saling melempar senyum manis. Sebuah pertemuan kecil yang mengesankan.     

"Alia banyak bercerita tentang kakak. Aku jadi penasaran bagaimana Davira Faranisa itu. Ternyata Alia berbohong." Ia melanjutkan. Sukses menarik perhatian sang kekasih yang baru saja membulatkan matanya. Menyenggol kasar bahu milik remaja jangkung yang mulai tak acuh dengan keberadaan Alia.     

Gadis itu tahu bagaimana sang kekasih, suka melucu di tempat dan waktu yang tak tepat. Tolonglah! Ini adalah hari baik!     

"Kakak lebih cantik dari apa yang dilukiskan dari cerita Alia," ucapnya tertawa kecil.     

Davira ikut tertawa. Senyum dan tawa itu ... mirip seseorang. Meskipun tak identik, namun tampannya hampir mirip.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.