LUDUS & PRAGMA

26. Dialog Bersama Saudara



26. Dialog Bersama Saudara

0Laju mobil itu tegas membelah padatnya jalanan. Dua gadis dengan rentang usia yang tak bisa dibilang dekat itu masih diam sembari terus menatap ke jalanan luar. Sejenak tak ada percakapan di antara mereka saat ini. Hanya musik jazz yang memecah keheningan. Meskipun tak saling menatap, namun Davira tegas merasakan hangatnya genggaman tangan Alia. Gadis itu tak mau melepaskannya. Setengah jam kiranya ia menggenggam tangan Davira tak mau melepasnya. Pergerakan ringan yang dilakukan olehnya tak mampu membuat erat dan rapatnya genggaman itu terlepas dari punggung tangannya.     
0

Alia terlalu bahagia. Nyaman tak ingin kembali kehilangan. Seakan-akan kalau ia melepaskan genggaman itu, Davira akan hilang ditelan udara yang berembus.     

"Boleh kakak tanya sesuatu?" Davira menyela. Menatap Alia yang menoleh cepat ke arahnya. Gadis itu melirik genggaman tangannya sendiri. Posisinya nyaman, hingga ia tak merasakan genggaman itu lagi.     

"Mama masih suka lembur?" imbuhnya menimpali. Memang Davira bisa menanyakan hal itu pada sang mama langsung, akan tetapi jawabannya tak akan pernah valid. Diana tak ingin Davira mengomelinya. Bahkan memalui telepon sekalipun. Ketika ia mempertanyakan hal itu, Diana selalu saja mengubah arah topik pembicaraan. Lebih baik kalau Davira tak tahu apa-apa saja yang dilakukan olehnya di Indonesia selama sang putri pergi.     

"Terkadang. Aku pikir bahwa aku dan Ana hanya merepotkan saja." Gadis itu menuturkan. Lembut nada bicara terdengar nyaman masuk ke dalam lubang telinganya.     

"Aku yang meminta mama untuk mengambil alih hak asuh kalian. Jadi artinya, aku yang membebani mama." Davira menyahut. Memprotes pemikiran aneh yang dimiliki oleh Alia. Wajar, Davira pun pernah berpikir demikian. Usia Alia belum benar matang seperti dirinya sekarang ini. Berpikir pendek tanpa menelisik dan merunut semuanya satu persatu adalah ciri khas seorang remaja labil seperti Alia ini.     

"Kenapa kakak melakukannya?" tanya Alia menatap dalam. Gadis di sisinya diam sejenak. Memilih bungkam untuk menjawab situasinya sekarang. Davira tahu, Alia akan banyak berpikiran ini itu yang tak menentu. Ia tentu ingat benar bagaimana Davira menolaknya kala itu. Dengan tegas, Davira Faranisa mengatakan bahwa ia tak bisa menerima Ana dan Alia sebagai saudara tirinya. Davira membenci Mira, bahkan sampai sekarang pun. Ia bukan Tuhan yang pandai memaafkan hamba-Nya yang brengsek. Davira hanyalah manusia biasa.     

"Karena kakak iba dengan kami?" tanya Alia kembali mengimbuhkan. Tak sabaran, sebab gadis yang diajak berbicara hanya diam sembari menatapnya teduh.     

"Pertama karena Mama pasti akan kesepian kalau hidup sendirian." Davira mulai menyela. Kini membalas genggaman tangan Alia yang hangat menggenggam jari jemari lentik miliknya.     

"Kedua itu adalah permintaan mama kamu dan yang ketiga, karena aku ingin melakukannya." Ia menerangkan. Sukses membuat gadis cantik yang ada di sisinya mengerut dahi samar. Davira tak tahu, kalau Alia akan sesabar ini menunggu kedatangannya. Mempertanyakan hal yang sebenarnya bisa ditayangkan pada Diana.     

"Permintaan mama aku?"     

Davira menganggukkan kepalanya ringan. "Sebelum mama kamu meninggal ada tiga permintaan dengan dua permintaan yang bisa aku kabulkan." Davira mulai menelisik. Memutar kembali ingatannya tepat pada saat pertemuan terakhirnya dengan Mira. Davira tak tahu kalau semua kejadian selepasnya, membuat hatinya luluh sedikit demi sedikit. Kejadian yang terjadi seakan sudah dilukiskan indah oleh semesta di atas sana. Kepergian dirinya membawa banyak perubahan. Hal yang tak mungkin terjadi, berubah menjadi sesuatu yang pantas untuk terjadi.     

Hubungannya dengan sang papa membaik. Kini menjadi sepasang keluarga yang bahagia. Begitu juga hubungannya dengan Alia dan Ana. Ia memberi kesempatan pada dua gadis kecil itu untuk masuk ke dalam hidupnya. Davira tak tahu, risiko apa yang akan terjadi nanti ke depannya. Namun yang jelas, ia hanya ingin menikmati apapun yang bisa ia nikmati sekarang. Tak peduli dengan halang rintang yang menghadang.     

"Apa permintaan pertamanya?" tanya Alia menyela.     

"Memanggilnya dengan dengan sebutan mama."     

Tatapan Alia mulai lain. Tak setajam sebelumnya. Kini ia mulai melunak. Kepergiaan sang mama tercinta lima tahun berlalu mungkin lebih tentu menjadi sebuah luka tersendiri untuknya mulai kehidupan baru. Tak mudah bagi seorang gadis yang ditinggal pergi oleh ibunya. Seakan semesta sudah mengambil separuh nyawa dan sebagian besar napas kehidupannya. Kematian Mira memang bukan hal yang mengejutkan lagi, namun untuk keluarga yang ditinggalkan itu menjadi sebuah kenangan yang masih belum bisa dipercayai hingga kini.     

"Aku tak bisa memenuhinya, karena sebesar apapun aku berusaha, mamaku hanya Diana. Bukan Mira," tuturnya menyusul. Alia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Setidaknya sang kakak tirinya itu mempunyai satu alasan yang kuat untuk permintaan yang tak bisa dipenuhi olehnya. Jikapun Alia berada di posisi Davira kala itu, maka ia juga akan melakukan hal yang sama. Terlalu sulit untuk memanggil seseorang dengan sebutan ibu dimana ibu kandung yang sebenarnya masih hidup menapaki bumi.     

"Lantas permintaan yang kedua?"     

"Mengasuh dan merawat kamu juga Ana. Jika Induk—"     

"Ular membunuh ibu tupai, maka anak tupai tak pantas membenci anak ular. Sebab jika disuruh memilih anak ular tak akan pernah mau lahir dari rahim seorang pembunuh." Alia memotong. Menirukan kalimat yang sudah tak asing lagi untuknya.     

Benar, kalimat itu yang ingin diucapkan olehnya.     

"Kamu paham juga ternyata," ucap Davira tertawa kecil.     

"Dan permintaan yang terakhir?"     

"Mengambil alih perusahaan yang ada di Indonesia juga memastikan perusahaan yang ada di London berjalan dengan lancar. Tak ada keluarga mama kamu yang mencoba untuk merebutnya."     

Alia tersenyum manis. Kini tangannya terlepas dari genggaman tangan Davira. Ia mengulurkannya. Menepuk pundak sang kakak tiri kemudian mengusapnya lembut. Keadaannya berbanding terbalik. Bukan Davira yang memberi selamat dan mendukung dengan sebuah motivasi, namun Alia. Gadis itu melakukannya sebab apa yang dikerjakan Davira selama lima tahun terakhir ini sangat mulia.     

"Kakak berhasil memenuhi dua permintaan mama. Terimakasih, mama pasti sedang tersenyum di atas sana," tukas gadis muda itu sembari menghela napasnya lega.     

"Kamu beneran gak berminat untuk mengolah perusahaan yang ada di Indonesia?" tanya Davira menyela. Alia sudah waktunya untuk memutuskan. Davira tak akan mengambil apa yang bukan menjadi miliknya, meskipun itu atas seijin sang papa sekalipun.     

Ali menggelengkan kepalanya. "Aku tak berambisi untuk hidup seperti itu. Aku ingin menjadi wanita yang biasa-biasa saja. Lagian kalau ada sesuatu yang aku butuhkan, ada kakak yang bisa aku andalkan!" ucapnya dengan tegas. Memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya.     

Davira kini tertawa. Berdecak lirih sembari melirik paras cantik milik Alia. Ia tak pernah melihat gadis itu tersenyum bahkan tertawa bahagia seperti ini. Lima tahun benar-benar membuat semua kesedihannya menghilang.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.