LUDUS & PRAGMA

27. Rumah Lama Bersama Suasana Baru



27. Rumah Lama Bersama Suasana Baru

0Dari semua yang ditakutkan olehnya untuk menghadapi masa depan, ada satu pelangi indah yang muncul. Lengkungan itu begitu apik dan memukau. Pancaran warna yang berbaur menjadi satu seakan menjadi sebuah ciri khas tersendiri yang amat dirindukan oleh para pencintanya. Lengkungan indah yang muncul sekelas hujan dan badai menghantam bumi itu kini ada di depan matanya. Rumah mewah yang tak pernah berubah sedikit pun. Dari luar nampak sama, entah bagaimana penampilan di dalamnya nanti, Davira berharap bahwa mamanya tak merenovasi banyak rumah ini. Kenangan ada di dalamnya. Meskipun tak semua indah, namun Davira menghargai apapun itu.     
0

Ia telah sampai. Kembali ke peraduannya setelah lima tahun lamanya ia pergi untuk mengkhianati. Gadis itu tak pernah mau pulang meskipun hanya satu detik berjalan. Mengijinkan kakinya kembali menginjak aspal jalanan Indonesia benar-benar hal yang ada di luar dugaannya. Davira sampai saat ini, hingga senja menutup hari kali ini ia belum bisa mempercayai dirinya sendiri. Entah hal bodoh apa yang akan terjadi nantinya, menuruti kata hati belum tentu membawa langkah kita menuju ke hal yang benar dan tepat. Risiko sedang menunggu di depan sana.     

"Biar aku bawakan kopernya, Kak." Alia menyela. Selepas turun dari mobil dan menghampiri Davira yang diam sembari menatap rumah mewah di depannya. Lampu utama dinyalakan, ada mobil merah maroon yang terparkir di sisi halaman depan. Davira mengenal itu, sang mama sudah pulang. Menunggu kehadiran dirinya tentu saja. Ia memberi kabar kemarin sebelum keberangkatannya kembali ke Indonesia. Dengan kalimat yang jelas tak bertele-tele, Davira mengatakan bahwa ia akan kembali. Pulang sendirian tanpa ditemani oleh sang papa. Mereka berdua berpisah di bandara dengan tujuan yang berbeda-beda. Jikalau sang papa akan pergi ke Hongkong, Davira akan kembali ke rumah aslinya. Indonesia.     

"Ayo masuk, Kak." Gadis itu kembali menginterupsi. Menarik pergelangan tangan gadis bermantel di sisinya itu. Tak ingin melawan, Davira mengikuti langkahnya. Alia mendorong gerbang besar yang ada di depannya. Membawa tubuh Davira untuk masuk ke dalam rumahnya. Benar, hanya sedikit yang berubah. Bukan dihilangkan, hanya diperbarui. Terlihat lebih cantik dan manis. Membuat nyaman mata memandang meskipun tak akan pernah seindah rumahnya yang ada di London.     

"Mama pasti terkejut dengan kedatangan kakak!" Alia mulai antuasias. Kini melepas genggaman tangannya dari gadis yang hanya diam sembari tersenyum manis. Bukannya tak lapang dada dengan keputusannya saat ini, namun perasaannya mulai bercampur aduk. Ada satu kekhawatiran besar, bagaimana jika Adam datang dan mencari dirinya di sini? Tempat ini tak asing lagi untuk sang mantan kekasih. Kalau benar kabar kepulangannya tersebar lebih cepat dari dugaan, Davira akan segera bertemu dengan Adam Liandra Kin. Hatinya belum bisa menerima keputusan ini dengan baik. Melangkahkan kakinya kembali ke tanah ibu pertiwi seakan menjadi keputusan paling sembrono yang ia ambil.     

Hidup Davira sudah cukup nyaman di London. Berteman dengan beberapa orang saja yang akrab bersamanya. Ia bahkan meninggalkan Joe, sahabat sekaligus rekan bisnisnya. Tak lagi bisa menatap paras tampan khas orang barat yang dilukiskan di atas wajah milik Joe lagi.     

"Kenapa kakak diam aja?!" pekik Alia sedikit kesal. Tidak bukan membenci, gadis itu hanya ingin menjadi manja malam ini. Sang kakak pulang, meskipun tak membawa oleh-oleh di kedua tangannya, namun kehadiran Davira adalah anugerah dan nikmat terbesar melebihi apapun untuk Alia.     

"Memangnya mau apa?" tanya Davira dengan tatapan polos.     

Alia berdecak. Melepas koper yang ada di dalam genggamannya kemudian berkacak pinggang di depan sang kakak tiri.     

"Ketuk pintunya dan panggil nama mama. Itu akan menjadi kejutan terbaik," ucapnya menyarankan.     

Davira tertawa. Gadis satu itu terlalu tinggi dalam berangan. Mamanya sudah tahu kehadiran Davira malam ini. Senja menutup hari sesuai dengan dugaan Davira. Ia mengatakan pada mamanya siang tadi, kalau proses pendaratan sukses dengan raganya yang baik-baik saja. Sang mama juga yang mengirimkan sopir untuk menjemput Davira. Jadi tak perlulah ia membuat kejutan semacam itu. Toh juga, suara Alia pasti sudah terdengar masuk ke dalam lubang telinga sang mama.     

"Masuk." Davira menekan gagang pintu. Menarik koper yang ada di sisinya kemudian melangkah masuk. Diikuti dengan sepasang kaki jenjang milik Alia. Memukau! Mempesona dan penuh kerinduan. Suasana rumah yang ia tinggalkan lima tahun lalu tak ada yang berubah sedikitpun. Semua dekor dan tata ruangan sama persis. Setiap inci sudut ruangan yang ada tak berubah sedikitpun. Davira menyukainya. Perlahan rindu itu mulai terobati.     

"Welcome back, Dear!" Suara lantang menghadang. Menyambut kedatangan gadis yang kini meletakkan sentral lensanya untuk menyambut kehadiran sang mama.     

Davira tersenyum manis. Berjalan ringan mendekati sang mama. Pelukan hangat kembali ia berikan. Bukan pertama kalinya, sebab Raffa dan Alia sudah mengambil pelukan milik Davira sebelum ini.     

"Long time no see, My daughter."     

Davira tersenyum kuda. Logat barat sang mama sangat menggemaskan. Tak pernah ia mendapat sambutan seperti itu. London benar membuatnya bak orang asing di sini.     

"Sudah makan siang?" Diana melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Bukan waktu yang tepat untuk menanyakan ini, sebab malam baru saja tiba. Sang putri sedikit terlambat sekarang ini.     

Janjinya hanya akan sampai senja paling lama. Sebab ia harus mampir di beberapa tempat terlebih dahulu, namun senja berakhir beberapa menit yang lalu. Davira baru datang bersama putri tirinya.     

"Aku ingin makan malam," ucapnya tertawa ringan. Menatap sang mama penuh kerinduan. Seorang gadis kecil kini keluar dari bilik ruangan. Di sisi pintu dapur ia datang membawa beberapa mainan di kedua tangannya.     

Davira menoleh kala suara lirih itu memangil nama Diana dengan sebutan mama. Ya, itu pasti Ana. Bayi cantik yang kini sudah tumbuh berkembang menjadi anak kecil yang lucu.     

"Ana?" panggil Davira lirih. Ia berjalan mendekat. Berposisi jongkok sebab terlalu tinggi untuk Ana jikalau harus mendongak menatapnya.     

Paras itu ... identik dengan Mira!     

"So beautiful," ucapnya lirih. Sembari mengusap kedua pipi gadis kecil yang diam menatapnya aneh. Tentu, Ana tak pernah mengenal Davira. Gadis itu pergi saat Ana belum bisa mengenali keadaannya.     

"Who?" tanyanya dengan logat lucu. Menggemaskan! Davira tertawa mendengar kalimat singkat itu.     

"Siapa yang mengajari kamu berbahasa asing?" tanya Davira menelisik.     

"Kak Alia," katanya terbata-bata.     

"Aku hanya berpikir kalau nanti ingin mengajak Ana menemui kakak di London, jadi aku mengajarinya sedikit bahasa Inggris." Gadis yang disebutkan namanya menyela. Tersenyum kuda menutup kalimatnya.     

"Kakak siapa?" tanyanya lagi. Davira kembali menatap Ana dengan hangat.     

"Kakak kamu," ucapnya.     

"Tapi kakak aku hanya Alia ...."     

"Kamu punya dua kakak. Alia dan Davira," tukas Davira meraih tubuhnya. Ia memeluk hangat gadis yang ada di depannya. Perlahan air mata itu turun. Entah mengapa, namun rasanya begitu sesak dan bersalah.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.