LUDUS & PRAGMA

29. Melepas Topeng



29. Melepas Topeng

0Selepas menghantarkan sang adik datang ke sekolahnya, tempat inilah yang menjadi persinggahan sementara Davira Faranisa. Bangunan tinggi yang dibangun tepat di sisi perempatan jalanan inilah yang akan menjadi tempatnya menghabiskan hari. Berjuang menjadi seorang pemimpin utama tak lagi belajar dan berdiri di belakang punggung sang papa. Bahagia juga sedikit bangga tentunya. Davira sudah menjadi dewasa. Namanya akan disebut-sebut kalau seseorang datang dan menanyai siapa pemilik gedung besar ini. Davira Faranisa lah yang memilikinya.     
0

Langkah kakinya kini mulai tercipta. Tatapan mata tak lagi mengudara untuk menatap tingginya bangunan yang ada di depannya sekarang ini. Davira melangkah masuk. Mendorong pintu kaca di depannya dengan antusias. Penuh keharuan ia tersenyum ringan. Akhirnya, selepas menghirup udara Indonesia kini ia bisa menghibur dirinya sendiri. Pemandangan kantor yang ramai. Lalu lalang orang hadir untuk mulai bekerja pagi ini. Khas baju kantor yang rapi membalut tubuh mereka. Dengan sesekali tersenyum padanya, orang-orang terlibat begitu bahagia akan kedatangannya.     

Tentu, rumor sudah beredar. Pemimpin baru adalah putri cantik dari Denis. Ia akan datang pagi ini. Mengenakan long coat dengan turtleneck yang menghias hingga menutupi lehernya. Gaya busana khas orang barat belum bisa lepas dari gadis itu. Baru satu hari kembali ke Indonesia, ia harus banyak menyesuaikan. Lima tahun cukup lama untuknya pergi. Terlalu terbiasa dengan budaya barat membuat Davira sedikit sulit mengubah caranya berpakaian.     

"Selamat pagi, Bu Davira." Seseorang menyela dirinya. Membuat Davira yang baru mulai menyusuri lorong bangunan dengan sepasang netranya itu kini menoleh. Memutar tubuhnya untuk menatap siapa kiranya yang berdiri di belakang tubuhnya sekarang ini.     

Pria itu sedikit tua. Kalau boleh menebak asal, Davira akan mengatakan bahwa ia berusia akhir 30an. Menjelang 40 tahun kalau tahun ini berakhir. Ada kumis tipis di bawah hidung lancipnya. Matanya bulat tertutup oleh kacamata kotak khas orang kantor yang rajin bekerja. Ia tersenyum ramah. Tepat mengarahkan pandangan netra pekatnya itu untuk Davira Faranisa.     

"Panggil aku nona," sahut Davira tersenyum tipis. Panggilan 'bu' benar tak cocok untuk dirinya. Ia masih muda. Menikah saja belum, apalagi punya seorang putra atau putri. Jadi setidaknya jangan sematkan panggilan yang membuat dirinya terkesan tua.     

"Baik, Nona Davira." Menurut dan patuh. Tak membatah ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Badan rampingnya itu membungkuk. Memperkenalkan diri kemudian. Ia menyebut nama Raka Putra Arjuna. Biasa dipanggil Raka katanya. Usianya? Tentu lebih tua dari Davira. Namun tak masalah jikalau Davira tak berbicara formal padanya. Kedudukan Raka hanya sebatas sekretaris utama dari papanya dulu. Mengurus ini itu selagi Denis kembali ke London dan tinggal bersamanya.     

Davira tak perlu banyak memberi simpati dan hormat padanya, sebab ialah yang harus melakukan itu. Jabatan Davira lebih tinggi di sini. Sudah sangat pantas kalau Raka bertekuk lutut di depannya.     

"Salam kenal, Tuan Raka." Davira mengulurkan tangannya. Tidak, ia tak diajari untuk bersikap kurang ajar pada orang tua. Meskipun secara sistem ia adalah sekretarisnya, namun dirinya tak pernah mendapat ajaran bahwa pangkat dan kedudukan akan menurunkan harga diri seseorang.     

Tuan Raka, Ya. Davira lebih suka menyapa dengan sapaan itu. Lebih sopan dan lebih bersahabat ketimbang harus memanggilnya dengan sebutan sekretaris Raka. Terlalu monoton dan menyebalkan.     

"Jangan terlalu formal denganku. Jika papa yang meminta, abaikan saja. Aku masih muda," ucap Davira tersenyum kuda.     

"Tentu, Nona. Aku suka dengan itu." Ia harus selalu menyetujuinya. Meskipun Davira meminta begitu, namun jika Denis tau maka pria tua itu akan memarahinya habis-habisan.     

"Bisa tunjukkan ruang kerja untukku?" Davira meminta. Dengan penuh kesopanan dan senyum manis yang menyertai.     

"Tentu, Nona. Mari ikut denganku." Pria itu menunjukkan jalannya. Melangkah tegas dengan Davira yang mengekorinya dari belakang. Tatapan gadis itu tak fokus. Mulai menatap setiap bagian bangunan yang dilalui olehnya. Davira paham benar jikalau tempat ini pasti dibangun dengan selera dari sang papa. Perusahaan ini mirip dengan apa yang ada di London. Selera papanya benar-benar monoton.     

"Tuan Raka!" Davira menghentikan laju langkah pria di depannya. Menarik pergelangan tangan pria tua yang kini menoleh untuk menatapnya. Baru kali ini seorang pemimpin menarik tangannya layaknya seperti putri pada ayahandanya sendiri.     

"Kenapa ada air mancur di pojok ruangan itu?" tanya Davira menunjuk ke sudut ruangan. Tepat di sisi pintu lift ada satu air mancur besar tanpa ikan yang berenang di bawahnya. Davira mengernyitkan dahinya samar. Sesekali ia menoleh untuk menatap sang sekretaris yang diam sejenak. Dalam sepersekian detik tak ada suara yang menyela. Hanya diam sembari mulai melangkah mendekat.     

Davira mengikutinya. Pria tua itu seakan ingin menunjukkan sesuatu padanya.     

"Ini adalah tempat dimana Tuan Denis selalu menyendiri. Selepas rapat besar dan saat ada masalah yang menerpa perusahaan." Ia menjelaskan. Menatap ke luar jendela yang indah menampilkan danau besar di belakang bangunan.     

Davira terperangah tak percaya. Papanya sungguh licik! Jadi ini alasannya membangun perusahaan di tempat yang bukan merupakan pusat kota? Katakan saja, perusahaan ini dibangun sedikit tersisih dari padatnya Kota Jakarta. Membuat bangunan itu terlihat megah meskipun tak sebesar perusahaan yang ada di London.     

"Papa selalu duduk di sini sendirian?" Davira menarik sofa kecil yang ada di belakangnya. Perlahan duduk rapi dengan menatap pemandangan yang ada di depannya.     

Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dia bahkan tidak mengijinkan aku mendekat."     

"Benar. Mama menang benar kalau sifatku lebih identik dengan papa." Gadis itu mulai berbicara asal. Membuat pria yang ada di sisinya hanya bisa menganggukkan kepalanya setuju.     

"Karunia yang besar Nona bisa datang mengambil alih perusahaan. Aku mendengar dulu hubungan Nona dengan Tuan Denis tak begitu baik."     

Davira mengangguk. "Aku bahkan membencinya."     

"Tapi sekarang Nona ada di sini," ucap Raka memberi motivasi singkat. Ia tahu semua yang terjadi pada keluarga Denis. Bahkan ini bukan kali pertamanya melihat wajah Davira. Lima tahun yang lalu, Denis mengawasi gadis ini. Ia juga melihat Davira ada di pemakaman Mira kala itu. Bukan Davira yang sama tentunya. Gadis yang ia lihat dan ia awasi lima tahun lalu terlihat sangat muda, lemah, dan ceroboh.     

"Menurutmu bagaimana perasaan papa sekarang?" tanya gadis itu kembali membuka suaranya.     

"Dia pasti bersyukur."     

"Benarkah?" Davira kembali menimpali. Tersenyum simpul mengakhiri kalimatnya.     

"Aku juga sempat berselisih paham dengan putraku. Aku melarangnya menikah dengan gadis yang suka merokok dan pecandu alkohol. Tapi dia tetap bersikukuh untuk itu."     

Davina menoleh. Sedikit mendongakkan kepalanya kala mendengar cerita singkat dari Tuan Raka.     

"Lalu? Anakmu masih menikahinya?"     

"Dia menikah tanpa mengundang ayahnya. Tiga tahun kemudian aku mendengar bahwa mereka bercerai. Tapi putraku, tak pernah datang ke rumah lagi," tutur Raka melirih.     

"Dia menghilang?"     

"Dia sengaja tak datang karena dia malu dengan itu. Dia mengakui kesalahannya dan tak kuasa untuk meminta maaf sebab sudah memaki dan menyumpah serapah padaku kala itu." Raka kembali menegaskan. Kini tatapannya berubah menjadi sayu.     

"Tuan Denis pasti bersyukur sebab kau kembali. Jadi jangan kecewakan harapannya, Nona Davira."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.