LUDUS & PRAGMA

30. Kabar Buruk



30. Kabar Buruk

0Mengingat kalimat dari Tuan Raka benar-benar membuat hatinya sedikit lega. Sang papa bahagia akan keputusannya dari awal. Sedikit melegakan sebab ia mengira sebelum ini sang papa hanya terpaksa menerimanya sebab tak enak hati pada dirinya. Ia sudah menelantarkan Davira kala kecil, ia mengira bahwa sang papa tak ingin kembali melakukan kesalahan yang sama. Davira paham, semua itu hanya pemikiran konyolnya saja. Usia sekarang ini tak pantas ia memikirkan hal yang seperti itu.     
0

Kembali mobil itu melaju membelah padatnya jalanan. Selepas menyusuri setiap sudut bangunan yang akan menjadi rumah kedua untuknya minggu depan, ia memutuskan untuk kembali keluar dari bangunan kantor. Menolak tawaran Tuan Raka untuk mengajaknya makan bersama. Pria itu hangat. Memperlakukan dirinya sangat sopan dan penuh kehati-hatian. Davira merasa nyaman dekat dengannya meskipun itu baru pertama kali ia bertemu dan bersua dengan Tuan Raka.     

Takdir memang terkadang membingungkan. Orang baik tak selalu mendapat takdir yang baik pula. Kisah hidup seseorang tak pernah bisa ditebak dengan benar. Semua praduga yang digunakan untuk menarik kesimpulan awal hanya sebatas omong kosong tak berdasar saja. Siapa yang sangka? Davira kembali pada posisi awalnya. Berada di Indonesia. Dikelilingi kenangan buruk yang selalu saja menghantui setiap langkahnya. Raganya memang terlihat baik-baik saja, akan tetapi hatinya terus saja mencoba untuk menghilangkan rasa takut itu. Bukan pasal orang-orang yang akan ditemuinya, namun pasal kenyataan yang tak bisa ia hadapi dengan benar.     

Ia bahkan tak tahu, benarkah semua yang ada di sini sudah berubah menjadi lebih baik? Ataukah keadaan yang tenang itu hanya digunakan untuk menyembunyikan kacau yang sebenarnya sedang terjadi? Semua lebih hati-hati dengannya sekarang. Tak ingin membahas apapun yang bisa menyinggung dan menyakiti hatinya. Davira memang menyukai hal itu, namun kadang kala terasa asing dan membuat dirinya semakin canggung.     

Ia kini memelankan laju mobilnya. Jari jemarinya mulai menekan beberapa huruf untuk menjangkau nomor kontak yang ada di ponselnya sekarang ini. Ini bukan kali pertamanya gadis itu membuat panggilan, kiranya sudah lima kali tak ada jawaban. Tujuan namanya adalah Arka Aditya. Ia ingin membuat sebuah pesan suara singkat yang memberi informasi janji temu untuknya juga sang sahabat. Davira bekum sempat menemui Arka kemarin. Bahkan ia tak ada waktu untuk membuat panggilan suara dengannya kemarin malam. Sedikit bersalah sekarang, sebab yang selalu menelepon dirinya kala ia berada di London adalah Arka dan mamanya.     

Ia kini menghela napasnya kasar. Baiklah, memanggil untuk yang ketujuh kalinya tak akan berguna sekarang. Untuk itu Davira mengubah objek panggilannya. Tante Desi, ibunda tercinta dari sang sahabat. Setidaknya Davira bisa mempertanyakan alasan Arka tak mengangkat ponselnya. Mungkinkah ia sedang bekerja atau sengaja melakukannya sebab marah dengan sahabat baiknya itu?     

"Halo, Tante Desi?" Suara menyahut dari seberang ponsel. Kini senyum gadis itu mengembang. Sembari terus menatap jalanan yang ada di depannya, Davira mulai membuka percakapan. Lama sekali ia tak mendengar suara wanita baik satu ini. Lima tahun, ya kurang lebihnya selama itu.     

Tante Desi tak pernah berbicara dengannya lewat ponsel. Arka hanya terus menceritakan bagaimana kabar keluarganya. Bagaimana bisnis sang ayah dan bagaimana kondisi sang mama.     

"Davira? Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu antusias. Membuat Davira tertawa kecil kala mendengarnya. Ia ingin bertemu dengan Tante Desi selepas ini. Bersama sahabatnya, ia ingin melebur rindu di dalam rumah yang tak asing untuknya.     

"Baik, Tante. Kalau Tante?" Berbasa-basi, itulah tradisi orang Indonesia kalau sudah lama tak bersua.     

"Tentu baik-baik saja. Kapan kamu kembali?"     

"Kemarin siang. Maaf tidak memberi kabar terlebih dahulu," ucapnya menjawab. Davira masih dengan senyum manis itu. Meskipun tak bertatap muka, namun gadis itu yakin pasti Desi juga sedang tersenyum sekarang ini.     

"Davira mencoba menelepon Arka dari tadi, tapi dia tak mengangkatnya. Arka ada kasus hari ini?" tanya Davira langsung pergi ke point pembicaraan mereka.     

Desi diam sejenak. Sepersekian detik hanya terdengar helaan napas ringan dari wanita itu. Mungkin, Desi sedang berpikir dimana kiranya sang putra sekarang ini. Bersidang? Tidak. Sepertinya bukan itu alasan Arka mengabaikan panggilan dari Davira.     

"Ini hari Jumat. Mungkin Arka pergi ke pemakaman." Kalimat itu menghentikan aktivitas sejenak Davira. Tatapan gadis itu menajam. Kini sigap tangannya memutar stir mobil untuk menepi di bahu jalan. Tak ada suara yang menjawab kalimat dari Desi. Sesekali wanita itu memanggil nama Davira untuk memastikan bahwa Davira masih dalam panggilan. Tak pergi meninggalkan selepas terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Desi. Bahkan wanita itu belum menyebutkan, siapa yang sedang 'dijenguk' oleh sang putra siang ini.     

Davira menghela napasnya kasar. Mengentikan mobilnya untuk lebih fokus dalam perbincangan.     

"Davira? Kamu baik-baik saja di sana?" Suara Desi kembali menyela. Memastikan bahwa gadis yang ada di seberang ponsel masih dalam kondisi prima.     

Perasaannya bercampur aduk. Entah mengapa rasanya seseorang masuk ke dalam kekhawatiran dirinya sekarang ini. Ia bahkan tak mendengar dan berbicara dengannya selama lima tahun terakhir. Benarkah kekhawatirannya sekarang ini?     

"S--siapa yang meninggal?" tanya Davira terbata-bata.     

"Larisa."     

Deg! Persetanan gila. Seluruh bagian tubuhnya merinding sekarang ini. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Bibirnya ikut kaku bersama dengan syaraf yang ada di lehernya mulai menegang. Nama itu membuat sekujur tubuhnya bak mati rasa sekarang. Davira menghela napasnya. Raut wajah itu berubah. Sepasang alis bertautan dengan kerutan kening yang samar tercipta. Ia menghela napasnya. Sesekali mengembuskan napas untuk menahan air mata yang mengedor-gedor kelopak matanya untuk turun keluar. Membentuk sungai kecil di atas pipinya.     

"Tante gak salah sebut?" tanya Davira dengan helaan napas yang berat.     

"Maaf karena tidak memberikan kabar ini lebih awal, Davira."     

Sial! Ia tak ingin mempercayainya.     

"Tante ... please! Jangan bercanda." Davira memohon. Ia tak kuasa menahan air matanya. Sesak dirasa kala mencoba untuk menahan butiran bening itu agak tak turun membasahi pipinya.     

"Tante akan mengirimi alamat pemakaman Larisa. Kamu bisa datang ke sana."     

Benar-benar sialan! Davira kini mulai menangis sesenggukan. Mematikan ponsel tanpa menutup dengan salam perpisahan. Ia tak bisa mempercayai ini. Bahkan kala dirinya meninggalkan Larisa lima tahun lalu, sahabat kecilnya itu masih dalam keadaan yang baik. Tak ada penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya. Semesta benar-benar gila.     

Davira tak kuasa menahan semuanya. Kini gadis itu kuat memukul-mukul stir mobil sembari sesekali meremas dadanya yang terasa benar-benar sesak. Napasnya tak bisa keluar dengan lancar. Lama ia tak menangis seperti ini. Meskipun tak ada suara, namun rasanya benar-benar pedih dan memilukan. Ia bahkan belum memenuhi satu permintaan Larisa. Mempertemukan gadis itu dengan Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.