LUDUS & PRAGMA

31. Selamat Jalan, Sahabat



31. Selamat Jalan, Sahabat

0Langit tak begitu cerah, namun juga tak bisa dikatakan mendung. Semburat awan putih masih tersisa di atas sana. Hanya saja hawa bayu berembus sedikit kencang sekarang ini. Gadis itu berdiri dengan mencoba untuk tetap kokoh. Kedua kakinya lemas dengan tangannya yang gemetar hebat. Davira tak pernah menyangka bahwa ia akan datang di pemakaman seorang sahabat di usia muda seperti ini. Dirinya tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Larisa lah yang menjadi orang pertama untuk ia kunjungi makamnya.     
0

Kebohongan yang diberikan Arka kali ini benar sudah melewati batasannya. Kebohongan itu membuat Davira tak bisa melihat jenazah sang sahabat dikebumikan untuk terakhir kalinya. Bahkan ia tak bisa mengucap salam perpisahan untuk terakhir kali sebelum Larisa benar-benar pergi jauh meninggalkan semuanya. Davira rela, jika Larisa pergi ke negeri yang amat jauh. Hilang kabarnya dan membuat rindu kembali menggebu di dalam dirinya. Akan tetapi kalau begini, ia benar-benar tak rela. Semesta terlalu berlebihan dalam melukiskan cerita hidup yang menyangkut pautkan namanya sekarang ini. Menamatkan satu tokoh dengan cara yang tragis membuat Davira ingin mengumpati semesta.     

Tubuhnya kini ambruk. Bersimpuh di atas tanah menghadap nisan bertuliskan nama sahabatnya. Larisa tak pernah sakit. Tak ada tanda-tanda dan firasat buruk tentang sahabatnya satu ini. Bagaimana bisa hidupnya selesai dengan cara yang begitu tragis?     

Laki-laki bertubuh jangkung yang berdiri di belakang Davira sigap meraih pundak gadis yang ada di depannya. Ikut berjongkok untuk menyamakan tinggi dan menyetarakan posisi dengan gadis yang ada di depannya itu. Arka mengusap pundak Davira. Sesekali menepuknya perlahan untuk mencoba menenangkan perasaan gadis yang kini mulai kembali menangis terisak hebat. Sesenggukan terdengar begitu miris dan menyayat hati. Kepulangannya membawa duka bukannya bahagia bersama sang sahabat tercinta. Sir mata itu mendorong tubuh Arka untuk menariknya kembali berdiri. Memeluk hangat Davira dengan membenamkan wajah gadis itu di atas dada bidangnya. Ia meletakkan tas yang dijinjingnya sekarang ini. Kedua tangannya ia gunakan untuk memeluk tubuh Davira dan memberi kehangatan pada sahabatnya.     

"Maafin gue karena gak memberi kabar lebih awal," ucap Arka melirih. Semakin tegas jari jemarinya membelai lembut helai demi helai rambut gadis yang ada di dalam pelukannya itu. Arka paham, perminta maafan macam apapun, tak akan pernah bisa melegakan hati sahabatnya.     

Davira akan tetap kalut sebab kabar ini bukan hanya kesedihan biasa. Sahabatnya telah pergi. Bukan berpindah negara, namun berkelana jauh di angkasa. Kematiannya bukan kemarin, namun empat tahun yang lalu. Bangunan makam sudah tak baru lagi, nisan itu pun sudah tak secantik dulu. Bunga yang diberikan oleh para peziarah tak lagi harum mewangi, kiranya sudah kering termakan oleh sengatan sinar sang surya.     

"Davira ...." Arka memanggil lirih. Melepas pelukan gadis yang kini mulai menundukkan pandangannya. Helai demi helai rambut pendek itu turun. Menutupi sebagian dari wajah sembabnya sekarang ini.     

"K--kenapa Larisa bisa ... ah, sialan. Gue bahkan gak percaya ngomong ini." Davira menyela. Perlahan ia menaikkan pandangan matanya untuk mulai menitik. Laki-laki berjas rapi dengan sepasang sepatu mengkilap layaknya pegawai negeri sipil itu menghela napasnya. Ia tak ingin banyak beralasan untuk menutupi dan membenarkan kebohongan yang telah ia lakukan. Bagi Arka, pembohong tetaplah pembohong!     

"Dia meninggal karena pendarahan hebat. Bayinya pun tak selamat." Arka mempersingkat. Memejamkan rapat matanya sebab ia tak kuasa untuk menatap paras Davira sekarang ini.     

Gadis itu berbalik. Kembali ditatapnya makam dengan batu nisan bertuliskan nama Larissa Hannara Putri. Malam nasibnya, sebab disaat terakhirnya pun ia tak benar bahagia. Davira tak ada di sisinya. Seakan sebuah alur buruk selalu menyertai bahkan di napas terakhirnya.     

"Davira ...." Arka kembali memanggil. Tak ada jawaban dari gadis yang kini menyeka air matanya secara kasar. Davira menarik napasnya dalam-dalam. Menatap Arka sejenak kemudian kembali berjongkok untuk meraih nisan sang sahabat.     

"Suaminya datang?" tanya Davira pada Arka sembari mengusap nisan yang ada di sisinya.     

"Tak ada orang luar negeri yang datang untuk menghadiri pemakaman." Arka menyahut. Ikut berjongkok untuk menyamaratakan posisinya dengan Davira.     

Gadis itu mengangguk-angguk kepalanya. Kini tatapan matanya beralih pada satu makam kecil yang ada di sisi makam milik sang sahabat. "Itu anaknya?"     

"Putri yang cantik," sahut Arka tersenyum manis. Kembali air mata itu menetes. Tak ada isak sebab Davira kuat menahannya. Ia menggigit sisi bibir bawahnya. Sudah cukup, ia tak ingin Larisa melihatnya dalam keadaan seperti ini.     

"Lo sahabat yang buruk." Gadis itu kembali membuka percakapan. Tak menoleh pada Arka yang kembali menganggukkan kepalanya.     

"Benar, gue sahabat yang buruk."     

"Apa alasannya menyembunyikan ini dari gue?" Davira kini menoleh. Menatap paras tampan sang sahabat yang tak berubah sama sekali. Hanya caranya menata rambut dan berpakaian saja yang membuatnya sedikit lain. Selebihnya, ia tak berubah sedikit pun.     

"Lo pergi dalam keadaan kalut. Gue gak akan memanggil lo dengan keadaan kalut juga. Lo harus kembali dengan Davira yang baru, gue yakin Larisa akan paham akan hal itu."     

Davira menghela napasnya. Menundukkan pandangan untuk mencoba menyesuaikan dengan keadaan barunya sekarang ini.     

"Dua hari yang lalu adalah peringatan kematian Larisa sebenarnya, namun gue gak bisa datang karena sebuah kasus. Jadi gue datang hari ini." Lagi, suara berat itu mencoba untuk menjelaskan keadaannya. Meskipun tak berguna untuk amarah Davira, akan tetapi sudah saatnya Davira tahu semua yang terjadi secara rinci. Toh juga, ia bukan orang London lagi. Ia kembali ke Indonesia.     

"Lo tau kenapa gue gak kembali tiga tahun yang lalu?" selanya mencoba untuk menggurui. Davira masih sama. Benci akan kebohongan. Meskipun itu dengan alasan yang kuat demi kebaikannya, namun tetap saja. Arka sudah membohonginya dengan cara yang menyedihkan. Membuatnya seperti gadis malang yang tak pantas untuk bahagia.     

"Karena gue takut menghadapi keadaan di sini. Gue tak untuk ....." Davira menjeda kalimatnya. Kembali napas itu terhela dengan kasar.     

"Sudahlah. Itu gak penting."     

"Pemakaman Larisa dihadiri banyak orang. Bahkan yang bukan temannya pun datang. Kalau lo mengira dia belum pernah ketemu dengan Adam, itu salah besar." Arka mengabaikan kalimat gadis yang ada di sisinya. Ia masih kokoh dalam pendiriannya. Menjelaskan situasi yang lampau pada Davira.     

"Adam datang ke pemakaman Larisa dengan kursi roda. Saat itu dia baru sadar dari komanya. Lo pikir gue akan menelepon lo dan membuat kalian bertemu?" Arka meneruskan. Kali ini tatapannya menajam. Kerutan ada di atas dahinya. Aneh, rasanya sedikit marah. Sebab Davira tak kunjung mengerti alasannya berdusta.     

"Semuanya datang ... kecuali Davina." Ia memungkaskan. Lirih nada bicara itu menutup semuanya. Davira bungkam. Tak pandai untuk bersilat lidah sekarang ini. Apapun itu, sangat menyakitkan.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.