LUDUS & PRAGMA

33. Long Time no see, Enemy!



33. Long Time no see, Enemy!

0"Lo masih suka sama Adam?" Kalimat itu masih terekam jelas di dalam ingatannya. Selepas berpisah dengan Arka gadis itu tak banyak berbicara. Ia memilih sendiri. Tak bersama siapapun sekarang ini. Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, Davira berada. Ia memutar stir mobilnya. Berbelok di perempatan jalan untuk pergi ke sebuah tempat yang membuatnya sedikit ragu sekarang ini. Ada satu kalimat yang membuatnya datang kemari, Arka mengatakan bahwa ia harus mengikuti apa yang hatinya katakan. Kembali melihat bukan berarti harus kembali mencintai. Terkadang kita hanya perlu datang. Menatap dengan sebuah jarak yang menghalangi, bukan untuk kembali memulai kisah, namun datangnya adalah untuk melihat bagaimana keadaan orang yang pernah ia cintai.     
0

Davira menolak kalimat itu. Ia berkata dengan tegas bahwa dirinya tak ingin lagi menemui Adam Liandra Kin. Semua kisah sudah berlalu. Semua rasa sudah hilang tak berbekas. Ia datang ke Indonesia sebab inilah rumahnya. Bukan untuk Adam, Davira datang untuk semua orang yang mengharap kehadirannya sekarang ini. Pertanyaan yang dilontarkan Arka untuk menutup pembicaraan mereka hanya mendapat penolakan tanpa penjelasan berlebih dari Davira. Ekspresi wajah gadis itu pun, tak lagi bersahabat.     

Davira maupun Arka memutuskan sampai di sini pertemuan mereka sekarang. Ada yang memanggil Arka untuk kembali ke kantor, juga Davira sudah tak nyaman dengan pembicaraan mereka. Jika semesta mengijinkan untuk kembali bersua, maka di lain hari dengan perasaan yang baik akan datang pada mereka.     

Davira kini menghentikan mobilnya. Tepat di sisi jalan yang sengaja dilonggarkan untuk para mobil yang ingin berpikir. Bukan tempat sembarangan, namun di sisi jalanan ada sebuah rumah makan besar yang tak pernah sepi juga tak mampu dikatakan ramai berdesak oleh pelanggan. Setidaknya Davira bisa menitipkan mobilnya di sini untuk sementara waktu.     

Gadis itu kini turun dari mobilnya. Mencoba untuk menelisik sekitar dan memastikan bahwa tempat yang ia tuju sudah benar adanya. Ia tak tersesat mengingat ini adalah kali pertama dirinya datang ke tempat asing seperti ini. Jakarta banyak berubah, lima tahun tentu menjadi waktu yang cukup untuk mendekorasi tata kota menjadi lebih baik. Beberapa jalanan yang ia lalui sudah diperbaiki. Letak bangunan juga sedikit berubah. Mungkin saja tempat ini tak asing untuknya, namun lima tahun pula merenggut ingatan baiknya.     

Ia menghela napasnya. Kini langkahnya mulai tercipta untuk menyusuri trotoar jalanan agar bisa lekas sampai ke tujuannya sekarang ini. Tak ada yang aneh untuk sepersekian detik berjalan. Semua terlihat normal dan biasa saja. Ramai dengan lalu lalang pejalan kaki juga para pengguna jalan lainnya. Khas Kota Jakarta sebagaimana siang datang menyapa. Terik membuatnya sedikit gerah sekarang ini. Benar, ia lupa melepas syal merah jambu yang membelit lehernya.     

Arka mengatakan satu hal pada Davira. Perintah untuk datang ke sebuah tempat di mana ia bisa memantapkan keraguan hatinya. Galeri seni milik Adam Liandra Kin. Di depan sana ia menatap bangunan kokoh itu. Bangunan satu-satunya yang terlihat kecil namun mewah. Kesan pertama yang datang dari pandangannya itu adalah Adam Liandra Kin hidup dengan nyaman selama ini. Membangun galeri seni dengan beberapa pajang lukisan di sisi pintu kaca besar tempat akses utama orang-orang masuk ke dalam.     

Davira kembali melangkah. Mendekat pada bangunan yang menjadi tujuannya datang kemari siang-siang begini. Ia berhenti tepat di sisi pohon besar yang akan menyembunyikan tubuhnya nanti kalau seseorang yang ia kenali berada di lingkungan ini. Jaraknya tak cukup jauh. Hanya berjeda satu jalan raya yang membatasi aksesnya sekarang ini. Davira tak ingin mendekat. Cukup di posisi ini ia bisa melihat semuanya.     

Beberapa orang yang datang mulai melakukan renovasi, ah tidak! Mereka sedang mendekorasi tempat itu. Sesuai perkataan Arka, Adam akan membuat pameran besok pagi. Jadi wajar semua terlihat sibuk sekarang ini.     

Tatapan matanya mulai menelisik. Menatap ke segala penjuru arah untuk menemukan sosok yang dicari oleh dirinya sekarang ini.     

--Davira menemukannya! Seorang laki-laki yang duduk di atas kursi roda datang dengan seorang laki-laki berwajah identik yang membantunya untuk mendorong kursi roda itu. Wajah mereka identik.     

Senyum milik gadis itu mengembang. Baru kemarin ia bertemu dengan Raffa. Berbincang ringan dengan remaja jangkung itu pasal apa-apa saja yang terjadi selama dirinya pergi dari Indonesia, kini Davira kembali melihatnya. Ada yang berbeda, sebab Raffa bersama sang kakak.     

Perlahan air mata itu menetes. Bersama dengan seka kasar yang dilakukan oleh jari jemarinya, Davira menghela napasnya kasar. Menggelengkan kepalanya samar sebab baru saja ia terhanyut ke dalam suasana. Tidak, dirinya datang bukan untuk ini. Ia datang bukan untuk meratapi nasibnya. Semua sudah berlalu, tak ada lagi Adam yang mencintai Davira. Begitu juga sebaliknya.     

"Lo gak mau datang ke sana?" Nyaring suara mengagetkan dirinya. Gadis itu samar tersentak. Sigap tubuhnya berputar untuk menatap siapa yang baru saja datang menyela lamunan indahnya.     

"Hai, Davira. Long time no see!" Ia melanjutkan. Mengangkat satu tangannya untuk memberi salam manis pada teman lamanya itu.     

Davira diam. Tatapannya kini mulai menyapu setiap inci bagian tubuh gadis jangkung yang ada di depannya. Ah, ia adalah seorang model juga aktris terkenal sekarang ini. Jadi pantas saja ia berpakaian mewah dan terlalu berlebihan seperti sekarang.     

"Bukankah lo harusnya membalas sapaan gue? Apa arti tatapan itu?" tanyanya menelisik.     

"Oh, Kayla." Suara Davira lirih. Sedikit ragu ia menyebut nama itu. Arka pernah bercerita padanya bahwa Kayla sudah menjadi publik figur sekarang. Namanya dikenal banyak orang. Wajah cantiknya terpampang nyata di setiap banner iklan besar di pusat perbelanjaan kota. Singkatnya, Kayla sudah sukses. Bahkan Davira juga mendengar bahwa gadis itu akan menikah akhir tahun ini.     

"Di London lo belajar memata-matai orang?" Kayla kini mulai berbasa-basi. Melirik tepat ke arah bangunan besar yang ada di depannya sekarang ini. Semua terlihat jauh dan samar, namun Kayla bisa melihat dengan jelas siapa yang menarik perhatian Davira hingga air mata itu terjun dengan sendirinya.     

"Adam Liandra Kin ... lo datang untuk dia?"     

"Gue cuma melihat-lihat. Katanya akan ada pameran di sini." Davira beralasan. Tatap matanya tak fokus. Sesekali ia menatap ke arah lain untuk menghindari Kayla Jovanka yang ada di depannya sekarang. Gadis bermata kucing itu kini terkekeh-kekeh. Davira terlalu bodoh jikalau harus berdusta seperti ini.     

"Katakan aja lo merindukan Adam," tuturnya menyeringai.     

"Lo masih benci sama gue?" tanya Davira menelisik. Dari cerita Arka, ia mengatakan bahwa Kayla sudah banyak berubah. Ia bukan lagi gadis jahat yang membenci Davira Faranisa, akan tetapi sepertinya Arka sudah membohonginya dirinya lagi.     

"Tergantung. Lo mau minum kopi sama gue atau enggak?" ucapnya tertawa ringan.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.