LUDUS & PRAGMA

32. Dialog Sahabat Lama



32. Dialog Sahabat Lama

Sejuk dirasa kala keduanya memutuskan untuk menghabiskan siang disebuah kafe berkonsep ruangan 'outdoor' dengan bentangan sang surya yang menjadi atap peneduhnya. Rerumputan hijau menjadi alas pijakan pengganti petak ubin bersih yang biasanya memantulkan samar bayangan orang-orang yang ada di atasnya. Davira terus mengaduk-aduk minuman dingin yang dipesannya. Embun mulai terlihat jelas selepas tersadar bahwa lima belas menit berlalu tanpa ada suara yang menyela. Davira diam. Membungkam sendiri mulutnya sebab tak ada yang ingin ia katakan untuk sekarang. Kabar kematian Larisa menjadi pukulan tersendiri untuknya. Bukan pasal semesta yang begitu cepat menamatkan hidupnya, sebab mau disalahkan pun kematian adalah rahasia yang bisa menjemput seseorang kapan pun, dimana pun, juga dalam keadaan apapun dan usia berapapun. Davira paham akan hal itu. Menyalahkan dan mengumpat pada Arka sebab membohonginya pasal kematian Larisa tak akan bisa menghidupkan sahabatnya itu kembali.     

Ia merenung sebab satu hal yang tak bisa diterima olehnya sampai detik ini, mengapa ia tak datang kala pemakaman dilaksanakan? Mengapa ia harus pergi meninggalkan Larisa dan hilang kontak dengannya? Bukankah Davira seharusnya tetap menghubungi gadis itu semasa hidupnya di London? Ya, itu yang menjadi alasannya untuk merenung sekarang ini.     

"Lo masih marah sama gue?" Arka menyela. Mengetuk sisi meja untuk menarik perhatian gadis yang ada di depannya itu.     

Davira mengerang. Tidak, ia menggeleng ringan untuk itu. Davira tak berhak untuk marah lagi. Apa yang dilakukan oleh Arka memiliki dasar alasan yang jelas. Laki-laki jangkung itu melakukan semuanya demi Davira. Gadis yang amat ia cintai.     

"Lo boleh marah sama gue, tapi jangan lama-lama." Arka kembali membuka suaranya. Tersenyum ringan mulai menyeruput minuman dingin yang dipesannya sekarang ini. Ia melirik Davira. Gadis itu masih saja kokoh dengan pendiriannya sekarang. Tak menyentuh sedikitpun menu yang dipesan olehnya.     

"Larisa berpesan sesuatu di detik terakhir hidupnya?" Gadis itu akhirnya mau membuka suaranya. Lirih nan samar terdengar, namun cukup jelas untuk bisa ditangkap oleh lawan bicaranya sekarang ini. Gadis itu tak lagi bergeming. Hening dan sepi sejenak menyela untuk situasi keduanya.     

Arka berpikir. Memantapkan hatinya untuk ini. Banyak yang diminta Larisa kala ia menjenguk gadis itu untuk terakhir kalinya. Tentu bukan wasiat terakhir, sebab saat gadis itu masuk ke rumah sakit dalam keadaan sekarat Arka pun tak ada di sana. Ia datang selepas Larisa dinyatakan meninggal dunia. Akan tetapi, kala bertemu dengan gadis itu untuk terakhir kalinya Larisa berkata dengan suara yang amat sangat lembut. Sebuah pesan yang selalu Arka ingat di dalam pikirannya.     

"Dia meminta gue untuk selalu memastikan lo dalam keadaan baik-baik saja. Dia ingin lo bahagia dengan seseorang yang bisa menghargai diri lo apa adanya. Larisa hanya meminta lo untuk bahagia datang dari dalam hati lo." Ucapan itu kembali mendiamkan Davira. Gadis yang kini menghela napasnya ringan sembari sesekali mengembuskan napasnya singkat.     

Pedih kembali dirasakan olehnya, Davira tak kuas menatap Arka untuk saat ini. Jika ia menatap Arka, maka ia akan menangis. Matanya tak kuat membendung air mata sekarang ini. Binar bening yang mulai meluap-luap itu kini diseka olehnya secara kasar.     

"Jangan menangis, Larisa akan sedih melihat lo begini." Arka kembali melanjutkan. Mengulurkan tangannya untuk menepuk punggung tangan milik Davira.     

"Gue bahkan belum mengajak dia untuk bertemu dengan Adam," ucapnya tersenyum kaku.     

"Dia sudah pernah bertemu Adam. Meskipun tak lama."     

"Benarkah?" Davira menyahut. Kini tatapannya kembali untuk menatap Raffa yang ada di depannya. Penuh harap, Davira pada sang sahabat. Semoga Arka mengatakan apa yang menjadi faktanya, bukan sekadar omong kosong untuk melegakan hatinya saja.     

"Hm. Gue yang menghantarnya," jawabnya tersenyum simpul.     

"Jangan tanya apa yang mereka bicarakan, karena gue gak tau."     

Davira tersenyum aneh. Melirik sahabatnya yang kini mulai terkekeh kecil untuk mencairkan suasana yang ada. Davira tak boleh larut dalam kesedihan, datangnya ke Indonesia bukan untuk mengenang luka, namun untuk memulai hidup yang baru. Jika Larisa adalah awal tangisannya di Indonesia, maka Arka akan membuat dirinya menjadi senyum harapan untuk Davira Faranisa.     

"Ngomong-ngomong, gue menang!" Arka mengubah topik pembicaraan. Tujuannya bukan untuk melupakan kematian Larisa yang menjadi sebuah pukulan besar untuk Davira, namun untuk membuat gadis itu lebih tenang sekarang. Davira memang harus sedih, namun tak boleh berlarut. Jika sudah berlarut, maka Arka akan ikut terbawa hanyut. Hari ini adalah hari yang baik. Davira datang dengan perasaan yang baik, maka ia akan mengakhiri harinya dengan baik pula.     

"S--serius?" tanyanya memincingkan matanya tak percaya. Arka selalu kalah, ah tidak! Tapi lebih sering kalah dalam persidangan. Alasannya selalu sama, sebab ia adalah pengacara baru. Butuh banyak pengalaman untuk memenangkan sebuah kasus, jadi kalah dalam putaran pertama atau kedua adalah hal yang wajar.     

"Gue lembur selama dua hari. Mempelajari ini itu untuk memenangkan kasusnya. Itu sebabnya gue gak bisa angkat telepon dan menjemput lo di bandara." Ia menjelaskan dengan singkat. Tak ingin berbasa-basi pada sang sahabat.     

"Congratulations, Mr. Arka!" Davira tersenyum kuda. Menepuk bahu sahabatnya dengan sedikit mencondongkan badannya ke depan. Bahagia? Tentu. Mendengar sang sahabat berjaya tentu menjadi hadiah tersendiri untuknya. Sampai sekarang Davira masih belum bisa mempercayai semuanya, Arka Aditya mengenakan jas dengan lencana kecil di dada kirinya. Gelar sarjana hukum menghantarkan dirinya menjadi seorang pengacara muda. Mengenakan jas rapi setiap hari ala-ala orang yang sedang berangkat ke kantornya.     

Meskipun belum benar sukses, namun bagi Davira semua yang dilihatnya sekarang sudah lebih dari cukup.     

"Gue ketemu Raffa kemarin." Davira membuka suaranya. Menarik pandangan Arka yang menatapnya sedikit tajam. Ia bertemu dengan Raffa?     

"Raffardhan Ma—"     

"Raffardhan Mahariputra Kin, adik dari Adam Liandra Kin." Davira memotong kalimatnya. Menatap Arka dengan tatapan teduh. Nada bicara itu terdengar begitu ringan dan bersahabat, seakan-akan tak ada lagi keraguan dan kemarahan di dalam hati Davira pasal sang mantan kekasih.     

"Apa yang dia katakan?"     

"Dia punya pacar?" sahut Davira mengabaikan pertanyaan dari Arka.     

"Dia mengatakan sesuatu?" Arka menyela. Kali ini ia tak ingin menuruti sang sahabat. Ia akan tetap pada pendiriannya.     

"Pacarnya cantik! Lo setuju 'kan?"     

"Davira!" Arka kini menyentakkan nada bicaranya. Membuat Davira terdiam sembari memberi sentral lensa pekat untuknya.     

"Kita berbasa-basi. Membahas ini itu dan—"     

"Raffa mengatakan tentang keadaan Adam?"     

Davira menganggukkan kepalanya ringan. Berdeham enggan untuk berucap. Ia tak tersenyum untuk itu. Ekspresi wajahnya datar tanpa raut yang berarti.     

"Lo masih suka sama Adam?" To the point! Arka tak ingin berbasa-basi. Ia berharap Davira kembali bukan untuk menemui Adam. Ia harap Davira kembali untuk dirinya sendiri.     

... To be Continued..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.