LUDUS & PRAGMA

34. Teman Berduka



34. Teman Berduka

0Helaan napas membuka percakapan di antara kedua gadis setara usia itu. Wajahnya tak menua, meksipun sudah berusia kepala dua. Baik Davira Faranisa maupun Kayla Jovanka sama-sama dalam keadaan yang tak pernah berubah sedikitpun. Wajah mereka masih sama seperti lima tahun yang lalu, hanya berbeda cara memoles make up di atas wajahnya saja. Gaya busana keduanya bertolak belakang. Jika Davira adalah si sederhana yang tak suka berpakaian mencolok dan terlihat menarik perhatian banyak orang, Kayla Jovanka sebaliknya. Mewah, elegan, dan pantas dikatakan sebagai pusatnya mata memandang. Publik figur adalah pekerjaan gadis itu. Penampilan adalah caranya memberi tahu dunia bagaimana Kayla Jovanka yang sebenarnya.     
0

Davira tak menatap gadis yang ada di depannya itu. Hanya menitikkan manik matanya untuk menatap embun yang tercipta di atas permukaan gelas yang ada di depannya sekarang ini. Davira tak berucap. Lima belas menit kiranya lebih berlalu begitu saja. Gadis itu hanya diam membisu menunggu Kayla lah yang menjadi pembuka pembicaraan mereka kali ini, toh juga gadis itu yang mengajaknya kemari bukan? Davira hanya mengikuti saja.     

Kayla kini merogoh masuk ke dalam tas mewah berukuran sedang yang ada di sisinya. Mengambil sesuatu kemudian menyodorkannya pada Davira.     

"Lo diundang untuk sebuah acara pernikahan." Ia berucap. Menarik perhatian Davira yang duduk rapi di depannya. Gadis itu menarik undangan dengan desain mewah dan memukau. Warna merah tua menjadi dominasinya. Tak ada tulisan apapun di sampul paling depan. Menarik Davira untuk segera membuka tali pita yang menjadi pengikat undangan itu.     

"Undangan siapa?" tanya Davira sembari terus menitikkan fokusnya untuk secarik kertas tebal yang ada di depannya.     

"Kayla Jovanka." Lawan bicaranya menyela. Pandangan Davira tak lagi fokus untuk apa yang ada di dalam genggamannya. Gadis itu tegas menatap Kayla Jovanka dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Arka memang banyak bercerita pasal apa yang terjadi di Indonesia, namun tidak untuk pernikahan Kayla Jovanka.     

--jangan bilang ia akan menikah dengan Adam!     

"Gue akan menikah dengan pacar gue tahun depan. Dua bulan lagi kiranya. Dia seorang penguasa properti." Kayla mempersingkat. Menjelaskan pada Davira yang kini diam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ah, seorang pengusaha! Bukan seorang pelukis hebat.     

"Selamat." Kalimat itu lepas begitu saja dari celah bibirnya. Tak ada ekspresi bahagia dari Davira sekarang ini, sebab ia tak ingin berbahagia. Untuk apa? Kebahagian ini ada di dalam kehidupan Kayla Jovanka bukan di dalam kehidupannya. Solidaritas antar teman? Ya, kalau Kayla Jovanka adalah temannya.     

"Gue juga undang Adam dan Davina. Jadi jangan kaget nanti," imbuhnya tak mau banyak berbasa-basi. Kayla masih sama. To the point pada apa yang ingin ia katakan pada lawan bicaranya.     

"Itu urusan lo."     

"Gue memberi tahu sebab jika lo datang nanti, lo gak—"     

"Belum tentu gue datang." Davira menyahut. Memotong kalimat penjelas yang diucapkan Kayla untuk dirinya sekarang ini. Ia kini kembali mengabaikan. Tak lagi menatap Kayla dan mulai memfokuskan netranya untuk menyapu setiap bagian ruangan. Gerah, entah mengapa rasanya sedikit gerah. Suasana canggung selalu ada meksipun ia berusaha untuk menampiknya dengan baik. Setiap senyum, kalimat yang terucap, dan cara bersikap tak pernah bisa menghilangkan suasana dan atmosfer aneh sekarang ini. Ia pergi dari Indonesia tak berpamit dengan benar pada gadis di depannya itu. Katakan saja, hubungannya tak pernah benar-benar selesai dengan baik. Ia dan Kayla masih ditakdirkan dengan situasi hubungan yang aneh seperti sekarang ini.     

"Gimana kabar lo?" Kayla kembali membuka mulutnya. Sukses! Kalimat itu menarik pandangan Davira untuk kembali menatapnya. Aneh, ya itulah yang tertangkap oleh sepasang netra Davira selepas Kayla datang kembali dengan kalimat dan ekspresi wajah seperti itu.     

Ia tak sedang berlatih akting di depannya 'kan?     

"Arka tadi menelepon kalau lo sudah ada di Indonesia. Dulu gue berpesan untuk mengabari kalau Davira pulang. Ada yang ingin gue omongin." Kayla menjeda sejenak kalimatnya. Menarik americano yang ada di depannya. Menyeruputnya kasar kemudian ber-ah ringan untuk mengekpresikan betapa leganya ia sekarang. Tenggorokannya sudah basah oleh cairan manis nan dingin itu, kini saatnya kembali pada percakapan yang baru saja dimulai olehnya.     

"Dan dia menelepon dengan mengatakan lo pergi ke galeri tempat Adam berkerja," tuturnya mengimbuhkan.     

"Dia bilang dia yakin lo akan datang ke sana, ternyata memang benar." Kayla tersenyum picik. Kini melipat kedua tangannya di atas perut. Kembali sorot netra itu ia berikan pada Davira yang hanya menundukkan pandangan sembari tertawa kecil. Ada yang lucu? Tentu!     

Arka mengabari dirinya pasal di mana Adam sekarang ini. Sebuah bangunan kecil nan minimalis namun terlihat mewah dan megah adalah tempat Adam berkerja sekarang. Di sana Adam banyak melukis pemandangan indah. Dari wajah seseorang, alam indah yang disuguhkan semesta, hingga abstrak bermakna dalam. Jika Davira ragu, datanglah ke sana. Mantapkan hati selepas melihat orang yang menjadi alasannya pergi dari Indonesia. Bukan pasal takdir baik yang harus ia mantapkan. Davira datang dengan harap bisa memantapkan, perasaan macam apa yang kembali ada saat ia melihat Adam sekarang ini? Cinta 'kah? Atau marah dan kekecewaan yang menggebu? Hanya Davira yang menjawabnya sekarang. Arka hanya ingin Davira tak lagi membohongi dirinya sendiri.     

"Banyak hal yang terjadi di London. Membuat gue lebih betah tinggal di sana," ucap Davira dengan nada tenang. Ia berdusta? Sedikit. Memang benar Davira mulai nyaman tinggal di negeri orang, namun tak senyaman itu. Ia tak ingin kembali sebab takut menghadapi keadaan.     

"Tentu. Lima tahun lo pergi," sahutnya tegas.     

"Surat lima tahun lalu ... lo berikan pada Adam?" tanya Davira menatapnya dengan teduh.     

"Kalau gak percaya sama gue, kenapa minta tolong sama gue?" Kayla melipat keningnya samar. Bibirnya kembali merapat selepas kalimat itu terucap jelas dari celah bibirnya.     

"Gue hanya ingin memastikan. Terlalu percaya dengan orang adalah racun paling mematikan dalam kehidupan."     

Kayla menganggukkan kepalanya ringan. "Gimana perasaan lo sekarang?"     

Gadis yang menjadi lawan bicaranya itu terdiam. Ekspresi wajah datar itu berubah sayu. Tatapannya tak sedalam sebelumnya. Tak ada yang terucap darinya dalam sepersekian detik. Hening membentang membiarkan sepi mulai memeluk.     

"Bukan untuk Adam, tapi untuk semuanya. Setelah lima tahun berlalu, lo menyesali sesuatu?"     

Davira kini menghela napasnya. Menaikkan kedua sisi bahunya untuk memberi respon. "Gue cuma manusia. Terkadang pilihan terbesar mampu meninggalkan banyak penyesalan juga memberikan tak sedikit anugerah."     

"Tergantung kita yang menyikapinya." Davira mengimbuhkan. Tersenyum simpul di bagian akhir kalimatnya.     

"Gue harap lo gak akan menyesali apapun lagi, Ra. Semua sudah berakhir. Gue yakin lo adalah Davira yang datang dari London, bukan dari masa lalu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.