LUDUS & PRAGMA

35. Saudara Identik Rasa



35. Saudara Identik Rasa

0"Tolong pindahkan itu ke sisi sana, lukisan itu harus terlihat lebih mencolok!" Adam memerintah. Menunjuk tepat pada satu pegawai yang baru saja ingin menempel sebuah lukisan indah di sisi pintu masuk. Adam tak ingin benda itu berada di sana, mengurangi celah akses pengunjung untuk masuk ke dalam galerinya besok pagi hingga malam. Pameran akan di adakan satu hari penuh. Semua maha karya yang ia buat akan dipajang di sini. Jika ada yang membeli ada harga khusus yang lebih murah dari hari biasa. Undangan sudah disebar. Brosur-brosur dan papan pengumuman tentang pameran bertema 'be love-up' atau cinta yang hangat sudah dibaca oleh seluruh masyarakat umum. Banyak yang menyambut baik akan hal itu. Antusiasme para pencinta seni benar-benar membuat Adam terharu.     
0

Ia kini mendorong kursi roda untuk menepi. Di bawah pohon besar Adam berhenti. Tatapannya tegas menatap bangunan galeri yang dibangun atas namanya. Memberikan ruang baru untuk Adam menyembuhkan luka dan rasa bersalah akan kepergian sang gadis tercinta. Seseorang menegurnya. Menepuk pundak Adam dengan cukup keras. Lamunan itu pecah. Laki-laki yang duduk di atas kursi roda kini menoleh. Sedikit mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap siapa gerangan yang sudah mengganggu fokusnya.     

"Kakak gak masuk?" tanyanya lirih. Memberi penawaran akan menghantar Adam masuk ke dalam.galeri. Meskipun Adam tak banyak bekerja untuk mempersiapkan pamerannya, namun Raffa yakin melukis semalaman suntuk membuat energi dan tenaga juga pikiran sang kakak terkuras habis.     

"Semuanya pasti selesai dengan baik. Percayakan pada mereka." Raffa melanjutkan. Tersenyum manis kemudian mulai mendorong kursi roda sang kakak. Adam hanya menurut. Sikap baiknya sang adik tak selalu datang dan muncul dari dalam dirinya. Raffa lebih suka dengan sikap dingin dan tak acuh, bukan sikap hangat penuh kasih sayang. Ia memang tak suka pada sang kakak yang sudah menyebabkan Davira pergi lima tahun lalu, namun kemarin Davira datang tanpa sepengetahuan Adam.     

Bahkan sebelum ini, ia melihat Davira di seberang jalan sana. Melihat sang kakak dari kejauhan dengan tatap mata yang tak biasa. Meskipun samar, namun Raffa paham benar kalau Davira pasti sedang bersedih. Melihat keadaan Adam yang tak sebaik dulu adalah pukulan keras untuk hatinya. Raffa tak tahu kemana perginya gadis itu sekarang ini. Selepas ia menoleh untuk menatap sang kakak cukup lama, Davira menghilang. Tak lagi berdiri di bawah pohon besar seberang jalan raya.     

"Ngomong-ngomong gimana ke adaan ibunya Naila?" Adam menyela. Remaja jangkung yang mendorong kursi rodanya itu hanya berdeham ringan. Suara tak muncul dari celah bibirnya. Sepersekian detik berjalan tak ada jawaban darinya.     

"Ibunya tak ingin dioperasi. Harapan hidupnya mungkin sebulan paling lama dua bulan lagi. Jadi Naila pasti sedang mempersiapkan diri." Penjelasan singkat itu menghentikan sejenak obrolan mereka berdua. Hanya saling tak acuh dengan langkah yang semakin tegas untuk masuk ke dalam galeri seni.     

--haruskah ia mengatakan pada sang kakak bahwa Davira sudah kembali?     

"Kamu juga istirahat. Tinggalkan aku di sini, gak papa."     

Raffa tak mengindahkan apa yang dikata oleh sang kakak. Remaja itu kini menarik kursi kecil dan duduk di atasnya. Posisi tak saling berhadapan, Raffa lebih memilih berposisi sejajar dengan kedua tangan yang yang menopang tubuhnya.     

"Kenapa?" tanya Adam melirih. Ia hapal Raffa tak pernah seperti ini tanpa ada alasan yang jelas. Jarang sekali ia mau duduk bersama sang kakak jikalau tak ada tujuan dan alasan yang mendesak. Remaja itu lebih suka menyendiri seorang diri. Bahkan terkadang Raffa mengusir sang mama sebab ia ingin menikmati sepi yang datang memeluk dirinya.     

"Kakak bahagia dengan hidup kakak sekarang?" tanyanya tak menoleh. Tatapannya lurus menatap vas besar dengan tumbuhan imitasi yang indah menghias setiap sudut ruangan.     

Adam kini menoleh. Sejenak ia menatap paras sang adik yang terlihat biasa saja sekarang. Tak ada raut kekecewaan, kesedihan, atau kegundahan. Helaan napas ringan yang dilakukan oleh adiknya beberapa detik yang lalu, seakan menegaskan padanya bahwa sesuatu sedang mengganjal di dalam dirinya saat ini.     

"Tentang yang mana?" Adam berkelit. Tersenyum aneh mengiringi kalimatnya.     

Sejenak diam sembari menimbang-nimbang kalimat sang kakak. Benar juga, banyak pilihan yang diambil oleh sang kakak juga banyak hal yang terjadi selama lima tahun terakhir ini. Mulai dari kepergian Davira hingga perceraian kedua orang tua mereka.     

"Kalau tentang papa dan mama?"     

"Papa akan menikah lagi bukan?" tanya Adam menyahut. Mengabaikan kalimat sang adik.     

"Hm. Bukan dengan sekretaris sialan itu. Mereka mengakhiri hubungan satu tahun yang lalu. Papa akan menikah dengan seorang janda satu anak. Teman lama papa katanya," ucap Raffa dengan nada berat. Jika ditanya rela 'kah dirinya menerima orang baru sebagai mamanya? Jawabannya adalah tidak! Raffa tidak akan bahagia dan rela untuk itu. Ia pun yakin bahwa Adam akan berpikir demikian.     

"Kamu bahagia dengan itu?"     

Raffa menghela napasnya. "Tentu tidak. Aku bahkan gak mengenal siapa wanita itu. Dia pernah berbicara denganku beberapa kali. Tapi aku tetap tak menyukainya."     

"Orang tua benar-benar egois bukan?" imbuhnya tersenyum seringai.     

"Tak ada yang bisa menerima keputusan buruk dengan bahagia. Akan tetapi setelah melibat mama yang lebih nyaman dan damai selepas pergi dari papa, membuat kakak merasa lebih lega. Setidaknya ini yang bisa kakak berikan untuk mama," ucap Adam menuturkan.     

"Kesimpulannya?" Raffa menyahut. Menoleh pada sang kakak yang baru saja melemparkan senyum manis untuknya.     

"Aku hanya tak nyaman. Sebab bahagia itu relatif."     

"Kalau tentang kehilangan impian kakak?" tanya Raffa lagi. Seakan ingin terus mencecar sang kakak dengan pertanyaan konyol yang tak ada kaitannya dengan hari bahagia Adam Liandra Kin besok.     

"Aku kecewa akan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin Tuhan lebih bahagia melihatku sebagai seniman," tuturnya tertawa ringan. Raffa ikut tertawa. Kini ia menundukkan pandangan untuk menatap apapun yang ada di bawahnya sekarang.     

Sejenak tawa itu menyertai hening yang baru saja ingin datang membentang. Entah siapa yang paling tulus tertawa sekarang ini, dua-duanya adalah laki-laki identik wajah dengan takdir yang tragis. Mereka mempunyai luka masing-masing. Entah siapa yang paling besar dan paling dalam, namun yang jelas luka itu membuat mereka sedikit lebih dewasa sekarang ini.     

"Kalau tentang Kak Davira?" Raffa kembali menyela. Lirih nada bicaranya terdengar masuk ke dalam lubang telinga sang kakak.     

Fokus Adam kembali tercuri. Ia menatap sang adik dengan penuh makna. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir sang kakak sekarang ini. Akan terapi Raffa melihatnya. Semua pertanyaan yang dilontarkan pada Adam, terjawab dengan nilai sempurna. Kejujuran ada di dalamnya. Namun setelah pertanyaan itu terlontar keluar hanya ada tatapan teduh sedikit sayu dan ekspresi kecewa juga sedih dan marah.     

Marah? Ya, entah pada siapa? Tebakan Raffa sekarang sang kakak marah pada dirinya sendiri.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.