LUDUS & PRAGMA

37. Harapan Baik



37. Harapan Baik

0"Kamu melihat aku?" Davira menyahut. Menatap remaja yang ada di depannya sekarang ini.     
0

"Kakak terlalu jelas jika ingin memata-matai." Raffa tertawa kecil. Berusaha tetap dalam suasana bersahabat meskipun Davira tak terlihat seperti itu sekarang ini.     

"Benar juga, aku bodoh dalam memata-matai." Ia tersenyum manis. Kembali tubuhnya bergerak untuk mencoba membenarkan posisi duduknya sekarang ini.     

"Kakak merindukan Kak Adam?" Raffa kembali menyela. Kalimat singkat itu disertai dengan senyum manis yang menjadi pengiringnya. Tak ada kemarahan atau kekecewaan di dalam raut wajah remaja jangkung di depannya itu. Semua terasa biasa saja dengan Raffa yang terus melempar senyum serta terapan teduh untuknya.     

"Kenapa aku merindukan Adam?" Gadis itu menyahut. Kini mulai menundukkan pandangannya untuk menatap tatanan buah segar yang ada di dalam keranjang. Senyum Davira tak tulus. Ia hanya berusaha untuk tetap terlihat biasa-biasa saja, meskipun hatinya sedang 'semrawut' sekarang ini.     

"Kakak pasti merindukannya."     

"Siapa bilang? Jangan sok tahu!" Davira menggerutu. Tak suka dengan tebakan Raffa yang mulai menyudutkan posisinya sekarang ini. Ia tak bisa banyak berkata kalau Raffa terus ada dalam pendiriannya sekarang ini. Ia tak pandai bersilat lidah jikalau sudah menyangkut pasal perasaan di dalam hatinya. Davira terlalu bodoh dan payah untuk berdusta.     

Raffa tertawa ringan. Meksipun ia mencoba untuk menyembunyikan wajah dan ekspresinya, Raffa sudah dewasa sekarang. Ia bukan lagi remaja bodoh yang selalu saja terbawa dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Perasaannya tak lagi labil, insting yang ia punyai tak lagi bodoh dan payah!     

"Kak Davira," panggilnya menyela. Gadis di depannya itu menoleh. Davira tak berucap. Netra pekat itu hanya fokus tertuju pada siapa yang baru saja menyebut namanya lembut.     

"Boleh aku minta tolong sesuatu pada kakak?" Raffa mengimbuhkan. Berharap Davira mengangguk-anggukkan kepalanya sekarang ini. Raffa tak suka penolakan, pertanyaan yang ia lontarkan barusan hanyalah sebuah formalitas agar terlihat sopan dan santun di depan Davira.     

"Katakan," ucapnya menerima. Gadis itu tak pernah sedikitpun menaruh rasa curiga pada Raffardhan Mahariputra Kin. Remaja itu adalah laki-laki yang baik. Mendengar segala kabar perihal nasibnya sekarang membuat dirinya yakin bahwa Sang Kuasa akan membalas kebaikannya di hari depan nanti. Ia tak boleh sengsara seperti sang kakak sebab Raffa adalah orang baik. Tak seperti sang kakak yang brengsek dengan sikap kekanak-kanakannya itu.     

"Aku ingin meminta bantuan kakak. Anggap saja ini balas buli kakak dari apa yang aku lakukan di masa lalu," ungkapnya membeberkan seluruh ganjalan yang ada di dalam hatinya. Inilah tujuan Raffa datang kemarin, bukan hanya sekedar bertamu dengan membawakan dua keranjang buah yang ada di dalam genggamannya.     

"Hm. Katakan saja." Davira sedikit ragu. Sebab seburuk apapun nasib yang dialami oleh Raffa remaja itu tak pernah meminta bantuan pada siapapun. Tak terkecuali dirinya. Davira mengenal baik adik sang mantan kekasih ini, meskipun tak semuanya namun setidaknya ia bisa mengatakan bahwa remaja yang baru saja meminta pertolongan padanya itu bukanlah Raffardhan Mahariputra Kin melainkan orang lain berwajah sama.     

"Datanglah ke pameran Kak Adam besok sore. Temu dia da—"     

"Apapun akan aku lakukan selain permintaan yang itu." Davira memotong kalimat remaja yang ada di depannya sekarang ini, memalingkan wajahnya untuk menatap ke arah yang lain. Helaan napas berkali-kali ia hembuskan secara kasar. Seakan ingin memberi kode pada Raffa bahwa ia bukanlah gadis mudah yang bisa melakukan hal sekonyol itu. Memang benar, ia tak lagi banyak memberi dendam dan kekecewaan pada Adam lagi. Semua sudah sudah berlalu, kenangan adalah hal yang patut dikenang bukan untuk diungkit-ungkit kembali. Semua ada di masa lampau, tepatnya lima tahun silam. Benar kata Kayla, ia datang dari London bukan dari masa lalu.     

"Aku tak meminta kakak untuk kembali bersama kak Adam. Aku tahu luka dan kekecewaan macam apa yang ada di dalam diri kakak sekarang ini. Jadi aku tak ingin memaksanya."     

Raffa kini sedikit mencondongkan badannya ke depan. Menatap dalam-dalam gadis yang ada di depannya sekarang ini. Raffa bukan orang baik tentunya, ia sama seperti semua orang yang ada di dunia. Licik adalah caranya bertahan hidup. Ia tak ingin kembali melibatkan sang gadis yang pernah dicintainya untuk masuk ke dalam urusan keluarganya lagi. Raffa sudah membebaskan Davira Faranisa untuk pergi terbang ke manapun ia inginkan, namun hanya sekali saja. Raffa ingin memanfaatkan kelemahan gadis itu. Membuat sang kakak kembali berjalan dengan motivasi dan dorongan darinya.     

"Kakak hanya perlu datang dan memberi motivasi untuk Kak Adam bisa berjalan lagi. Aku gak peduli dengan cara apa kakak melakukannya. Jika kakak ingin menampar Kak Adam untuk bisa membuat ia bangkit kembali, maka lakukanlah. Aku tak akan ikut campur lagi," ucapnya menuturkan. Davira hanya diam. Tak bisa membalas apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya saat ini. Semua terasa aneh, rasanya badai baru saja menghantam dirinya saat ini. Ia tak mengira Raffa akan datang hanya untuk meminta hal bodoh seperti ini. Menurunkan harga dirinya hanya untuk sang kakak yang katanya amat sangat ia benci kehadirannya.     

"Aku melakukan itu bukan sebab menyukai kak Adam dan ingin melihat dia bahagia, aku melakukannya hanya untuk mengurangi beban yang ada di pundakku juga mama. Kondisi Kak Adam sangat merepotkan." Raffa mengimbuhkan. Seakan paham benar arti tatap mata yang diberikan sang gadis untuknya. Tentu, Davira tak akan pernah mau menyetujuinya begitu saja. Kembali berhubungan dengan Adam hanya akan membuat lukanya kembali terbuka.     

"Setelah Adam sembuh, apa yang harus aku lakukan?" tanya Davira membuka suara. Raffa menaikkan pandangan matanya. Tegas ia menitik tepat mengarah pada netra pekat yang ada di depannya saat ini.     

"Itu keputusan kakak. Jika kakak ingin membalas rasa sakit itu, kakak bisa melakukannya."     

Davira tertawa kecil. Mulai menyembunyikan wajahnya dengan menundukkan kepalanya sekarang. Membiarkan helai demi helai rambut basahnya turun mengenai batas pipi tirus miliknya. "Bagaimana jika aku ingin membunuh Adam?" tanyanya acak.     

"Lakukan. Kakak berhak untuk balas dendam." Jawaban itu sukses menghentikan kalimat dari Davira. Ia tak ingin banyak berkata sekarang. Menatap lensa dengan cara bicara yang tegas tak ada keraguan seakan menjadi tamparan fakta untuk dirinya bahwa Raffa benar-benar membenci sang kakak. Apapun alasannya ia tetap tak menyukai kehadiran Adam Liandra Kin selepas semua yang terjadi padanya.     

"Akan tetapi jika kakak berubah pikiran dan merindukan Kak Adam, kakak boleh memeluknya dan menangis bersamanya. Memulai hubungan lagi seperti dulu. Aku janji aku akan menjauh dari kalian."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.