LUDUS & PRAGMA

38. Cermin Diri



38. Cermin Diri

0"Datanglah ke galeri Kak Adam malam ini. Pintu ruang ruang utama tak pernah dikunci sebab Kak Adam ingin mengijinkan siapapun datang dan melihat lukisan yang ada di sana kala malam tiba. Katanya, pesona di dalam lukisan akan terlihat begitu indah dan memukau kalau senja datang dan malam menyapa dengan tenang." Kalimat itu sukses untuk mencuri perhatian Davira. Memantapkan hati gadis itu untuk datang kemari sekarang ini. Jika tadi sore ia hanya berdiri di ujung jalan sana, malam larut ini ia berdiri tepat di depan galeri seni sang mantan kekasih.     
0

Benar-benar gaya seorang Adam Liandra Kin. Minimalis, sederhana, namun elegan. Mantap mata memandang, indah dirasakan oleh hati dan kuat disimpan di dalam ingatan. Semua yang ada di dalam galeri ini adalah cipta karya dari jari jemari sang kekasih. Mencurahkan segala isi hatinya lewat goresan kuas di atas kanvas miliknya itu.     

Davira mulai menghela napasnya. Ia pergi dari rumah dan menempuh perjalanan yang cukup lama hanya untuk datang kemari. Raffa tak pernah memaksa dirinya, ia hanya menyarankan Davira untuk sesekali masuk ke dalam dan melihat-lihat apa yang disuguhkan oleh sang seniman lewat cipta karyanya.     

Gadis itu mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Ruangan utama terlihat begitu luas dan bersih. Tak ada cahaya yang menyinari. Gelap gulita seakan Adam tak benar-benar mengijinkan orang asing untuk masuk ke tempat ini malam hari begini. Mata gadis itu mulai berkeliling. Mencoba untuk menerka dan membiaskan dirinya pada situasi aneh nan asing yang ia rasakan sekarang.     

Layaknya galeri seni yang lain. Segala macam lukisan ada dan menggantung rapi di atas dinding. Ia mulai tersenyum. Satu lukisan besar mencuri perhatiannya. Bunga Mawar Dark Crimson. Sebuah representasi bunga yang bermakna indah dengan pewarnaan yang sempurna. Siapapun yang menatapnya sekarang ini pasti akan datang dan menghampirinya. Tak ada yang akan tahan dengan pesona dan daya tarik lukisan yang berukuran besar memenuhi satu dinding ruangan ini. Adam sengaja memasangnya untuk memberi lambang pada seseorang. Bunga Mawar Dark Crimson, sebuah bunga yang melambangkan kesedihan dan kekecewaan yang amat mendalam. Ia tak tahu kalau Adam akan memilih ini untuk lambang galerinya. Bukankan akan lebih baik jika ia memilih bunga lavender atau tulip saja?     

Perlahan jari jemarinya mengusap permukaan lukisan yang ada di depannya. Merasakan setiap sentuhan kuas yang menggores kasar permukaan kanvas untuk menciptakan lukisan seindah ini. Gadis itu menghela napasnya kasar. Tak ingin berlama-lama dan berdiam diri di tempatnya, ia kini memutar langkah. Memasuki satu ruangan tepat di belakang tembok besar yang menggantungkan indah lukisan bunga Mawar Dark Crimson. Di sana ada lukis wajah seorang gadis. Cantik dan memukau. Setiap tatanan wajah dan perpaduannya sangat pas. Mata itu, hidung itu, dan bibir itu mirip dengannya. Ya, Davira bukan gadis bodoh yang tak bisa mengenali wajahnya sendiri. Meskipun Adam tak menuliskan wajah siapa yang sedang ia lukis dengan warna cerah yang pas, namun Davira yakin itu adalah wajahnya.     

"Rupanya itu wajah kakak." Suara lirih seorang gadis menyela. Berjalan ringan tepat mengarah pada posisi Davira sekarang ini.     

Davira menoleh. Samar-samar wajah gadis itu tak asing untuknya. Ia bisa melihat dengan jelas sekarang selepas cahaya lampu menyinari wajahnya. Davira mengenal gadis itu. Si gadis lugu nan polos yang menjadi teman baik Raffardhan Mahariputra Kin.     

"N--naila?" tanya Davira mencoba untuk menebak nama gadis yang baru saja ingin hilang dari rekam jejak dalam ingatannya. Arka memberi tahu nama gadis ini, namun untuk mengingatnya terlalu sulit untuk Davira. Belakangan ini ia sedikit tak fokus.     

"Kak Davira," panggilnya terhenti tepat di sisi gadis yang kini menganggukkan kepala sembari tersenyum manis.     

"Aku gak menyangka kakak datang ke sini malam-malam begini. Aku tak banyak mendengar tentang kakak di masa lalu. Namun melihat semua yang terjadi, pasti Kak Adam adalah orang yang berharga untuk kakak dulunya." Berkata apa adanya. Tak pernah ingin menutupi apapun yang mengganjal di dalam dirinya adalah sifat seorang Naila. Gadis itu terlalu jujur dan baik. Mengatakan semua yang ada di dalam pikirannya adalah caranya menarik kesimpulan atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.     

Davira menghela napasnya. Bergumam ringan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. "Ia adalah mantan kekasihku dulu."     

"Benarkah? Aku kira Raffa yang menyukai kakak."     

"Di situlah letak uniknya. Dua saudara berwajah identik menyukai satu gadis yang sama. Namun gadis itu hanya menyukai salah satu dari mereka. Mau bagaimana lagi? Perasaan tak bisa dipaksakan bukan?" tukasnya tersenyum ringan. Naila mengangguk. Benar juga, perasaan dan apa yang sedang kita rasakan tak bisa dipaksa juga tak bisa diatur dengan baik. Semua muncul begitu saja. Tak pernah direncakan juga tak pernah bisa dihilangkan. Semua akan datang dengan sendirinya, lalu pergi dengan sendirinya pula.     

"Kenapa kakak memutuskan Kak Adam? Karena Raffa?"     

"Meskipun kita mempunyai dua tangan, tapi akan terlihat serakah jikalau kita berniat untuk memiliki dua hal yang bertolak belakang dalam sebuah kehidupan. Adam melakukannya, serakah dan melakukan kesalahan yang bodoh. Jadi pergi meninggalkan dirinya untuk menghilang dan tinggal di London." Davira menuturkan. Kini menoleh tepat pada sang gadis yang hanya bisa tersenyum ringan untuk kalimatnya.     

"Kak Adam selingkuh rupanya," ucap Naila melirih. Gadis yang pandai!     

"Pasti berat bukan kehilangan orang yang paling berharga untuk hidup kita saat ini, Kak Davira?" tanya Naila kembali menyela. Gadis itu memang terlihat pendiam dan tertutup. Akan tetapi siapa sangka kalau ia lebih cocok dibilang ramah dan mudah akrab dengan seseorang.     

Tatapan keduanya tak lagi bertemu. Sama-sama menatap lukisan indah yang ada di depannya sekarang. Davira tak ingin berbicara sekarang ini. Apapun yang dikatakan oleh orang lain, tak sepenuhnya benar juga tak sepenuhnya salah. Hanya dirinya sendiri yang bisa memahami dan menilai itu.     

"Aku akan kehilangan ibuku dua bulan lagi paling lama. Tapi aku merasakan ia akan pergi lebih cepat dari dugaan." Naila melirih. Nada bicaranya berat dengan tatapan yang sedikit sayu.     

"Jika ibuku benar pergi, maka aku akan benar-benar sebatang kara tanpa keluarga kandung lagi. Aku akan menjadi yatim piatu," ucapnya menjelaskan. Davira kini menoleh. Tepat pada lensa teduh itu ia menatap.     

"Ayah kamu?"     

"Dia pergi dengan wanita lain. Aku bahkan berharap ia sudah mati sekarang ini."     

Davira tertawa. Benar, itu yang dulunya ia pikirkan. Membenci sang papa sebab perselingkuhan di masa lalu adalah caranya tumbuh menjadi dewasa seperti sekarang ini. Ia paham benar bagaimana perasaan Naila sekarang.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.