LUDUS & PRAGMA

39. Meet



39. Meet

0Davira menarik napasnya dalam-dalam. Perlahan tubuhnya berputar untuk menatap gadis yang ada di depannya sekarang ini. Davira tak menyangka jikalau Naila adalah si gadis bernasib buruk mirip dengannya. Ah, tidak. Semesta lebih kejam pada gadis baik ini. Tatapan itu sangat polos. Ekspresi wajahnya murni tanpa ada dendam dan amarah seperti kala ia berusia sama dengan Naila. Davira terlalu banyak mengeluh kala itu. Meminta banyak hal pada semesta tanpa mau memberi hal baik dengan menyanjung agungnya Sang Kuasa. Davira banyak belajar dari orang-orang yang ia temui dewasa ini. Hidup tak pernah benar bahagia. Semua akan jatuh pada waktunya, bangkit kemudian lalu kembali berputar untuk menjemput takdirnya sesuai dengan alur yang sudah digariskan oleh semesta, Davira kini paham akal hal itu.     
0

Semua yang ada di dunia ini adalah milik semesta. Ia hanya menitipkannya pada kita. Bagaimana cara kita mengolah dan menjaga itu adalah permainan yang diberikan semesta untuk dirinya juga semua hamba yang tinggal memijak bumi yang indah nan makmur ini.     

"Aku pernah merasakan itu. Membenci dunia dan membenci semua yang digariskan olehnya," ucap Davira mulai menggurui. Ia tak lagi menatap Naila. Kembali pandangan itu beralih pada lukisan besar yang ada di sisinya.     

"Tapi seseorang mengubah cara berpikirku."     

"Kak Adam?" tanya Naila menitikkan netranya. Gadis itu masih belum bisa benar mengerti keadaan yang sedang terjadi di depannya sekarang ini. Tatapan itu seakan memberi tahu dirinya bahwa Davira begitu merindukan sosok Adam Liandra Kin. Akan tetapi, untuk caranya berbicara yang berucap rasa kecewa yang ada di dalam dirinya begitu besar. Seakan Menggebu-gebu jikalau seseorang menyingung pasal masa lalunya. Davira tentu tak akan mudah memaafkan sang kekasih yang sudah mendua, menjadikan dirinya bak gadis bodoh tak tahu diri adalah hal yang paling dibenci oleh gadis itu selama ini.     

"Keadaannya," ucap Davira tersenyum simpul. Tegas tangannya terulur untuk meraih pundak gadis yang ada di depannya saat ini. Mengusapnya dengan lembut sembari terus menatapnya dalam-dalam.     

"Kamu pasti akan mengerti suatu saat nanti, semesta tak sejahat yang kamu kira."     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Tatapannya mengudara. Tak lagi menatap bangunan besar yang ada di depannya sekarang ini, namun menatap bentangan langit hitam yang atas di atasnya. Bintang hari ini tak muncul, rembulan pun sedang bersembunyi di balik gumpalan awan mendung itu. Hujan akan turun kiranya sebentar lagi. Entah benar atau tidak, namun ramalan cuaca mengatakan bahwa seperempat menit lagi akan ada hujan deras yang mengguyur permukaan bumi. Daviea melangkah masuk. Tak ingin membuang waktunya untuk menatap bangunan yang sebenarnya tak ada menarik-menariknya sama sekali. Kedai kafe yang biasa, meskipun sedikit besar dan tinggi bangunannya. Suasana di dalam ruang kafe juga tak seramai kafe-kafe malam pada umumnya, semua terasa biasa dengan alunan lagu yang monoton.     

Davira mulai menyapu setiap bagian kafe yang 'mengurung' dirinya dari ganasnya hawa dingin di luar sana. Jakarta memang panas, namun terkadang juga dingin seperti malam ini. Apalagi kalau hujan akan turun sebentar lagi.     

"Ada hang bisa saya bantu, Nona?" tanya seorang pelayang menegur posisi Davira. Gadis yang baru saja ingin duduk di atas kursi kecil tepat di sisi ambang pintu masuk itu hanya bisa tersenyum. Inilah tradisinya, kalau seorang pelayan melayani dirimu dengan baik, maka ucapkan kalimat terimakasih dan senyum manis untuk menghargainya. Apapun yang pelayan itu lakukan.     

"Anda ingin memesan sesuatu?"     

Davira mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu, jika tak ingin memesan, memangnya ia mau apa sekarang ini?     

Pelayan itu mengeluarkan secarik kertas kecil dengan pena hitam untuk mulai mencatat apapun yang akan dipesan oleh Davira sekarang ini.     

"Aku ingin memesan bos-nya," tuturnya menegaskan. Pelayan yang ada di sisinya tegas membulatkan matanya. Tak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Davira Faranisa sekarang ini. Pelanggannya ini sedikit aneh dan misterius. Harusnya ia tak berada di sini sekarang ini.     

"Apa yang Anda maksud—"     

"Panggilkan bosnya," ucap Davira menyela. Menatap hangat pelayan yang ada di depannya ini. Ia bukan datang untuk makan dan mencicipi menu di tempat ini, datangnya adalah untuk melawan takdir dan rasa takut yang pernah ada di dalam dirinya. Joe benar, satu-satunya cara untuk memperbaiki masa lalu adalah dengan menebus lorong waktu dan kembali pada masa itu. Mulai memperbaiki segalanya dan kembali ke masa kini untuk menjemput masa depan yang bahagia. Tak semua orang diberi kesempatan untuk itu. Davira adalah orang yang paling beruntung dari semua yang ada di muka bumi saat ini.     

Ia tahu, kalau gadis yang akan ditemuinya beberapa menit lagi mungkin akan terkejut dan mengusirnya dari sini. Tapi apa salahnya mencoba?     

"Oh, baiklah. Saya akan panggilkan." Pelayan itu membungkuk pergi dari hadapan Davira untuk mengindahkan perintah dari pelanggannya itu.     

Tak ada yang menemani dirinya lagi. Meskipun ada beberapa pelanggan yang datang dan menyantap menu terbaik di tempat ini, namun suasana benar-benar terasa sepi. Musik ballad yang menggema memecah keheningan pun tak benar-benar mampu untuk membuat suasana menjadi ramai. Ketimbang disebut sebagai kedai kafe atau rumah makan, tempat ini lebih patut disebut sebagai kuburan tempat orang-orang memakamkan jenazah.     

Davira menatap dari kejauhan seorang gadis berjalan ke arahnya. Davira yakin ia belum bisa menatapnya dengan benar, itu sebabnya langkah kakinya terlihat biasa saja. Benar kata orang, kehidupannya di London selama lima tahun terakhir mengubah cara berpakaian dan cara gadis itu memoleskan make up. Banyak yang tak menyangka, Davira kembali dengan penampilan yang berubah 180 derajat.     

Ia tersenyum manis. Menyambut kedatangan seseorang yang kini mulai mantap menangkap lukis wajah milik Davira. Tepat dugaan! Langkahnya terhenti begitu saja. Tatapannya kaku, ekspresi wajahnya menegang. Ia tak tahu jikalau seseorang akan datang dengan cara seperti itu. Menyambangi tempatnya berkerja dengan ekspresi wajah semacam itu. Davina membenci kedatangan Davira Faranisa.     

"Kenapa berdiri di situ?!" teriak Davira sembari terkekeh ringan. Gadis itu mengetuk sisi meja yang ada di depannya. Memberi isyarat pada Davina untuk kembali melanjutkan langkahnya dan duduk rapi bersamanya untuk berbincang ringan sekarang ini.     

Davina menundukkan sejenak pandangan matanya. Ia tak bisa melakukan ini! Tak ada persiapan sebelumnya. Bahkan ia tak pernah menyangka Davira akan kembali ke Indonesia.     

"Lo masih jadi pengecut gila?" tanya Davira dengan nada lantang. Kini semua mata tertuju pada keduanya. Satu gadis bodoh yang mulai menaikkan kembali pandangannya dan satu lagi gadis sialan yang menaburkan senyum manis untuk dirinya.     

"Kemarilah, sebelum aku berteriak lagi." Davira mengimbuhkan. Kini nada bicaranya sedikit lirih dan bersahabat. Menarik perhatian Davina untuk kembali menatap dirinya. Baiklah, ia akan datang untuk mengahadapi gadis sialan satu itu.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.