LUDUS & PRAGMA

40. Betrayal



40. Betrayal

0"Ngapain lo ke sini?" Davina menarik kursi yang ada di depannya. Tatap mata itu kini ia kembalikan pada paras milik teman lamanya. Lima tahun tak berjumpa hampir saja membuat dirinya lupa bagaimana wajah cantik seorang Davira Faranisa.     
0

Gadis di depannya hanya tersenyum ringan. Mulai menyentralkan netranya tepat menatap gadis yang ada di depannya saat ini. Davira datang sebab pesan singkat yang ia kirimkan pada sang sahabat kemarin sore. Tak ada hujan tak badai yang berembus juga tak disambar oleh petir, Davira mempertanyakan tempat tinggal mantan teman dekatnya itu. Arka sempat bertanya apa gerangan yang membuat sahabatnya begitu aneh kemarin malam. Pesan singkat yang dikirimkan oleh Davira benar-benar mengganjal di dalam batinnya kemarin. Bukan Davira namanya kalau mau menjelaskan panjang lebar untuk membuat Arka mengerti. Gadis itu hanya membalas dengan Kalimat singkat untuk menutup percakapan mereka.     

--dan di sinilah Davira berada. Sebuah bangunan kafe bergaya anak muda yang dibangun sedikit monoton. Tak ada kelas untuk membuatnya naik ke permukaan. Tata dekorasi yang tak menarik. Tempat luas namun terlihat ramai dan berantakan. Jika bukan sebab keinginan hatinya untuk datang, Davira tak akan pernah mau menyambangi tempat seperti ini.     

"Karena ini tempat kerja lo," sahutnya dengan nada ringan. Davira tersenyum di bagian akhir kalimatnya. Mencoba untuk tetap tenang dengan terus menahan amarah yang ada di dalam dirinya saat ini. Gadis di depannya inilah yang menjadi alasan dirinya pergi dari Indonesia. Semua masalah berawal dari ke-brengsekannya.     

"Katakan apa mau lo dan lo bisa pergi dari sini setelahnya." Davina memalingkan wajahnya. Ia tak ingin menatap paras cantik milik lawan mainnya sekarang ini. Tak ada rasa bersalah? Tidak, Davina hanyalah manusia bersalah. Ia bisa merasakan semuanya dengan baik. Tak hanya merasakan rasa dendam dan benci, ia juga bisa merasakan kekecewaan dan kesedihan.     

Selepas mendengar kepergian Davira Faranisa dari Indonesia, ia tentu terkejut. Tak mampu berkata banyak lagi. Semua pihak menuding dirinya. Bahkan ia mendapat celaan dan hinaan itu. Selepas videonya tersebar di segala penjuru sekolah, semua memandangi dirinya dengan tatapan tak bisa. Davina Fradella Putri adalah seorang tersangka! Itulah arti tatapan yang diberikan khalayak umum untuk merespon berita miring tentang dirinya. Ia tak bisa banyak berkata apapun lagi, hanya diam dan menghindari semuanya adalah cara Davina untuk mengubah hidupnya. Seluruh alumni sekolah mengetahui bagaimana caranya mendapatkan cinta seseorang.     

Jika memang tujuan Davira Faranisa adalah untuk menghancurkan reputasi baiknya di sekolah, bukan untuk menghancurkan hatinya maka gadis itu sudah sukses melakukannya. Nilai sempurna untuk Davira Faranisa.     

"Apa yang gue minta gak akan pernah bisa lo berikan."     

"Kalau gitu kenapa datang ke sini?" tanyanya menyahut. Ketus dan dingin adalah caranya berbicara.     

"Karena lo gak akan pernah bisa mengabulkan itu, makanya gue datang." Davira terkekeh kecil. Mengabaikan raut wajah Davina tak bisa dikatakan bersahabat lagi. Ia ingin marah dan membentak juga mengusir Davira dari sini, namun mau bagaimana lagi? Dirinya sudah cukup hancur sekarang ini. Menambah berita miring tentang dirinya adalah hal bodoh yang pernah ia lakukan.     

"Gue akan pergi kalau gitu. Nikmati kafenya," ucap Davina menyela. Kasar ia bangkit dari tempat duduknya sekarang ini. Sejenak melirik Davira yang tak bergeming sedikitpun. Jika ia bermaksud untuk datang dan menemui dirinya maka setidaknya terkejut dan sigap untuk memberi respon penahanan bagi Davina agar tak pergi adalah keputusan yang harus segala dilakukan oleh Davira sekarang. Bukan malah diam sembari menatanya tajam.     

"Gue gak akan bisa menikmati ini. Desainnya terlalu murahan," ucap Davira melirih. Baiklah, ia hanya ingin menghina gadis yang ada di depannya sekarang. Ia belum puas dengan apa yang dilakukannya lima tahun lalu.     

"Itu tujuan lo datang ke sini? Untuk menghina gue?!" Ia menyentak. Memberi penekanan di setiap kalimat yang diucapkan olehnya sekarang ini.     

"Hm. Gue bahkan ingin meludah di atas wajah lo sekarang ini."     

"Lakukan. Lakukan semau lo!"     

"Gue bukan orang gila dan murahan seperti lo, Davina." Gadis itu menyela. Tersenyum manis di bagian akhir kalimatnya. Tak ada yang terucap. Dalam sepersekian detik, hanya diam dalam sepi yang datang memeluk keduanya.     

Davina tak ingin kembali berurusan dengan gadis di depannya itu. Meskipun hidup dengan menjauh dari keramaian begini, namun setidaknya ia tak harus mendengar bisikan menyebalkan tentang dirinya dari para teman-teman lama juga ia tak harus menghadapi lirikan dan tatapan sinis lagi. Semua sudah cukup membuat dirinya menderita.     

"Duduklah. Gue belum selesai ngomong." Davira kembali mengetuk sisi meja dengan ujung jari jemarinya. Melirik Davina yang masih mematung di tempatnya. Gadis itu tak memberi respon yang baik. Diam dan menatapnya dengan tajam.     

"Apa yang lo mau?! Huh?!" Ia kini kembali meletakkan tubuhnya di atas kursi. Duduk berhadapan dengan nada berbisik-bisik seakan semua orang yang ada di sekitarnya tak diijinkan untuk tahu. Ia marah tentunya, Davira datang dengan tiba-tiba dan mengusiknya kembali. Ia tahu, jikalau dirinya teramat begitu bersalah pada Davira. Tentu, seharusnya ia datang dan meminta maaf, juga kalau perlu ia harus bertekuk lutut di depan gadis itu sekarang ini.     

"Davira!" Davina meraih kedua pergelangan tangan gadis yang ada di depannya. Sukses membuat Davira sejenak membulatkan matanya. Kembali raut wajah itu tenang seperti biasanya. Ia tahu, Davina mulai terusik sekarang ini.     

"Gue udah cukup menderita sekarang ini. Setelah lo pergi, Adam koma dan semua orang menyalahkan gue atas itu. Mereka menuding gue adalah gadis sampah bermuka dua. Semua orang membenci gue, Davira!" Mata itu berbinar. Seakan ingin membuat Davira mengerti bagaimana penderitaan yang ia alami sekarang ini.     

"Gue menjauh dari semuanya. Bahkan gue menjauh dari Adam! Lo tau kenapa? Karena gue menyesal atas itu. Gue janji gak akan pernah datang ke kehidupan lo lagi. Jadi, please! Tinggalin tempat ini." Gadis itu memohon. Semakin erat menyatukan kedua tangannya untuk meminta sedikit kelonggaran hati milik Davira Faranisa sekarang ini.     

"Gue udah putus dari Adam. Jika lo datang karena itu, lo salah. Lo berada di tempat yang salah." Ia kembali mengimbuhkan. Perlahan melepas genggaman jari jemarinya yang kuat menahan gerak tangan milik Davira.     

Tak ada jawaban. Davira hanya diam sembari terus menatapnya tegas. Ia tersenyum sekarang ini. Bukan senyum bahagia yang manis untuk dipandang, namun senyum seringai yang menandakan betapa puasnya ia sekarang ini. Davina mengaku kalah dan hancur. Ia payah dan lemah dalam menghadapi semuanya.     

"Datanglah ke pameran Adam besok pagi. Setelah itu gue anggap lo udah mati dan gue gak akan datang ke sini lagi," ucapnya menyahut.     

"Kalau gue gak mau?"     

Davira tersenyum. Mendekatkan wajahnya pada gadis yang ada di depannya sekarang ini. "Gue akan menghantui lo setiap hari untuk penebusan dosa itu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.