LUDUS & PRAGMA

41. Asmaraloka Sang Ibunda



41. Asmaraloka Sang Ibunda

0Pagi datang. Khas suasana Kota Jakarta begitu terasa kala netra itu menatap keluar jendela kamarnya. Aroma mocca menusuk masuk ke dalam lubang hidungnya. Hangat dan manis terasa kala permukaan lidah itu menyentuh secangkir mocca hangat yang ia seduh untuk dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu. Hawa tak dingin, tak seperti kala dirinya menyambut pagi di negeri orang sebelum ini. Hangat sedikit riuh, adalah suasana komplek tempat gadis itu tinggal. Davira menatap pemandangan di luar sana. hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu lalang sembari sesekali menyapa satu sama lain adalah pesona yang amat Davira rindukan untuk dilihatnya. Orang Indonesia itu sangat khas. Bukan hanya senyum manis, namun juga tata bahasa yang sopan dan santun. Meskipun tak semua begitu, namun setidaknya banyak orang yang masih menanamkan jiwa orang Indonesia di tengah jajahan budaya barat sekarang ini.     
0

Ia kembali menyeruput perlahan mocca hangat yang ada di dalam gelas pada genggamannya. Kemudian ber-ah ringan sembari sesekali mengecap rasa manis yang dihasilkan oleh cairan hangat itu. Davira puas, setidaknya sedikit demi sedikit ia bisa mengatasi hal yang belum usai semenjak lima tahun berlalu. Ia menghadapi Raffa juga kemarin dirinya bertemu dengan Davina. Hari ini adalah pameran di galeri seni sang mantan kekasih. Tak ada yang aneh memang, semua berjalan sesuai dengan dugaannya. Senang? Sedikit sebab ia kepergiannya tak sia-sia.     

"Kamu akan ke kantor lagi hari ini?" Seseorang menyela dirinya. Benar saja, jika agenda Davira kali ini hanya berdiam diri di rumah sebelum minggu depan mulai beraktivitas maka Davira tak akan menggunakan setelan pakaian kantor seperti ini. Rok pendek selutut berwarna cokelat gelap dengan kemeja putih polos yang sedikit kedodoran. Di tangan kanannya, gadis itu menggenggam erat secangkir mocca hangat yang membuatnya terkesan seperti wanita karir di pagi hari. Sangat cantik dan elegan.     

"Mama tak ke kantor?" Davira memutar tubuhnya. Sejenak ia mengabaikan kalimat tanya dari sang mama. Senyum mengembang di atas paras tua milik Diana. Mulai meraih tubuh sang putri dan meletakkan tangannya di atas pinggang Davira. Duana mengusap tubuh sang putri lembut. Sungguh, dirinya tak menyangka jikalau Davira akan tumbuh menjadi gadis mandiri seperti ini. Mengubah segala pola pikirnya yang dianggap bodoh dan terlalu kekanak-kanakan.     

"Mama libur di awal akhir pekan. Pengganti kemarin sudah lembur. Jadi bos mama memberi satu hari untuk cuti." Diana menjelaskan. Manis senyum itu ia lemparkan untuk sang putri. Nada bicara yang lembut membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa nyaman.     

"Kamu akan ke kantor hari ini?" Wanita itu kembali mengulang pertanyaan. Tak puas dengan diamnya sang putri kali ini. Jika Davira tak ada hal yang penting dan mendesak, ia akan mengajaknya berlibur hari ini.     

"Hm. Davira ingin lebih banyak mengenal tempat kerja Davira mulai hari ini."     

"Kamu adalah pemimpinnya." Diana menyahut. Kini mengusap puncak kepala sang putri yang setara tinggi dengannya. Bukan hanya fisiknya yang tumbuh indah, namun caranya bersikap dan berpikir. Diana lega sebab Denis ada di saat putrinya membutuhkan seseorang yang bisa diandalkan olehnya. Diana hanyalah wanita karir yang berambisi untuk membahagiakan sang putri. Untuk masa depan, ia hanya ini yang terbaik untuk Davira. Kala itu Diana tak bisa menolong banyak sang putri. Gadis itu harus mengalami semuanya sendirian. Ada Denis, sang papa kandung. Pria itu memang brengsek pada masanya, namun sekarang ia adalah orang yang paling bisa diandalkan.     

"Karena aku pemimpinnya, aku tak boleh terlihat bodoh." Davira tertawa ringan. Melirik sang mama yang baru saja ikut tersenyum ringan untuk kalimatnya.     

Tawa itu memecah keheningan yang ada. Sejenak keduanya sama-sama diam sembari menatap jauh di depan sana. Perlahan, Diana mulai menoleh pada sang putri. Nyaman, ekspresi wajah Davira terlihat baik-baik saja dan nyaman sekarang ini. Tak ada beban yang datang dan menghampiri dirinya. Tidak, Diana yakin di dalam pikiran gadis itu sedang sangat riuh. Saling bersautan dan bergemuruh untuk memperkeruh perasaan yang ada. Sang putri mirip dengan dirinya, pandai memakai topeng untuk terlihat baik-baik saja.     

"Mama senang melihat kamu kembali bersama papa kamu. Melupakan semuanya dan membuat keadaan lebih baik setiap harinya."     

Davira menoleh. Ia menganggukkan kepalanya untuk itu. Setuju! Semua pengalaman buruknya di masa lalu membuat Davira lebih baik dan lebih dewasa sekarang ini. Meskipun di dalam hatinya sedang menangis dan menjerit, namun setidaknya ia bisa mencoba untuk mengontrolnya. Itulah dewasa yang sesungguhnya.     

"Aku juga senang untuk itu. London terbaik untuk memperbaiki hubungan seseorang." Gadis itu menyahut. Ringan dengan tatapan teduh penuh makna.     

"Kalau hari ini senggang, mau makan malam dengan mama?" tanya Diana menawarkan.     

"Memangnya kita sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta?" kekeh Davira Faranisa tersenyum aneh. Gadis itu tak bergeming sepersekian detik. Hanya menatap sang mama dengan geli.     

"Davira bukan lagi anak kecil. Setidaknya Carikan pacar untuk itu." Gadis itu menambahkan kalimatnya. Melipat bibirnya samar sembari menggelayut manja di pundak sang mama.     

"Adam?"     

Nama itu membuat kening Davira mengernyit. Tatapannya aneh dengan raut wajah yang tak bisa dibilang bahagia lagi. Ekspresi itu datar. Tak ada kebahagiaan yang ads di dalamnya. Tidak pula sedang bersedih. Davira benar-benar tak bisa merasa apapun lagi kala nama itu disebut. Tidak, mungkin ia hanya sedang melawan rasa itu.     

"Kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Diana melanjutkan.     

Davira mengangguk ringan. "Aku melihatnya. Dia duduk di atas kursi roda."     

"Syukurlah kamu sudah menemuinya. Apa yang kamu rasakan?" Diana kembali melempar pertanyaan untuk sang putri. Rasa aneh sebab Davira tak menunjukkan semburat kesedihan atau kemarahan sekarang ini. Benar-benar kosong. Tatapan itu tanpa arti yang mendalam sekarang ini.     

"Aku akan datang ke pamerannya sore ini. Aku akan menjawabnya nanti setelah datang," ucap Davira memalingkan wajahnya. Tak lagi menatap sang mama yang hanya diam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya ringan, ia memilih objek baru untuk ditatap.     

"Kenapa datang ke sana?"     

"Aku ingin memastikan sesuatu." Davira menyahut. Menghela napasnya kasar sembari terus menatap lurus ke depan. Bukan tanpa maksud dirinya menyuruh Davina untuk datang ke pameran itu. Bukan tanpa tujuan juga ia datang ke sana nanti petang, semua adalah alur yang disusun olehnya. Ada satu kepercayaan yang mengganjal di dalam hatinya sekarang. Adam masih mencintai Davina Fradella Putri.     

Tak apa. Itu tak akan menyakitinya lebih dalam lagi, toh juga semua sudah berlalu lima tahun yang lalu. Kini hanya ada kenangan yang belum tuntas dan pantas untuk segera ditamatkan. Entah dengan kisah yang baik atau kisah yang lebih buruk lagi. Davira datang ke Indonesia untuk menghadapi ketakutan itu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.