LUDUS & PRAGMA

42. Makna Bunga Anyelir



42. Makna Bunga Anyelir

0Suasana begitu ramai. Lalu lalang orang yang ada di depannya kini tegas mencuri perhatian gadis yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam galeri seni. Beberapa orang terlihat begitu asing untuknya. Tak pernah melihat apalagi mengenal wajah orang yang ada di sekitarnya saat ini. Mirip dengan pameran seni lainnya. Yang datang bukan hanya orang terdekat saja, namun seluruh masyarakat peminat dunia seni datang untuk sekadar melihat juga membeli beberapa lukisan terbaik dengan harga yang lebih miring lagi.     
0

Ia berhenti di sebuah lukisan wajah seorang gadis. Dari helai rambutnya, dirinya mengenal dengan baik siapa kiranya yang menjadi objek dalam lukisan yang mendominasi dinding ruangan. Ia menundukkan kepalanya. Menatap buket bunga anyelir putih yang ada di dalam genggamannya sekarang ini. Penampilannya tak bisa dibilang wajar sekarang ini. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan raut wajah yang tak bersahabat. Bunga di dalam genggamannya melambangkan duka cita yang amat mendalam. Mencuri beberapa perhatian banyak orang yang ada di sekitarnya sekarang ini kala ia mulai meletakkan bunga itu di depan lukis wajah Davira Faranisa.     

Orang-orang mulai berbisik. Melirik sinis pada gadis yang masih tak acuh dengan terus menatap lurus ke bawah. Ia paham ini sangatlah memalukan. Ia datang dengan keadaan berkabung. Membawa satu buket bunga dengan tanda duka hatinya saat ini. Suasana yang seharusnya terjadi bukan seperti ini. Bahagia sebab ini adalah ulang tahun ketiga selepas peresmian gedung galeri seni milik sang mantan kekasih. Akan tetapi ia datang membawa duka. Tepat di depan wajah Davira dirinya menyampaikan duka itu. Seakan-akan sedang mengenang sosok yang ada di dalam lukisan itu.     

"Bukannya itu Davina?" Bisikan itu cukup kuat masuk ke dalam lubang telinga milik Davina. Gadis itu hanya diam tak bergeming sedikitpun. Ia tahu, bahwa denua ini akan terjadi.     

"Kenapa dia datang dengan pakaian seperti itu? Dia bahkan meletakkan bunga anyelir di depan lukisan Davira."     

"Gadis gila!" tukas seseorang menyahut. Davina masih berusaha tak acuh. Ia hanya menghela napasnya kasar mulai membalikkan badannya untuk melangkah pergi. Ini yang diinginkan oleh Davira. Ia hanya perlu datang dengan menghantarkan bunga anyelir untuk dirinya di galeri seni ini. Benar, Davira yang dulu sudah mati. Yang dilihat olehnya kemarin adalah gadis gila yang datang dari London. Bukan mantan teman dekatnya yang berhati lembut dan pendiam.     

Davina hanya perlu memancing Adam keluar dari persembunyiannya. Menatap dan menghadap dirinya dengan satu alasan yang jelas, bahwa dirinya sudah menggila.     

"Gadis itu rupanya masih berani datang ke sini." Kayla menyela. Dari kejauhan ia melihat perawakan tubuh yang tak asing untuknya. Davina memang sudah tak waras, ia tahu kalau gadis itu memang membenci Adam dan Davira, namun menyampaikan dengan cara seperti ini membuat Kayla teringat akan hal yang dilakukan olehnya lima tahun lalu. Murahan, rendah, dan monoton.     

"Apa yang sedang dia lakukan di depan foto Davira?" Rena menyahut. Baru saja ia ingin kembali berjalan untuk menghampiri Davina dan menampar gadis itu. Melempar bunga anyelir yang ada di bawah kakinya tepat di atas wajah gadis sialan itu. Bisa-bisanya ia datang dan menampakkan wajahnya di sini. Semua orang membenci Davina. Arka Aditya, Rena Rahmawati, Kayla Jovanka, juga Raffardhan Mahariputra Kin. Bahkan Adam sekalipun.     

Raffa mencegahnya. Menarik pergelangan tangan Rena untuk tak melanjutkan niat bodohnya itu. Cukup Davina yang membuat keributan, ia tak perlu mengimbuhkan.     

"Biarkan saja. Dia akan pergi setelah Kak Adam menemuinya," ucap Raffa menyela. Menatap Rena yang baru saja melipat keningnya samar. Dari caranya berbicara, seakan-akan Raffa sudah tahu bahwa ini akan terjadi.     

"Bagaimana kamu tahu?" tanya Rena sembari melirik genggaman tangan Raffa yang perlahan terlepas dari dirinya.     

"Kak Davira." Nama singkat itu sukses menarik perhatian Rena juga Kayla yang ada di sisinya. Untuk Kayla ia hanya terkejut sebab Davira-lah dalang dibalik semuanya. Gadis itu benar-benar tak bisa diremehkan. Namun untuk Rena ia terkejut akan dua hal. Davira sudah kembali ke Indonesia? Dan dia melakukan semua ini? Wah! Apakah hanya dirinya saja yang tak tahun tentang ini?     

"Dia adalah dalangnya."     

Tatapan ketiganya kini kembali fokus pada gadis yang mulai memutar tubuhnya. Berniat untuk pergi dari tempat berdirinya sekarang ini. Tepat dugaan! Adam datang dan menghadang dirinya sekarang. Tatapan Adam tak bersahabat. Menatap tajam gadis yang ada di depannya sekarang ini dengan sesekali menoleh untuk menatap bunga anyelir yang ada di depan lukis wajah milik gadis tercinta.     

"Ambil itu dan gue akan melupakan semua kejadian aneh ini." Adam menyela. Suara berat yang khas. Tak berubah meskipun lima tahun berjalan. Davina tersenyum ringan. Menggelengkan kepalanya sembari tak kunjung bergeming dari tempatnya.     

"Gue gak akan mengambilnya."     

"Kenapa?" Adam menyahut. Mendongakkan pandangan matanya untuk bisa menatap dengan tegas gadis sialan yang sudah menghancurkan hari baiknya.     

"Karena gue hanya menuruti perintah," ucapnya berkelit.     

Adam menghela napasnya kasar. Tatapannya semakin tajam menusuk masuk ke dalam netra indahnya.     

"Adam ...." Davina memanggil. Mulai berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Adam Liandra Kin.     

"Kita sudah tamat sekarang. Penghancur itu datang kembali," ucapnya melirih. Ia menyeringai samar. Menatap Adam yang masih terdiam sebab belum bisa mengerti keadaannya yang sedang terjadi saat ini. Davina terlalu banyak mengulur waktu.     

"Dia yang mengirim gue kemari. Dia pasti akan mendatangi lo juga, Adam." Davina mengimbuhkan. Ia bukan sedang menyampaikan apa yang Davira katakan, dirinya hanya sedang membuat laki-laki di depannya itu terkejut.     

"Siapa?" tanya Adam melirih. Terus menelisik masuk ke dalam netra pekat milik lawan bicaranya saat ini. Bukan tanpa alasan Davina mengatakan itu, ia hanya ingin melihat bagaimana reaksi seorang Adam Liandra Kin selepas tahu Davira Faranisa kembali ke Indonesia.     

Davina kini kembali bangkit. Berdiri tegap di depan laki-laki yang masih menatapnya penuh ketidak percayaan. Adam belum bisa mengerti semua ini. Siapa yang dimaksud oleh gadis sialan ini sekarang? Benarkah itu Davira, gadis yang amat ia cintai.     

"Katanya ... dia yang dulu sudah mati. Dia yang sekarang datang dari London adalah pribadi yang baru. Itu sebabnya aku datang dan menaruh bunga anyelir untuk lukisan kuno lo itu." Gadis itu tertawa ringan. Memasukkan kedua tangannya tepat di saku mantel hitam yang ia kenakan.     

"Dia bahkan menghadiahi gue mantel mewah ini. Di Indonesia harganya sangat mahal, tapi di sana lo bisa membelinya dengan harga murah. Katanya juga ini sesuai dengan—"     

"Cukup!" Adam menyela. Menghentikan kalimat gadis yang ada di depannya sekarang ini.     

"Lo bisa pergi," tukasnya mengimbuhkan. Kembali memutar kedua roda kursi roda yang menyangga tubuhnya sekarang. Pergi dari hadapan Davina untuk kembali mengambil bunga itu. Davira tak pernah mati. Gadis itu masih hidup dalam kenangannya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.