LUDUS & PRAGMA

43. Orang Baru dengan pemikiran Lama



43. Orang Baru dengan pemikiran Lama

0Alunan musik balad memecah keheningan yang ada. Semua pengunjung di kedai kafe bergaya modern yang dibangun di sisi padatnya jalan raya kota itu tak pernah sepi akan pengunjung. Cita rasa masakan yang khas dengan pemandangan bangunan galeri seni yang indah membuat tempat ini menjadi favorit banyak orang. Ya, kafe tempat Davira berada sekarang ini dibangun tepat di seberang jalan depan bangunan galeri milik Adam Liandra Kin. Ia sengaja memilih tempat yang ada di sisi jendela luar dengan satu meja kotak yang menghadap keluar jendela. Ia bisa menatapnya meskipun itu terlihat samar sekalipun. Davina sukses menjalankan misi darinya. Ada satu rekam video yang langsung di ambil dari tempatnya sekarang ini, Davira mengirim seseorang untuk menjadi perantara mengirim hasil pertunjukan dengan dirinya sebagai dalang dari semua itu.     
0

Tatapan tajam yang Adam berikan untuk Davina beberapa saat lalu memalui rekam video benar-benar memberi point penyempurna fakta bahwa Davina sudah memutuskan hubungannya dengan Adam Liandra Kin. Entah bagaimana perasaan gadis itu yang sebenarnya, namun melihat reaksi yang ditunjukkan oleh sang mantan kekasih seakan memberi penjelas untuk dirinya bahwa Adam tak lagi memiliki perasaan untuk Davina Fradella Putri. Yang bersisa hanyalah dendam dan amarah. Kekecewaan ada di dalam semburat ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Adam untuk Davina. Ia mendengarnya, bahwa Davina meninggalkan Adam kala remaja itu berada dalam keadaan koma lima tahun lalu. Alasannya hanya sederhana, siapa gadis yang mau menunggu dan menjenguk kekasihnya yang sedang koma setiap hari? Tidak ada! Semuanya akan pergi memilih mencari kehidupan yang baru.     

Davira tersenyum manis. Kini menarik secangkir kopi hangat yang seduh untuknya. Sebuah kebiasaan, ia lebih memilih kopi susu ketimbang minuman dingin atau minuman soda seperti dulu. London mengubah gaya hidupnya.     

"Jadi ini ulah lo?" Seseorang menyela pandangannya. Membuat Davira mau tak mau harus menoleh dengan sedikit mendongakkan kepalanya. Perawakan tubuh yang tak asing untuknya, namun dengan penampilan asing tak seperti biasanya. Memang belum lama ia kembali ke Indonesia, bertemu Arka dengan setelan jas rapi yang membalut tubuhnya. Sore ini Arka datang dengan pakaian biasa yang terbilang cukup sederhana. Tak akan ada yang menyangka bahwa Arka adalah si manusia baik pembela rakyat umum jikalau penampilannya seperti ini.     

"Lo gak ke sana?" Davira mengabaikan kalimat sang sahabat. Kini menggeser tubuh beserta kursinya untuk memberi celah Arka duduk di sisinya sekarang ini.     

"Gue mau datang, tapi melihat pemandangan seperti tadi benar-benar membuat gue muak. Jadi gue pergi." Arka mempersingkat. Melirik Davira yang hanya menganggukkan kepalanya ringan.     

"Dan gue lihat lo di sini," ucapnya mengimbuhkan.     

Davira tersenyum. Kembali meletakkan cangkir yang ada di dalam genggamannya selepas ia menyeruput isinya dengan kasar. Gadis itu menghela napasnya ringan. Baiklah tebakan Arka benar adanya. Semua yang ada di dalam galeri seni itu adalah ulahnya. Ia tahu bahwa beberapa alumni dari sekolahnya akan datang ke pameran itu, jadi Davira sedikit membuat pertunjukan yang mengejutkan.     

"Gimana reaksi Adam?" tanyanya menyela.     

"Jawab dulu pertanyaan gue, itu ulah lo beneran?" Arka menyahut. Membalas Davira yang baru saja mengabaikan pertanyaan darinya. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berdeham ringan tak mau bersuara.     

"Kenapa lo melakukan itu?" tanya Arka menelisik arti tatapan sang sahabat sekarang ini. Davira memang tak menatapnya, ia hanya terus menempatkan pandangannya lurus ke depan. Davira tahu, penjelasan apapun tak akan pernah masuk akal bagi Arka, sebab ini adalah perasananya.     

"Lo ingin merusak citra mereka berdua?" Laki-laki itu menebak asal kala cukup lama ia diam sembari menunggu sahabatnya untuk memberi jawaban. Davira bukan anak kecil atau remaja labil lagi, ia adalah wanita dewasa yang sudah berkarir. Jika untuk itu, maka akan terdengar sangat kekanak-kanakan.     

"Bagaimana rasanya terpojok? Bagaimana rasanya tersakiti? Bagaimana rasa ketika semua orang gak bisa mempercayai dirimu lagi? Menganggap dirimu adalah orang gila yang tak punya akal waras lagi. Itu tujuan gue. Kita harus berbagi rasa sakit bukan?" Davira mempersingkat. Mengakhiri kalimatnya dengan senyum manis yang mengembang di atas paras cantiknya.     

Arka hanya bisa mengangguk. Toh juga semua sudah menjadi keputusan sang sahabat. Ia hanya ingin terus mempercayai apa yang dilakukan oleh Davira, selebihnya tak ada. Perasaannya untuk sang sahabat memang tak seperti dulu lagi, meksipun rasa cinta itu masih benar-benar ada di dalam hatinya. Akan tetapi Arka sadar bahwa dirinya hanya digariskan untuk menjadi sahabat dan pendengar baik bagi seorang Davira Faranisa. Melawan takdir semesta hanya akan merugikan dirinya sendiri.     

"Adam terlihat benar-benar marah. Dia tak pandai menyembunyikan amarahnya."     

Davira tersenyum manis. Menundukkan pandangan untuk menatap kulacino yang ada di tengah mejanya. Davira sudah memastikannya, bahwa keduanya sudah saling membenci untuk saat ini. Lega? Entahlah. Davira hanya ingin memastikan itu.     

"Ngomong-ngomong, ngapain lo di sini? Lo yakin lo cuma ingin mengawasi?" Arka menyela. Baru saja Davira ingin kembali membuka mulutnya untuk berbicara, akan tetapi gadis itu mengurungkan niatnya. Arka terlalu cepat dalam menyikapi keadaan. Asing memang, melihat Davira berada di sini.     

"Lo juga datang ke sini sore kemaren saat gue suruh?" Laki-laki itu kembali mengimbuhkan. Mencecar Davira dengan dua pertanyaan yang sukses membungkam mulut gadis itu dalam sepersekian detik berjalan. Davira masih belum ingin menatapnya. Gerak bibirnya pun belum benar tercipta. Seakan desakan pertanyaan darinya belum sukses untuk membuat gadis itu berbicara.     

"Lo datang untuk—"     

"Kemarin Raffa menemui gue," sela Davira memotong kalimat sang sahabat.     

Arka menatap dirinya. Sedikit memiringkan kepalanya untuk mencoba menelisik masuk ke dalam arti tatapan Davira Faranisa untuknya kali ini. Gadis itu tak sedang bergurau, tak juga sedang mencari-cari alasan untuk mengubah arah topik pembicaraan. Ekspresi wajahnya sangat serius sekarang ini. Tak ada senyum hanya ada tajamnya mata memandang.     

Ia menoleh. Ditatapnya sang sahabat dengan benar. Kemudian sejenak melengkungkan bibirnya samar nan tipis. Ada yang mengganjal di dalam dirinya saat ini. Haruskah ia mengatakan semuanya pada Arka Aditya? Pasal Raffardhan Mahariputra Kin yang mendatangi dirinya dan meminta belas kasih Davira untuk kembali membujuk dan memberi motivasi pada sang kakak agar sembuh dan kembali berjalan seperti sedia kala.     

--ah, ini gila! Bahkan dirinya sendiri saja tak mengerti mengapa ia harus memikirkan itu hingga saat ini. Jika Davira memang tak mau seharusnya ia menolak dan melupakannya. Bukan malah menjadi gila dengan terus terbayang-bayang oleh kalimat dari Raffa kemarin sore. Malamnya pun tak tenang, tidurnya terganggu bahwa hingga begadang semalaman hanya untuk memikirkan pasal keputusannya sendiri.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.