LUDUS & PRAGMA

44. Sebuah Perjanjian



44. Sebuah Perjanjian

0"Kenapa Raffa datang menemui lo?" Arka menyahut.     
0

Keduanya sama-sama terdiam. Menatap satu sama lain dengan sorot lensa datar dengan satu titik temu yang sama. Dalam sorot lensa itu ada setitik harapan baik dari Arka untuk sahabat kecilnya itu. Ia ingin apapun yang dipilih oleh Davira kali ini adalah sebuah langkah yang benar arahnya, mantap iramanya, dan pas tujuannya. Ia tak ingin Davira kembali terluka dan benar-benar pergi dari hadapannya sekarang ini. Cukup sekali, jangan sampai terulang kembali. Hanya kala itu Arka merasa benar-benar kehilangan. Ia tak ingin merasakannya lagi sebab rasa itu sangat mengerikan untuk dirinya.     

"Dia membual tentang perasaannya lagi? Wah!" Arka mengembuskan napasnya kasar. Suara beratnya itu mengakhiri diamnya Davira. Gadis yang ada di sisinya tertawa kecil nan singkat untuk menanggapi kekonyolan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang sahabat.     

"Dia meminta tolong sama gue." Davira menyahut. Tepat saat kalimat itu terucap dari bibirnya, Arka bungkam. Perlahan raut wajah tampannya itu memberi isyarat bahwa ia terperangah dengan kalimat yang katakan oleh Davira Faranisa sekarang ini.     

Semua orang di dekatnya juga paham benar kalau Raffardhan Mahariputra Kin bukanlah remaja yang suka meminta pertolongan pada orangnya. Alasannya adalah sebab mempercayai manusia adalah hal terburuk yang pernah ia putuskan. Meminta tolong artinya harus meninggalkan hutang berbalas budi, ia tak suka akan hal itu. Raffa bukan orang yang nyaman hidup dengan berbagai macam hutang budi pada orang lain. Ia ingin hidup nyaman dengan caranya sendiri. Itulah mengapa Arka terperangah tak percaya selepas mendengar kalimat dari Davira.     

"Soal kakaknya. Raffa ingin gue membantu Adam untuk sembuh."     

"Ide yang buruk!" Arka menyentak. Mengebrak perlahan meja yang ada di depannya sekarang. Apapun akan ia setujui, kecuali ide untuk Davira kembali pada Adam Liandra Kin. Melihat dan mengingat apa yang terjadi pada sang sahabat dulu cukup menjadi sebuah pembelajaran berharga untuk dirinya. Bahwa mendekati Adam kembali bukan sebuah ide bagus untuk dilakukan.     

"Apapun akan gue setuju, kecuali yang satu itu!" Laki-laki dengan kemeja polos yang pas membentuk lekuk tubuhnya itu kembali membuka suaranya. Memberi pendapat terbaik untuk mencegah hal gila terjadi pada sang sahabat. Ia tak ingin perginya Davira selama lima tahun lamanya hanya akan sia-sia saja sebab keputusan bodoh ini. Dulu, Arka memang diam dan menuruti semua yang menjadi keputusan sang sahabat, namun sekarang lain! Ia tak akan membiarkan Davira salah dalam melangkah lagi.     

"Gue bilang ini bukan untuk meminta persetujuan dari lo, Arka. Gue bisa memutuskan itu sendirian." Davira menyahut. Sesekali dirinya menghela napas ringan dengan arah tatapan yang tak berubah sedikitpun. Rasanya aneh, sebab hatinya terbelah menjadi dua. Ada rasa ingin mendekat dan masuk ke dalam galeri seni di depannya itu, namun ada juga bagian hatinya yang melarang akan hal itu. Ia hanya perlu sabar dan menunggu waktu yang tepat.     

"Dan lo akan mengulang kejadian di masa lalu? Lo gak ada kapok-kapoknya rupanya!" Arka menggerutu kesal. Samar ia melipat keningnya. Membuang tatapan untuk tak lagi menatap paras Davira yang terlihat begitu sangat santai untuk sekarang. Ia bukan Davira yang Arka kenal. Gadis itu sudah banyak berubah. Mulai dari hal yang paling kecil dan sepele hingga dari sesuatu yang besar di dalam dirinya. Mulai dari caranya berpakaian hingga caranya menyikapi dunia yang ada. Davira terlihat jauh lebih tenang dan menguasai.     

"Gue gak berjalan di jalan yang sama. Jadi gak akan ada yang terulang."     

Arka menundukkan pandangannya. Jengkel? Tentu. Davira terlalu keras kepala! Gadis itu tak kunjung mengerti kekhawatiran yang ada di dalam dirinya saat ini. Keras kepala itu mengalahkan segalanya.     

"Gue hanya perlu membuat Adam kembali berjalan dengan baik. Bahkan berlari seperti sedia kala."     

"Apa yang lo dapatkan dari itu?" sahut Arka tak sabaran. Benar, haruslah sebuah kepekatan yang sama-sama saling menguntungkan. Bukan hanya Raffa yang diuntungkan, namun juga sahabatnya itu. Arka paham dan tahu benar kalau Davira adalah gadis yang pandai. Ia tak akan menerima tawaran seseorang tanpa imbalan yang setimpal.     

"Gue bertukar dengannya. Jika gue bisa membantu Raffa dan mengembalikan Adam seperti sedia kala, gue meminta untuk baik Raffa maupun Adam pergi dari kehidupan gue. Meskipun kita tinggal di kota yang sama, namun gue gak ingin bertemu dengan mereka lagi." Davira mempersingkat. Tersenyum aneh menutup kalimatnya.     

"Lo yakin Raffa bisa menjauh dari lo? Maksud gue saat lo pergi ke London saja Raffa selalu menunggu lo di rumah, halte, dan bandara. Remaja itu terlalu menyukai lo, Davira. Mustahil untuk membuat Raffa pergi menjauh dari lo." Arka menolak. Usulan itu terkesan begitu fiktif sebab tak akan pernah bisa dilakukan oleh keduanya. Baiklah untuk Adam, namun untuk Raffa? Itu akan sulit.     

"Kita membuat kesepakatan, maka kita harus saling menyetujuinya." Davira menunduk. Tatapannya tak lagi menatap galeri yang ada di depannya, namun menatap secangkir kopi yang mulai dingin. Tak ada lagi kepulan asap di udara, jika permukaan telapak tangannya menyentuh cangkir itu, maka dingin adalah rasanya.     

"Davira ...." Arka meraih pergelangan tangan sang sahabat. Menatapnya dengan penuh arti dan pengharapan. Lamat-lamat bibirnya bergerak. Ingin mengatakan sesuatu, namun hati belum sampai untuk melakukannya. Arka tak tahu, mengapa perasaannya sekarang ini benar-benar bercampur aduk. Ia tak bisa mendeskripsikan dengan benar, bagaimana perasannya sekarang ini.     

"Jujur dalam hati lo, lo masih berharap untuk kembali bersama Adam?"     

Davira diam. Menatap Arka dalam sebuah ketenangan. Bibirnya tak kuasa untuk terbuka dan memberi respon jawaban untuk sekarang ini. Ia hanya bisa bungkam tak bersuara untuk memantapkan hatinya sendiri. Jujur saja, Davira tak bisa memutuskan sekarang ini. Semuanya terasa lebih cepat dari dugaannya. Permasalah yang harus ia hadapi selepas pergi begitu saja seperti seorang pengecut kini menghadang dirinya. Satu demi satu, namun jelas adanya. Menyesal kembali ke Indonesia? Tidak! Toh juga dirinya pasti akan menghadapi ini nantinya meskipun tak kembali kemarin.     

"Lo berharap?" ulang Arka menegaskan. Davira melepaskan genggaman tangan sang sahabat. Memalingkan wajahnya untuk kembali menatap ke luar jalanan. Ia tak bisa memutuskan sekarang. Semuanya adalah keputusan yang berat. Salah satu langkah saja, membuat dirinya kembali dihempas oleh kenyataan.     

"Davina Faranisa!" Seseorang menyentak. Berteriak di ambang pintu untuk menarik perhatian dua insan manusia yang saling duduk berjajar di depan meja kotak sisi ruang kafe. Bukan hanya Davira dan Arka yang menoleh, namun semua yang ada di dalam ruangan.     

"Lo sahabat yang jahat rupanya!" Ia mengimbuhkan. Berjalan mendekat pada gadis yang kini tersenyum ringan. Ada dua alasan untuk senyum itu, pertama adalah Rena yang datang menghampiri dirinya. Kedua sebab Rena menyelamatkan dirinya dari pertanyaan konyol milik Arka Aditya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.