LUDUS & PRAGMA

46. Pelukan Terhangat Dari Mantan Kekasih



46. Pelukan Terhangat Dari Mantan Kekasih

0"Long time no see, Adam." Kalimat itu menghentikan detak jantungnya. Tubuh Adam tak kuasa untuk bergerak. Semuanya kaku dan membeku. Tatapan sang mantan kekasih mencuri segala fokusnya sekarang ini. Ia tak mampu memberi respon apapun dalam sepersekian detik berjalan. Davira tersenyum manis untuknya. Dari hati? Tidak, ia hanya ingin tersenyum saja untuk saat ini.     
0

"Bagaimana kabarmu?" Davira melanjutkan. Menatap laki-laki yang kini mulai mengerjap-ngerjapkan matanya untuk mencoba memastikan bahwa apa yang dilihatnya olehnya malam ini tak salah, Davira benar ada di depannya. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, namun juga tak bisa dikatakan dekat itu Gadis yang amat ia rindukan berada. Raffa benar, lukisan besar yang ada di sisinya sudah kuno. Rambut Davira tak lagi panjang dengan ujung sedikit ikal. Rambutnya pendek indah menggantung di atas pundaknya dengan ujung bergelombang yang selaras. Warnanya cokelat pekat. Sedikit merah kalau cahaya mengenai permukaan rambut itu. Parasnya tak sepolos dulu lagi. Sangat cantik dan memukau! Caranya memadu padankan make up dan warna eyeshadow benar-benar pas tak ada yang kurang. Cara berpakaian Davira pun sudah lain. Lebih sederhana, elegan, dan berkelas.     

"D--Davira!" Adam mulai memberi reaksi. Berusaha untuk bangkit dengan segera. Ia lupa bahwa kakinya belum sembuh sempurna. Tubuh jangkung dan kekarnya itu tersungkur di atas lantai kala mencoba untuk berdiri dari kursi rodanya dan meraih posisi Davira. Tak memberi reaksi banyak, gadis itu sedikit terkejut dengan membuka matanya lebar-lebar. Adam memberi respon yang berlebihan. Lebih dari dugaannya.     

Davira ingin menolong, namun sigap Adam meraih tongkat besi penyangga tubuhnya. Menggunakan itu untuk kembali bangkit dengan sekuat tenang. Tubuhnya memang terlihat kekar dan sehat, namun melihat betapa sulitnya Adam berusaha untuk kembali menyeimbangkan posisinya, Davira tak kuasa. Ia seperti orang tua yang sudah rapuh dalam menyangga tulang belulang di dalam dirinya. Waktu seakan memakan usianya sekarang ini. Menjadikan dirinya sebagai manusia tua yang lemah dan payah.     

"Davira!" Adam kembali menyela. Tergopoh-gopoh langkahnya mendekat pada gadis yang kini sejenak menundukkan pandangannya. Panggilan dengan suara itu amat sangat dirindukan olehnya. Perpisahannya dengan sang mantan kekasih lima tahun berselang, bukanlah perpisahan yang patut dibanggakan.     

"Kamu kembali?" ucap Adam terengah-engah. Mencoba untuk mengatur napasnya sekarang ini. Ingin ia menarik tubuh Davira dan memeluknya hangat, akan tetapi Adam paham bahwa ia tak pantas untuk melakukan itu. Semua terasa aneh dan asing. Bukan untuknya, namun untuk gadis yang ada di dalam hatinya itu.     

"Hm. Aku kembali," tuturnya melirih. Kembali menaikkan pandangan untuk menatap laki-laki yang sudah berdiri tepat di depannya. Jarak keduanya memang tak intens, namun cukup untuk membuat sebuah percakapan ringan di antara keduanya.     

Davira mengulurkan tangannya. Berniat untuk memberi buket bunga yang dibelinya sebelum ini. "Selamat atas ulang tahun galerinya. Aku senang mendengar kamu sukses," tukasnya tersenyum manis. Senyum itu, bukan dari Davira Faranisa. Adam mengetahui itu semua. Ada yang mengganjal di dalam hati gadis itu sekarang ini. Sebuah rasa yang sedang disembunyikan agar Adam tak bisa membaca dan menerkanya.     

"Davira ...." Adam kembali memanggil. Mengabaikan pemberian gadis yang masih kokoh mengulurkan tangannya itu.     

"Aku rindu sama kamu," imbuh laki-laki jangkung itu sembari mengambil satu langkah kecil untuk maju ke depan. Seiring dengan geraknya, Davira memundurkan langkahnya. Ia berusaha tetap untuk menjaga jarak yang pas antara dirinya dan Adam sekarang ini. Tak ingin terlalu intim, juga tak ingin terlalu jauh sebab ia malas untuk berteriak.     

"Davira ... please!" Adam memohon. Menatapnya dengan sayu penuh pengharapan. Gadis di depannya diam. Menghela napasnya untuk menghilangkan perasaan aneh yang sedang menyelimutinya sekarang. Bukan ini yang Davira harapkan, bukan ini yang diinginkan olehnya. Davira menemui Adam untuk terlihat kuat dan memberi motivasi padanya bahwa Davira sudah bahagia sekarang. Hidupnya nyaman tanpa dirinya. Semua berjalan lancar tanpa kehadirannya.     

Bukan Adam yang meninggalkan dirinya, namun Davira lah yang melakukannya. Adam yang terpuruk dengan keadaan itu, bukan dirinya! Itulah yang ingin ia beri tahu lewat kedatangannya malam ini. Namun semua terlihat begitu aneh dan terasa begitu payah! Ia bahkan tak kuas menatap paras tampan milik Adam Liandra Kin, bagaimana bisa ia berbicara banyak dengannya tanpa air mata nanti?     

"Terimalah bunganya. Aku membelikan ini untuk kedatangan aku." Davira memaksa. Perlahan tangannya bergerak untuk meraih pergelangan tangan Adam. Bukan, ia bukan ingin menggenggamnya. Davira meraih itu untuk memaksa Adam menerima buket bunga ini.     

Selanjutnya? Ia akan pergi! Selepas menyapa dan memberi tahu bahwa ia sudah kembali, Davira akan pulang ke rumah. Hatinya tak kuasa terus berada di sini. Semua yang ia persiapkan tak ada gunanya! Benar-benar tak ada gunanya. Semua runtuh dan hancur begitu saja. Tatapan dan nada bicara Adam memporak-porandakan semua pendirian Davira Faranisa untuk kesekian kalinya meskipun lima tahun berjalan begitu lama.     

Kini ia tegas meraih pergelangan tangan itu.membawa telapak tangan berukuran besar yang dulunya selalu menghangatkan jari jemarinya itu untuk menerima uluran pemberian darinya. Ia ingin Adam segera menyelesaikan ini dan membuat semuanya terasa lebih muda. Naas, Adam memberi reaksi yang lain. Melepas kasar genggaman jari jemari Davira dan memindah tangannya untuk meraih tubuh gadis itu. Dengan terlihat sedikit payah, Adam menarik kasar tubuh Davira dan memeluknya hangat. Sangat hangat dan erat! Ia merasakan detak jantung milik sang mantan kekasih. Tak tenang, ingin meronta keluar dari tubuhnya. Davira terdiam sejenak. Ia menahan napasnya untuk mencoba menyesuaikan diri dengan posisi barunya sekarang ini.     

Munafik! Sebab ia begitu menyukai ini. Rasa hangat yang amat dirindukan selama lima tahun terakhir kini kembali dirasakan oleh Davira Faranisa.     

"I miss you!" ucap Adam menyela keheningan. Semakin erat tangan kirinya mendekap tubuh gadis itu. Berusaha tetap kokoh meskipun kedua kakinya benar-benar sakit sekarang ini. Adam tak ingin melepaskan Davira, biarlah begini hingga pagi menjelang nanti.     

"Adam ...." Davira melirih. Berusaha untuk melepas pelukan itu. Akan tetapi semakin dirinya meronta, maka semakin kuat pula Adam mendekapnya.     

"Satu menit saja," tuturnya memohon.     

Davira memejamkan matanya rapat. Menghalau air mata yang baru saja ingin turun membasahi pipinya. Ia tak ingin ada air mata malam ini. Sebab ini bukan drama romansa yang mengusung tema pertemuan dua insan yang saling mencintai. Tidak, Davira tak ingin terhanyut dalam situasi. Ia tak ingin menangis.     

Isak terdengar. Sesekali ia menghirup napasnya kasar untuk mengatur perasaan kalutnya. Air mata itu bukan berasal dari Davira, melainkan dari Adam Liandra Kin. Laki-laki yang ada di dalam pelukannya, menangis dalam dekapannya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.