LUDUS & PRAGMA

36. Tamu Tak Diundang



36. Tamu Tak Diundang

0Gemercik suara air kini mulai memelan. Seiring dengan alunan lagu Ballad yang tak lagi menggema di ruangan, gadis itu mematikan keran air yang membasahi tubuhnya setengah jam yang lalu. Davira memutuskan untuk pulang ke rumah selepas bertemu dengan Kayla Jovanka. Menjemput sang adik adalah tugas sang mama sebab Alia akan menghadiri les petang ini. Tak ada yang bisa dilakukan olehnya lagi. Berdiam diri di rumah sembari melepas lelah hati dan raga adalah rencana Davira sekarang. Ia tak ingin banyak memikirkan hal buruk sekarang. Semua yang terjadi hari ini biarlah terjadi, tak ada yang perlu disesalkan olehnya lagi. Kematian Larisa sudah cukup menjadi tamparan dan pukulan terberat yang ia terima hari ini. Selebihnya Davira tak ingin menerima apapun lagi!     
0

Gadis itu kini meriah jubah mandi yang ada di sudut ruang kamar mandi. Memakainya dengan rapi dan mulai melangkah keluar dari kamar mandi. Langkahnya tegas meskipun sesekali terlihat sedikit malas. Ia berhenti tepat di depan cermin besar yang terpasang di pintu almari sudut ruang kamarnya. Ini bukan kamar pribadi Davira sebelumnya, sebab kamar yang dulu ia tinggali sudah berpindah tangan kepada sang adik tercinta, Alia.     

Memang, awalnya Alia memaksa akan pindah ke kamar tamu saja sebab sang pemilik kamar sesungguhnya sudah kembali. Akan tetapi, Davira melarangnya. Toh juga mau menempati kamar mana pun, baginya sama saja. Yang terpenting ia sudah kembali ke rumah paling nyaman yang ditinggalkannya selama lima tahun lamanya.     

Kini ia menghela napasnya kasar. Tetesan air yang turun dari ujung rambut pendeknya itu tegas mengenai pundaknya sekarang. Davira mengabaikan. Kembali ia berjalan ke depan almari dan membuka pintunya. Ia memilih, kiranya pakaian apa yang paling nyaman dikenakan olehnya malam ini. Tak peduli dengan gaya lagi, sebab ini adalah Indonesia.     

Bel berbunyi nyaring. Menyela aktivitasnya yang baru saja ingin mengambil satu kaos berlengan pendek dengan celana panjang kain yang akan membuatnya nyaman malam ini. Davira menoleh. Tepat mengarah pada ambang pintu kamarnya. Seseorang menunggu dirinya untuk segera membukakan pintu rumahnya. Tak peduli pakaian apa yang sedang dikenakan olehnya sekarang ini.     

Bel kedua nyaring nan panjang bunyinya. Memaksa Davira untuk benar-benar melangkah keluar sekarang ini. Kamar yang ditempati olehnya berada di lantai bawah, tak perlulah ia menuruni anak tangga untuk menjangkau pintu utama sekarang ini.     

Langkahnya kian tegas tak ada keraguan meskipun balutan jubah mandi belum ia ganti dengan pakaian sederhana namun lebih pantas di pandang ketimbang jubah mandi seperti ini.     

Davira memegang gagang pintu. Tegas jari jemarinya menekan itu dan menarik pintu besar yang ada di depannya. Perawakan tubuh jangkung terekam jelas oleh kedua netranya sekarang ini. Bukan Arka Aditya, namun Raffardhan Mahariputra Kin. Remaja jangkung itu datang membawa buah tangan yang tak bisa dikatakan sedikit.     

"K--kamu datang?" tanya Davira terbata-bata. Ia terkejut tentunya. Bukan sebab seseorang bertamu malam-malam begini, namun sebab siapa yang datang di saat yang tak tepat begini.     

"Kakak habis mandi?" tanya Raffa tersenyum kuda. Geli melihat Davira seperti ini. Penampilan rumah yang khas ini amat sangat ia rindukan. Davira yang ditemuinya kemarin adalah gadis modis dengan pakaian mahal dan berkelas. Make up menghias di atas paras cantiknya dengan menutup wajah naturalnya yang memang sudah cantik.     

"Kenapa datang gak bilang-bilang?" tanya Davira menelisik. Remaja jangkung yang ada di depannya tertawa ringan. Dari penampilan Davira malam ini saat menyambutnya datang ia pasti tak tahu kalau Raffa sudah membuat dua puluh panggilan suara untuknya.     

"Kakak bisa check ponsel kakak." Raffa menyahut. Kini mulai melangkah masuk tanpa meminta perijinan dari Davira. Tubuh jangkungnya kini sudah berada di dalam rumah. Tak ada yang berubah, meskipun ia tak sering datang kemari. Ia hanya datang sesekali saja. Kiranya ingin bermain di tempat sang kakak ipar tinggal adalah alasan Raffa kala itu. Sekarang? Selepas Davira pergi ia tak pernah lagi menyambangi rumah ini.     

"Ah, ponsel aku ...." Davira tersenyum kuda. Terus menatap Raffa yang kini duduk di atas sofa tengah ruangan. Mata remaja itu mulai berkeliling. Menyusuri setiap sudut bangunan yang kini menyembunyikan tubuhnya dari hawa dingin sang bayu.     

"Kakak sedang sendirian?" tanya Raffa mencoba menerka. Suasana rumah terlihat begitu sunyi. Tak ada Tante Diana yang menyapanya dengan lembut nan ramah. Juga tak ada dua gadis berwajah sama dengan rentang usia yang jauh berbeda untuk meramaikan suasana rumah. Semua sempurna untuk menarik kesimpulan bahwa Davira sedang sendiri sekarang.     

"Mama menjemput Alia bersama Ana." Davira mempersingkat. Kini ikut duduk sembari merapatkan kedua kakinya. Ia ingin lekas mengganti pakaiannya sekarang ini, namun meninggalkan tamunya di saat dirinya baru datang seperti ini adalah etika yang kurang sopan. Jadi Davira ingin sedikit mengulur waktu.     

"Aku membawakan buah untuk kakak. Makanlah." Raffa menyodorkan sekeranjang kecil buah-buahan segar yang baru saja dibelinya sore ini. Ia datang selepas berpamit pulang pada sang kakak. Meskipun ini termasuk sebuah dusta, namun mau bagaimana lagi? Bertemu dengan Davira kemarin tak benar bisa melegakan rasa rindunya. Raffa ingin melihat gadis itu sekali lagi.     

"Thanks."     

"Ngomong-ngomong, gimana kabar kakak? Pertemuan pertama kita seharusnya aku bertanya begitu." Raffa menyahut. Menghentikan aktivitas Davira yang baru saja ingin membuka bungkus keranjang buah di depannya.     

"Seperti yang kamu lihat," ucap Davira tersenyum manis.     

"Kakak bahagia di London?" tanya Raffa kembali menyahut. Kali ini tak ada senyum yang mengembang untuk pertanyaan itu. Davira menyurutkan wajah bahagia untuk Raffa. Pertanyaannya memang biasa dan tergolong wajar, namun semua itu terasa begitu tiba-tiba ditanyakan padanya.     

"Semua akan merasa aneh pertama kali tinggal di lingkungan yang asing. Beradaptasi itu tak mudah," tuturnya membeberkan. Davira sedikit berbasa-basi. Tak ingin pergi ke point-nya sebab ia ingin Raffa-lah yang menarik kesimpulannya.     

"Aku pergi tidak dalam keadaan baik. Datang ke negara asing dengan perasaan seperti lima tahun lalu tentu menjadi kesulitan tersendiri untukku," ucapnya menyeringai.     

Raffa kini mulai menganggukkan kepalanya. "Kakak punya pacar di sana?"     

Davira terkekeh. "Kamu masih menyukaiku seperti dulu?" tanyanya berkelit.     

"Tidak. Maksudku, sedikit. Seseorang sudah masih ke dalam hatiku sekarang."     

Kalimat itu sukses membuat Davira terperangah. Raffa benar-benar sudah dewasa. Ia tahu bahwa cintanya untuk Davira tak akan pernah terbalas, itu sebabnya ia memilih untuk pergi dengan perasaan yang baru.     

"Aku lebih nyaman hidup sendiri di sana, tapi aku punya satu teman baik. Joe namanya. Seorang penguasa muda." Davira mempersingkat. Tak ingin banyak menerangkan pada lawan bicaranya.     

"Boleh aku tanya sesuatu?"     

Davira mengangguk. "Tentu."     

"Kenapa kakak datang di depan galeri tadi sore?"     

Deg! Davira bungkam. Bukannya tak ingin menjawab pertanyaan itu, namun ia sendiripun tak bisa menjawabnya. Untuk apa ia datang ke sana?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.