LUDUS & PRAGMA

69. Hujan Pengiring Duka



69. Hujan Pengiring Duka

0"Lo maafin dia?" Arka memungkaskan kalimat. Tersenyum pahit untuk kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya beberapa detik yang lalu. Dinginnya hawa bayu seakan memberi penegas bahwa suasana yang tak tercipta sekarang ini pun tak hangat dan tak baik. Gadis yang menjabat sebagai sahabat baiknya sejak kecil benar-benar berubah. Davira yang dikenal oleh Arka bukan gadis yang akan memaafkan dan melupakan segala kenangan buruk yang diberikan oleh seseorang padanya. Katakan saja, gadis itu tipe orang yang pendendam. Melihat kebencian yang besar terhadap papanya, setidaknya sebelum ini Arka mengira Davira akan melakukan hal yang sama untuk Adam, sang kekasih. Akan tetapi dirinya salah besar!     
0

"Lo yakin dengan pilihan itu?" tanya Arka kala sahabat yang sudah berbaik hati mempersilakan dirinya masuk ke dalam rumah dan duduk di atas gazebo yang dibangun di sisi halaman rumah Davira dengan nada lirih. Menundukkan pandangan dan wajahnya untuk menatap objek yang ada di bawah sepatunya sekarang ini. Bukan ini mengabaikan sedih Davira, remaja itu memalingkan wajah enggan menatap sang sahabat sebab satu alasan yang pasti. Dirinya tak ingin Davira tahu bahwa Arka sedang kecewa sekarang ini.     

"Lo pasti kecewa sama gue." Davira menyahut. Lirih dan samar suara itu masuk ke telinganya. Membuat remaja yang tadinya diam sembari terus menggesekkan ujung sepatunya di atas rerumputan hijau yang hangat menyelimuti tanah basah di bawahnya.     

Tetesan hujan gerimis datang. Memaksa dua remaja itu harus memundurkan posisi duduk agar air langit tak membasahi tubuhnya. Arka memilih posisi nyaman dengan bersandar di dinding pembatas halaman dalam dengan lingkungan luar sembari menyilangkan kakinya rapi. Sedangkan Davira memilih untuk duduk sembari meluruskan kedua kaki jenjangnya nan ramping miliknya.     

Gadis itu menoleh pada Arka. Tak terbesit sedikit pun rasa kecewa ada di dalam ekspresi remaja itu. Hanya diam sembari sesekali tersenyum aneh. Entah memang benar Arka rak kecewa atau sahabat baiknya itu sedang menyembunyikan rasa kecewanya untuk melegakan hati Davira Faranisa. Yang ditahu olehnya selama ini, Arka adalah tipe remaja yang pandai memendam perasaan di dalam hatinya.     

"Lagi pula itu jalan hidup lo sendiri. Gue hanya bisa mendukung." Remaja itu akhirnya menyela. Sembari mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. Mengakhiri aktivitasnya dengan senyum kecut yang menyayat hati.     

"Semakin hari gue semakin terlihat payah dan lemah 'kan?" tanya Davira berbasa-basi. Menarik perhatian remaja yang kini menyentalkan fokusnya untuk menelisik perubahan wajah sang sahabat.     

Senyumnya kaku, terkesan aneh dan sangat dipaksakan. Sesekali ia menggigit bibir bawah yang gemetar sebab air mata memaksa untuk loncat keluar dan menjadikan adegan malam ini terasa menyedihkan.     

Ada satu kalimat yang kini menggebu di dalam diri Arka. Ingin rasanya ia mengatakan itu pada sang sahabat. Memberi tahu apa yang membuat ia lemah dan payah seperti sekarang ini.     

Ya, Adam Liandra Kin. Davira mengikat dirinya sendiri pada Kekasih yang jelas-jelas sudah mengkhianatinya dengan menjalin hubungan bersama teman dekat. Alih-alih memberi hukuman padanya dengan memutuskan hubungan, mendiamkan, dan meninggalkan pergi, Davira malah menyiksa dirinya sendiri dengan menghukum rasa yang dimiliki olehnya teruntuk sang kekasih.     

"Bagi gue lo sama aja. Sama seperti Davira yang gue kenal sebelumnya. Hanya saja ... lo sedikit ceroboh sekarang," ucap Arka dengan nada lembut. Sukses membuat Davira kini menoleh sembari mengerutkan dahinya samar. Sesaat ia mencoba untuk memahami sistem pemikiran sang sahabat. Bukankah dari dulu Davira adalah gadis yang ceroboh dalam bertindak? Lalu sekarang apa bedanya?     

Gadis itu kini tersenyum ramah. Menganggukkan kepalanya ringan tanda setuju dengan apa yang dikatakan sahabatnya. Davira tahu, yang dimaksudkan sebagai ceroboh di sini adalah menerima Adam kembali dan memaafkan segala kesalahan yang dilakukan oleh remaja brengsek itu.     

"Setiap orang pasti pernah berbuat salah bukan?" Davira menimpali. Tersenyum kecut untuk mengakhiri kalimatnya barusan. Hujan semakin deras. Suara petir kadangkala menyela di tengah derasnya hujan yang turun menghantam bumi malam ini. Hawa dingin tak lagi mampu diajak berkompromi.     

Davira melipat tangannya rapi di atas perut. Mencoba untuk menghalau hawa dingin yang ingin masuk merambah melalui celah kancing seragamnya. Sebenarnya, bisa saja ia mengajak Arka masuk dan bertamu dengan sopan. Akan tetapi, dalam keadaan hati yang seperti ini ia lebih menyukai hawa dingin dan derasnya tetes hujan yang turun dari wajah sang cakrawala.     

"Lo berantem sama Adam lagi karena ini?" tanya Davira mengubah topik pembicaraan mereka.     

Arka menganggukkan kepalanya. Mengerang ringan sedikit ragu sebab datangnya ke sini bukan untuk mengadu. Ia hanya ingin melihat wajah sang sahabat. Memastikan mana keputusan yang diambil oleh Davira setelah semua yang terjadi.     

Fakta menampar Arka kala harapan yang diidamkan ada dan jawaban yang ingin didengar olehnya tak sesuai dengan harapan remaja itu. Meskipun begitu, Arka bisa apa? Dirinya hanya mampu mengiyakan dan menyetujui segala keputusan sang sahabat.     

"Dia mengira gue yang membeberkan semuanya," paparnya menjawab.     

Davira diam sejenak. Menatap tetesan air hujan yang membentuk lubang kecil di depan gazebo. "Dan Lo gak melawan?"     

Remaja di sisi Davira menganggukkan kepalanya samar. Tersenyum aneh sembari menghela napasnya ringan.     

"Kenapa? Lo bahkan bisa menang tanpa diragukan lagi. Bukankah itu waktu yang tepat dengan dahlil Adam sudah berbuat jahat?" tanya gadis itu panjang lebar.     

Arka tertawa kecil. Perlahan pandanganya turun ke bawah. Menatap apapun yang bisa ditatap olehnya malam ini. Davira tak pernah mengerti cara berpikir seorang Arka Aditya. Yang ditahu oleh remaja cantik itu hanyalah dirinya yang berapi-api untuk memiliki Davira Faranisa.     

"Kalau gue menyakiti Adam, apa yang akan lo rasakan? Rasa sakit yang berlipat ganda bukan?" tanya Arka memberi penjelasan. Membuat gadis di depannya hanya mampu terdiam menatap dirinya dengan sayu. Arka ... sudah dewasa! Sedangkan dirinya masih manja dan terlihat lemah dan payah.     

"Tapi melihat keadaan lo sekarang ... itu juga menyakitkan buat gue." Davira menyela. Mengembuskan napasnya sebab rasa pedih mulai ia rasakan. Entah akan berakhir seperti apa malam ini. Akankah ia bisa menjemput pagi dengan bahagia dan lega?     

"Menurut lo Adam akan mengakhiri hubungan dengan Davina?" Gadis itu kembali berucap. Nada bicaranya kini terkesan berat dan dipaksakan.     

Arka terdiam sejenak. Menatap sang sahabat yang menunggu jawaban pasti keluar dari celah bibirnya. Jujur saja Arka membenci fakta bahwa Davira memaafkan jalang sialan itu. Fakta perselingkuhan di masa muda bukan hal sepele yang bisa diabaikan olehnya. Akan tetapi cinta membutakan sang sahabat. Menganggap bahwa semua keputusan yang diambil olehnya benar adanya. Tepat jalan dan tak pernah keliru.     

Arka membenci semua kedustaan ini. Ia ingin berteriak dan mengumpat pada sang sahabat bahwa dirinya sangat bodoh!     

"Jawaban mana yang pengen lo dengar sekarang?" tanya Arka berkelit. Sukses membuat gadis di depannya hanya tersenyum pahit. Benar, terlalu banyak dusta sekarang ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.