LUDUS & PRAGMA

73. Terombang-ambing



73. Terombang-ambing

0Satu persatu buku tebal di depannya ia hitung dengan teliti. Seakan tak ingin melakukan kesalahan sedikitpun, Davira hanya memusatkan tatapan dan konsentrasinya untuk segera menyelesaikan satu tugas yang diberikan oleh sang guru. Perpustakaan sekolah sudah menjadi tempat terbaik yang sering ia kunjungi beberapa minggu terakhir ini. Terkadang gadis itu hanya datang sekadar berkunjung untuk membaca dan merekatkan otak sejenak. Menyisih dari keramaian yang ada dan mengganggu untuk menenangkan jiwa dan raganya. Terkadang pula, ia datang sebab seseorang menyuruhnya. Guru mata pelajaran apapun. Davira bukan ketua kelas, namun ia wakil yang ditunjuk oleh si remaja gila sahabat dekatnya, Arka Aditya. Persetanan memang remaja itu selalu saja merepotkan dirinya.     
0

Ini adalah jam pembelajaran. Wajar saja kalau hanya ada dirinya di dalam perpustakaan. Davira mewakili Arka yang belum kembali dari ruang guru pembimbing, menjemput tumpukan buku tebal dan menghitung serta mencacat datanya untuk ia pinjam bersama teman-temannya. Dalam pembelaan sang guru, Arka akan datang dan menyusul nanti. Jadi Davira tak perlu khawatir tentang siapa yang akan membantunya untuk mengambil dan membawa tumpukan buku tebal itu masuk ke dalam kelas.     

Davira meletakkan kertas yang ada di dalam genggamannya. Bersama pena hitam, ia sudah selesai menuliskan apa-apa saja yang diperlukan penjaga perpustakaan untuk membuat laporan pinjaman buku hari ini. Kini saatnya untuk menunggu seseorang datang dan membantunya.     

Tatapan mata gadis itu mengudara. Tepat menitik pada celah pintu kayu berwarna senada dengan tembok yang ada di sampingnya. Sepersekian detik tak ada yang masuk. Tetap diam tak bergerak dengan menjaga jarak yang sama. Celah memberikan cahaya masuk ke dalam ruang perpustakaan. Samar menangkap seseorang yang sekarang berdiri di depannya. Tangan terulur. Menekan gagang pintu dan menariknya ke luar. Pintu dibuka lebar, bersamaan dengan tubuh seorang remaja yang kini terpotret jelas oleh lensa pekat milik Davira Faranisa.     

Malas! Itulah arti tatapan yang ada di dalam netranya. Bukan Arka yang datang menjemput untuk membantunya, melainkan Davina Fradella Putri. Langkah kakinya tegas. Mendekat untuk menghampiri posisi berdiri Davira. Sungguh, dari sekian banyak manusia yang ada dan menghuni kelasnya, mengapa harus Davina?     

"Gue disuruh datang dan bantuin lo." Ia mulai berucap kala jarak yang diciptakan tak terlalu jauh dari gadis itu.     

"Hm. Lo bisa ambil yg di sana." Davira menimpali dengan singkat. Menganggukkan kepalanya sembari menunjuk jauh di depannya. Satu tumpuk buku sudah menghias di sudut meja. Menunggu seseorang untuk mengangkat dan memindahkan posisinya.     

Davina kini mengangguk. Sigap memutar langkah untuk mengikuti interupsi dari teman dekatnya.     

"Lo bisa duluan. Gue masih nunggu novel pinjaman gue." Ia mengimbuhkan. Memberi arahan pada gadis yang baru saja mengurungkan niatnya. Davina akan pergi, kalau Davira juga pergi dari sini.     

"Kita pergi bersama."     

Davira kini menoleh. Tepat menatap ke arah gadis yang baru saja menarik kursi di sisi ruang perpustakaan. Menghadap ke arahnya sembari menyilangkan kakinya rapinya. Senyum mengembang di atas paras ayu milik Davina Fradella. Seakan memberi kesan bahwa semuanya sedang baik-baik saja. Jikalau semua belum terungkap, mungkin saja Davira akan berpikir demikian. Akan tetapi sayang amat sangat disayangkan. Apapun alasannya, ia tak bisa menaruh kata 'baik-baik saja' untuk hubungannya bersama Davina Fradella Putri, si gadis brengsek yang sudah merebut Adam dari genggamannya.     

"Soal pesta pertunangan ...."     

"Itu hanya rencana." Davira menyahut. Seakan tahu dan paham apa yang menjadi isi otak seorang Davina Fradella Putri.     

"Maksud gue, itu rencana lo sendiri atau Adam juga ikut turut serta?" Davina mulai bertanya. Sejenak diam kala gadis yang baru saja ingin memutar tubuhnya dan berusaha tak acuh kembali menghadap padanya. Ia menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Tak ingin digantung dengan perasaan aneh yang terus saja menganggu benaknya.     

Davira kini tersenyum miring. "Kenapa lo jadi peduli sama Adam dan gue?"     

"Karena gue adalah te—"     

"Teman baik kita?" Davira menyela. Kekehan kecil menghias sebagai penutup kalimat singkatnya kali ini.     

Gadis itu berjalan mendekat. Ikut duduk tepat di depan Davina. Jikalau saja tak ada meja besar yang menghiasi dan menjadi pembatas, mungkin saja mereka akan duduk dalam posisi intim saling hadap dan melempar tatapan satu sama lain.     

"Orang tua sekalipun punya batasan untuk tidak mencampuri urusan pribadi anaknya yang beranjak masa dewasa." Davira kembali membuat perumpamaan. Membuat perubahan ekspresi wajah remaja cantik setara usia dengannya itu.     

"Maksud gue, bukankah aneh kalau hanya beralasan seperti itu? Teman dekat? Arka saja tak peduli." Gadis itu mengimbuhkan. Nada bicaranya santai. Terkesan meremehkan dengan tawa kecil yang sesekali menyela.     

"Gue gak boleh tanya tentang hubungan kalian lagi?"     

Davira menaikkan satu sisi bahunya. "Tentu boleh asalkan masih dalam batas wajar."     

"Pertunangan di usia muda ... akan terlalu beresiko. Keluarga Adam setuju dengan ide lo sama Adam?" Davina kembali bertanya. Mengabaikan peringatan yang baru saja diucapkan oleh lawan bicaranya untuk tak melampaui batasannya.     

"Itu adalah urusan kita. Urusan kalian hanya perlu datang saat undangannya selesai dibuat." Ia tersenyum ringan. Tujuan Davira bukan benar untuk menginformasikan bahwa ia akan bertunangan dengan Adam dalam waktu dekat ini, mengingat kelulusan hanya tinggal beberapa bulan lagi. Akan tetapi, ia hanya ingin melihat bagaimana respon dari gadis sialan di depannya itu. Akankah Davina terpancing? Ataukah ia akan tetap seperti sebelumnya, diam dan menyembunyikan perasaan cemburu yang menggebu di balik senyum ramah nan manis miliknya.     

"Aku hanya ingin menyebarkan berita baik ke semua teman dekat. Tapi kalau tiba-tiba saja semua tidak jadi—"     

"Davina." Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai di atas punggungnya itu kini memanggil. Lagi-lagi menyela kalimat yang baru saja ingin diselesaikan oleh lawan bicaranya. Tatap mata diberikan Davira untuk si gadis bernama identik dengannya itu. Tanpa mau mengembangkan senyum, ia mendekatkan wajahnya. Seakan ingin berbisik sebab kalimat yang akan keluar dari celah bibirnya tergolong intim dan rahasia.     

"Mau gue kasih tahu dari rahasia besar?" lirihnya mulai berbisik. Kini yang diajak berbicara mulai menyipitkan matanya. Dahinya berkerut menunggu kalimat lanjutan yang akan mengungkapkan rahasia besar macam apa yang dimaksudkan oleh Davira Faranisa?     

"Malam itu ...." Suara lirih mulai masuk ke dalam lubang telinga sang gadis.     

"Di hari anniversary kita yang kedua." Davira menjeda kalimatnya dengan senyum ringan. Seakan ingin memberi kesan misterius di dalam kalimatnya teruntuk Davina.     

"Adam melakukannya," lirihnya berbisik.     

"Untuk pertama kalinya ... sentuhan itu terasa begitu hangat dan menggoda serta menggairahkan."     

Davina menoleh cepat. Menatap gadis yang masih kokoh dalam senyumannya.     

"Dia menciumku dan menyetuhku sebagai seorang laki-laki yang sedang ber-napsu."     

Deg! Sialan! Adam sialan!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.