LUDUS & PRAGMA

76. Mengakhiri Untuknya



76. Mengakhiri Untuknya

0Senja memungkaskan hari yang berat. Menyisakan segala lelah yang diharapkan akan menguap hilang selepas kaki berjalan sampai kembali ke dalam peraduan rumah nyaman tercinta. Gadis berambut panjang tergerai yang menepi di sisi kosong bangunan sekolah, menunggu seseorang datang untuk menghampirinya sesuai dengan janji yang telah disepakati secara sepihak. Sepihak? Ya! Hanya Davina yang mempersetujui janji yang dibuat olehnya sendiri. Adam menolak ini! Dalam pembelaan remaja jangkung itu, Adam tak ingin lingkungan sekolah menjadi tempatnya untuk bertemu dengan Davina. Rawan dan banyak mata yang memandang. Ia hanya tak ingin masalah keluar dan didengar oleh orang di luar lingkup pertemanannya. Sampai sekarang ini hanya Davina, Davira, Arka, dan Rena yang tahu permasalahan seperti apa yang terjadi.     
0

Davina menatap dari jauh langkah remaja yang terkesan terburu-buru untuk mendekat padanya. Sesaat selepas dirasa jarak cukup untuk menarik pergelangan tangan Adam, gadis itu melakukannya. Menarik tubuh remaja dan membuat mereka benar-benar menepi dari khalayak umum. Tak ada yang bisa menjangkau keduanya, begitulah pikir Davina sekarang ini. Hanya ada Adam dan dirinya saja.     

"Katakan apa yang ingin lo omongin," sahut Adam tak mau berbasa-basi. Gadis di depannya menyeringai. Samar tatapannya tajam seakan siap untuk memangsa Adam hidup-hidup.     

"Davira tahu tentang kita?"     

Remaja jangkung itu terdiam sejenak. Ditatapnya sepasang lensa indah yang tegas menunggu jawaban pasti darinya. Perlahan tatapan remaja itu turun. Tak lagi menatap paras cantik gadis yang masih menunggu jawaban darinya. Harapan tinggi ingin didapat oleh Davina sore ini, perihal semua masih terkendali dan baik-baik saja. Jujur, memang dirinya menginginkan sebuah hubungan yang sehat, bahagia, dan mampu diterima oleh semua orang. Akan tetapi untuk saat ini Davina dengan tegas mengatakan bahwa ia paham bahwa Adam tak bisa melakukannya.     

Davina mengalah akan semua fakta itu. Menyisihkan ego dan keinginan kuatnya untuk tetap bersama sang kekasih. Davina akan setia menunggu semuanya berbalik padanya. Adam berjanji bahwa suatu saat nanti, ia akan memilihnya ketimbang Davira. Meskipun selalu menahan sakit, namun ia bahagia bisa bersama orang yang dicintainya.     

"Dia gak tau," sahut Adam pada akhirnya. Berdusta! Adam mengatakan sebuah kedustaan padanya sekarang ini. Bukan sebab Adam yang ingin, namun sebab Davira yang meminta. Entah bagaimana sistem pemikiran gadis itu sebenarnya. Yang diminta oleh sang kekasih hanyalah Adam mengakhiri hubungan dengan Davina tanpa harus memberi tahu bahwa Davira sudah mengetahui segalanya. Davira ingin Davina tetap menjadi gadis bodoh yang tak tahu apapun.     

"Lalu kenapa dia bersikap aneh seakan ingin memancing gue?" Gadis itu memprotes. Matanya menajam. Sesekali membulat sempurna sebab jengkel sudah berada di atas puncaknya sekarang ini. Jikalau Davira bukan kekasih Adam, Davina pasti sudah menamparnya habis.     

"Aku juga gak tahu. Tapi aku akan—"     

"Putuskan dia." Davina memotong. Sukses membuat Adam terdiam sembari terus memberi tatapan padanya.     

"Putuskan Davira dan jalani hubungan sehat sama gue." Davina kembali melanjutkan kala Adam hanya memilih diam tak bersuara apapun.     

"Gak bisa?!" cecarnya lagi.     

Adam menunduk. Menghela napasnya ringan sembari sesekali mendongakkan kepalanya untuk menatap bentangan langit senja di atas sana. Tatapannya kembali pada gadis yang seakan sedang meminta pertanggungjawaban darinya.     

"Gue gak bisa." Ucapannya memang lirih, namun cukup tegas untuk terdengar masuk ke dalam lubang telinga milik Davina. Gadis itu tersenyum seringai. Dahinya mengernyit kala tak menyangka Adam akan melakukan itu setelah semua yang terjadi.     

"Lo beneran melakukan itu sama Davira rupanya," ucapnya menebak.     

Remaja jangkung di depannya mulai kembali tertarik. Kalimat pernyataan yang singkat itu sukses membuat tanda tanya besar yang ada di dalan otaknya sekarang, apa yang sebenarnya sudah terjadi di sini?     

"Lo 'bermain' dengan gadis itu?" tanyanya tersenyum evil. Matanya kini berbinar. Memerah sebab tak mampu menahan amarah yang mulai menggebu. Satu tahun menjalin hubungan asmara terselebung dengan seorang Adam Liandra Kin membuat Davina paham benar bagaimana itu Adam. Remaja itu akan langsung mengelak kala ia tak melakukannya. Menjelaskan panjang lebar tanpa diminta kala satu pertanyaan mempertanyakan kebenaran yang ada di dalam dirinya. Akan tetapi jikalau kabar yang didengar pasal Adam benar adanya, remaja itu akan terdiam. Menatap dengan tatapan sama seperti yang ia tujukan pada Davina sekarang ini.     

"Lo emang brengsek." Davina mengimbuhkan. Memukul kuat dada bidang milik remaja yang ada di depannya itu.     

"Gue minta maaf." Adam mulai menyela. Tak lagi mau menatap gadis yang kini menghela napasnya kasar. Menundukkan pandangan mata untuk tak lagi menatap Adam yang ada di depannya. Meskipun posisinya di sini tak benar berharga untuk Adam, namun tetap saja Davina adalah seorang gadis yang mencintai seorang remaja setara usia dengannya. Rasa sakit tentu dirasakan olehnya sekarang ini. Sesak di dadanya, hancur hatinya, dan sakit perasaannya. Selama berhubungan dengan Adam, ia bahkan tak pernah merasakan lembutnya bibir remaja itu. Ia cukup nyaman dengan pelukan, gandengan tangan, dan perlakuan hangat yang diberikan Adam teruntuk dirinya.     

Akan tetapi, hari ini rasa kecewa benar-benar ada dan menyelimuti di dalam dirinya. Perlahan air mata menetes. Membasahi pipinya turun terjun membentur kotornya tanah lembab yang ada di bawahnya sekarang ini. Tatapannya kembali pada Adam. Remaja jangkung yang masih menatapnya dengan kokoh. Raut wajah Adam berubah kala lensa itu menangkap butir bening membasahi pipi Davina. Ingin meraih tubuhnya, memeluk hangat dan menenangkan jiwanya yang sedang kalut, namun Adam tak bisa. Datangnya ia kemari bukan hanya untuk menjawab panggilan dari Davina Fradella Putri, namun juga untuk meninggalkan gadis itu sejenak.     

"Gue minta maaf." Adam mengulang.     

"Sekarang mau bagaimana?" tanyanya dalam sela tangis yang ada.     

"Kita menjauh sejenak. Gue pikir lo butuh waktu untuk menyendiri dulu," ucap Adam penuh kelembutan. Tak menatap gadis yang ada di depannya hanya mengangguk dan memutar langkah untuk meninggalkannya.     

"Adam!" Davina mencegah. Menarik pergelangan tangan gadis yang mulai benar menangis.     

"Gue gak bisa mengakhiri—"     

"Sorry," tutur remaja itu melepas genggaman tangan gadis cantik yang ada di sisinya. Kembali melangkah meninggalkan Davina yang masih mematung kokoh di tempatnya saat ini. Gadis itu menatap dengan pilu kepergian remaja yang mulai samar tertangkap oleh sepasang lensa miliknya.     

Hubungannya dan Adam berakhir begitu saja? Sekarang ini? Ah, sialan!     

Langkah remaja jangkung itu berbelok. Tak lagi berada di jalan yang sama seperti sebelumnya. Kembali masuk ke are sekolah melalui gerbang belakang sekolahan. Ia terhenti kala tubuh ramping seorang gadis menghadang tepat di depannya. Tatapannya teduh, senyum tipis perlahan mengembang kemudian lekas hilang memudar. Adam menundukkan pandangannya. Menatap ujung sepatu putih yang dibelikan oleh dirinya beberapa bulan lalu.     

"Davira ...," panggilnya melirih.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.