LUDUS & PRAGMA

77. Di Balik Kisah Baik



77. Di Balik Kisah Baik

0"Davira," panggil remaja itu lirih. Menatap gadis yang berdiri menghadang jalannya. Ya, semua penyusun adegan sore ini adalah kekasihnya, Davira Faranisa. Adam tak perlu menjelaskan apapun lagi sekarang ini, sebab dalam kepercayaan yang diyakini oleh remaja itu, pastilah Davira sudah mendengar dan melihat semuanya tadi.     
0

Gadis itu tersenyum. Merogoh masuk ke dalam kantong rok pendek yang dikenakan olehnya. Mengambil ponsel Adam yang dibawanya selepas pertemuannya dengan sang kekasih setengah jam yang lalu. Davira mengulurkan tangannya. Menyodorkan ponsel untuk kembali pada pemilik sahnya sekarang. Senyum tipis yang ditunjukan oleh sang kekasih kembali memudar. Seakan tak ingin menyambut kehadiran Adam dengan hati yang bahagia selepas janji ditepati oleh remaja jangkung itu.     

Adam menerima pemberian dari sang kekasih. Menganggukkan kepalanya kemudian sigap menyimpan ponsel miliknya masuk ke dalam saku celana panjang yang dikenakannya sekarang ini. Sejenak tatapan Davira menelisik. Memperhatikan secara fisik remaja jangkung yang ada di depannya, kemudian sigap memutar tubuh untuk pergi meninggalkan Adam di sana tanpa berucap sepatah katapun.     

"Davira!" Adam memanggil. Menarik pergelangan tangan sang kekasih agar membuatnya berhenti sekarang. Tak ada siapapun selain mereka di belakang sekolah sebab Adam yakin pun, bahwa halaman depan dan setiap ruang kelas mulai menyepi sebab jam pulang sudah berlalu beberapa menit yang lalu.     

"Kenapa pergi begitu aja. Gak ada yang mau kamu katakan?" tanya Adam dengan nada lembut. Ia tak tahu harus bertanya dan mengatakan kalimat apa sekarang ini untuk menahan sang kekasih agar tak pergi meninggalkannya begitu saja.     

Adam memang mencintai Davina, namun rasa sayang dan cintanya terhadap sang kekasih lebih besar sekarang ini. Melihatnya pergi begitu saja dengan tatapan sayu seperti itu benar-benar menggores dan menyayat hati remaja jangkung berparas tampan dengan fisik yang mendekati kata sempurna itu.     

"Jangan pergi sebelum mengatakan sesuatu." Adam melepas genggaman tangannya kala Davira benar menghentikan langkahnya sekarang. Perlahan tubuh ramping gadis itu berputar. Seakan ingin menatap namun tak kuasa, gadis itu menundukkan pandangannya. Menoleh ke arah samping untuk menatap genangan air kotor sisa hujan kemarin malam.     

"Kamu berharap aku mengucapkan kata terima kasih?" tanyanya berkelit. Tak menatap masih dengan arah pandangan yang sama.     

Adam ber-oh lirih. Sepasang alisnya menyentak bersamaan. Sejenak matanya membuat dengan kening yang samar terlipat. Dari sekian banyak kalimat yang bisa dikatakan oleh kekasihnya, Adam tak menyangka Davira akan mengatakan hal demikian.     

"Kamu marah lagi?" sahut remaja itu berjalan mendekat. Sedikit memiringkan kepala untuk mencoba mencuri pandang gadis cantik berwajah satu itu.     

Davira tersenyum. Perlahan namun pasti, tatapan mata indahnya menuju pada Adam. Ditatap dan ditelisik dengan benar setiap gerak lensa mata remaja yang amat dicintainya itu. Kemudian merentangkan tangan seakan memberi celah bagi sang kekasih untuk datang dan memeluknya.     

Adam ikut merekahkan senyum di atas paras tampannya. Kini melangkah tegas dan menarik tubuh gadis yang ada di depannya. Memeluknya erat sembari sesekali mengusap puncak kepala gadis yang ada di dalam dekapannya. "Kerja yang bagus, Kapten Kin."     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

---Flashback, 60 menit sebelum pelukan hangat terjadi antara Adam Liandra Kin dengan sang kekasih, Davira Faranisa.     

Riuh gemuruh tak lagi didengar oleh Davira Faranisa sesaat setelah memutuskan untuk masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Bukan tanpa alasan ia melakukannya, namun sebab sebuah amanat yang diberikan padanya oleh sang guru untuk mengembalikan pinjaman soal selepas diperbanyak dan dibagikan oleh seluruh temannya. Awalnya Arka berjanji untuk menemani, akan tetapi dusta adalah caranya bertahan hidup untuk memberi asupan pada kemalasan yang ada dan mengakar dari dalam dirinya.     

Hanya butuh waktu beberapa menit untuk menyelesaikan semua pekerjaannya di sini. Menuliskan ini itu, merapikan menjadi satu dan memberi salam perpisahan dengan sopan, Davira sudah melakukan semua itu. Kini saatnya ia kembali ke dalam kelas untuk mengambil tas dan pulang ke rumah. Melepaskan lelah, gundah, gulana, dan gelisah yang dirasa.     

"Selamat." Iya! Niat baik Davira adalah kembali ke rumah setelah mengambil tas di dalam kelas, namun setan selalu saja berada di tempat sepi dan damai seperti ini --itulah kiranya yang sedang ada di dalam pikiran Davira selepas Kayla mencegah langkah kakinya.     

"Selamat karena lo menemukan jawabannya." Ia melanjutkan. Tersenyum aneh sembari mengulurkan tangannya. Berusaha menjabat gadis yang masih kokoh dalam diamnya sekarang ini.     

"Gue capek dan gue mau pergi," sahut Davira dengan nada malas.     

"Setelah semua yang terjadi, bukankah kita bisa menjadi seorang teman baik sekarang?" Kayla kembali menyela. Memancing gadis yang baru saja ingin mencoba lolos dari jangkauannya.     

Davira memutar tubuhnya. Sigap menghadap pada gadis yang tak pernah berubah sedikitpun. "Kenapa gue harus jadi temen lo?"     

"Karena musuh lo sekarang adalah Davina. Apa gue salah?" tukas Kayla tersenyum seringai. Menghina? Atau memang benar ingin mengibarkan bendera pertemanan atau bahkan ingin membuat sebuah pertempuran baru dengannya, Davira masih belum mengerti mengapa Kayla ada di depannya sekarang ini.     

"Bukan urusan lo." Davira menghela napasnya. Kembali memutar tubuh untuk menjauh dari gadis yang lagi-lagi mengejar langkahnya.     

"Lorong sekolah, lima menit lagi."     

Davira kembali menghentikan langkahnya untuk kesekian kalinya. Melirik gadis yang kini datang padanya dengan senyum aneh yang mengiringi.     

"Temui Adam di sana," susulnya memberi peringatan.     

Davira kini perlahan mengembangkan senyumnya. Tertawa kecil sebab ia benar-benar harus menertawai gadis sialan ini sekali saja. Membuatnya mengerti betapa gilanya Kayla Jovanka itu.     

"Kenapa gue harus nurutin perintah lo?"     

"Karena Adam pasti akan ke sana."     

Davira menyipitkan matanya. Berjalan mendekat sembari memberi penekanan pada setiap tatapan yang diberikan teruntuk Kayla. "Berhenti mengganggu—"     

"Gue rasa lo belum menerapkan kalimat yang pernah lo dengar sebelumnya," tuturnya memotong. Menghentikan gerak bibir milik Davira Faranisa yang kini diam sembari mendengarkan. Menunggu apa kiranya kalimat yang akan disusulkan oleh Kayla untuk melengkapi ucapan rumpangnya itu.     

"Percaya memang boleh, tapi bukankah lebih baik memeriksa?"     

"Apa yang harus gue periksa?! Gue sudah—"     

"Pesan singkat di dalam ponsel Adam sore ini." Kayla kembali menyela. Tak mengijinkan Davira untuk menguasai percakapan di antara mereka berdua sekarang.     

Kayla kini menarik wajahnya. Mengembangkan senyum picik kemudian menepuk ringan pundak temanan setara usia dengannya itu. "Good luck!" pungkasnya menutup kalimat. Meninggalkan gadis yang sejenak mematung kemudian memutar langkah dan berlari ke luar dari perpustakaan sekolah.     

Menyusuri lorong demi lorong untuk menemukan keberadaan sang kekasih sore ini. Davira mengabaikan semua rasa lelah yang dirasakan olehnya. Hingga akhirnya, langkahnya mulai memelan. Perawakan tubuh jangkung tertangkap jelas oleh netranya sekarang. Benar! Pilihannya untuk cepat memeriksa sudah sangat tepat! Di depannya sekarang tubuh jangkung sang kekasih ditangkap jelas oleh netranya. Ponsel dalam genggaman Adam ... Davira harus mengambilnya sekarang.     

Kayla ... sudah membantunya!     

---Flashback Off---     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.