LUDUS & PRAGMA

87. Pengakuan Dari Si Pendiam



87. Pengakuan Dari Si Pendiam

0Raffa menyeringai. Sekali lagi, ia hanya ingin diam. Tak ingin banyak berucap untuk menanggapi gadis yang sedang naik darah sekarang ini. Raffa tahu, dengan ekspresi wajah seperti ini dan reaksi yang bisa dibilang amat sangat berlebihan seperti ini, sang kakak pasti sudah benar-benar memutuskan hubungan gelap mereka. Meninggalkan Davina sendiri tanpa ada kepastian seperti ini.     
0

"Apapun yang kotor harus segera dibersihkan." Remaja itu mengimbuhkan. Menutup kalimat dengan tawa kecil yang mengiringi.     

Tangannya perlahan mengayun. Ingin melepaskan satu tamparan mendarat tepat di atas pipi tirus remaja muda yang tak ada sopan santunnya sedikitpun itu. Raffa memang adik dari orang yang ia cintai, namun jikalau peringainya bak iblis seperti ini, Davina tak segan-segan untuk melayangkan tamparan padanya.     

Sekarang? Di sini? Ya! Bahkan ia bisa mengumpati ya dengan puas sebab kalimat Raffa benar-benar tak bisa ditoleransi lagi.     

Remaja itu melirik ayunan tangan Davina. Bisa saja ia menghindari sekarang ini. Menampik tamparan itu dengan menggenggam tangan Davina kuat. Melemparnya selepas ia puas dengan kalimat yang kini sudah terkumpul di dalam mulutnya. Akan tetapi, Raffa tak ingin melakukannya sekarang. Ia ingin menunggu dan memberi tahu dunia bagaimana seorang gadis bernama Davina Fradella yang dikenal sebagai orang murah senyum dan ramah ketika menanggapi masalah. Seperti ini! Seperti iblis yang tak tahu diri.     

"Lo mau nampar anak yang lebih muda dari lo?" Seseorang menyela. Sigap menghentikan gerak tangan gadis yang cepat mendongakkan wajahnya. Kini tatapan mata terarah padanya. Bisik terdengar namun tak tentu kalimat dan arah pembicaraannya.     

"Gue tanya, lo mau nampar Raffa?" Ia mengulang. Seakan sukses melempar umpan untuk ikan-ikan yang sedang lapar, semua perhatian tertuju pada mereka. Suaranya tegas, sengaja di perbesar volumenya untuk menarik perhatian khalayak umum sekarang ini.     

"Enggak 'kan?" kekehnya tertawa. Melepas cengkraman kuat yang menahan gerak tangan Davina.     

Gadis itu menghela napasnya. Melirik sejenak Raffa yang kini bangkit dari tempat duduknya. Berdiri di sisi Rena. Seakan ingin mengadu dan mencari perlindungan, remaja jangkung itu kini berdiri di belakang tubuh gadis bersurai pekat panjang lurus tergerai di atas punggungnya.     

Rena Rahmawati. Si penyelamat untuk Raffa siang ini.     

"Bukan urusan lo." Davina ikut bangkit. Memalingkan wajahnya sejenak. Menelisik setiap arti tatapan yang ditujukan pada mereka saat ini. Benar, jikalau ia melanjutkan pertengkaran ini maka dirinya yang akan merugi banyak tanpa mendapat keuntungan sedikitpun.     

"Jangan sok jadi pahlawan," susulnya dengan nada lirih. Ditatapnya satu persatu lawan bicaranya itu. Kemudian tak acuh dan memilih pergi dari sana. Davina kalah! Terlihat begitu payah kala menghadapi situasi yang tak bisa ia kontrol dengan baik seperti itu. Tak mendapat jawaban apapun, dirinya menyesali keputusan. Bukannya datang dan pulang membawa hasil, hatinya sekarang ini dilanda kecemasan. Jikalau yang dikatakan oleh Raffa benar adalah, maka bisa dipastikan bahwa Davina diabaikan selepas tak lagi dibutuhkan. Dari sekian banyak alasan untuk mengakhiri hubungan, mengapa harus bosan dan tak membutuhkan lagi?     

"Kamu gak papa 'kan?" tanyanya menyela. Rena meneliti. Mencoba mencari-cari apapun yang kiranya terlihat asing untuk sepasang lensanya.     

Raffa tersenyum ringan. "Hati Kak Davina terluka, bukan aku."     

"Hati Davina?" Gadis itu mengulang. Sejenak alisnya menyentak naik bersamaan. Ekspresi wajahnya membatu. Samar kedua mata bulatnya menajam seakan sedikit terkejut dengan jawaban Raffa baru saja.     

Jika diingat dengan benar, ia sangat jarang berbicara dengan Raffa. Hanya sering bertatap dalam diam sembari sesekali tersenyum untuk saling menyapa. Yang ditahu oleh Rena, Raffa adalah adik kandung Adam Liandra Kin. Tak lebih dan tak kurang.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Langkah tegas mereka ambil untuk menyusuri lorong sekolah. Lurus ke depan adalah tujuan Rena selepas menyambangi kantin untuk membeli air putih. Sedangkan belokan pertama yang mengarah naik ke lantai dua adalah tempat di mana kelas Raffa berada. Singkatnya, perempatan lorong pertama adalah titik akhir mereka bisa bertemu dan berbicara ringan seperti ini.     

"Kita jarang ngobrol 'kan?" Rena menyela langkah. Mencoba menghilangkan suasana canggung yang menyelimuti.     

Remaja yang ada di sisinya kini menganggukkan kepalanya ringan. Mengerang tanda untuk menyetujui kalimat yang baru saja terlontar keluar dari celah bibir gadis setara tinggi dengannya itu.     

"Kakak teman dekatnya Kak Davira dan Kak Adam?" tanya Raffa lembut. Rena mengangguk. Tersenyum manis untuk memberi respon.     

"Artinya kakak pasti tahu tentang perselingkuhan Kak—"     

"Kamu juga tahu?" Rena mengambil alih pembicaraan. Menyela dan menitikkan pandangan pada raut wajah polos milik remaja tampan berwajah identik dengan Adam Liandra Kin.     

"Aku tahu sejak mereka dekat satu tahun yang lalu." Raffa membuat pengakuan. Sukses membuat Rena hanya mampu ber-wah ringan sembari mengembuskan napasnya kasar.     

"Kenapa gak bilang sama Davira dari dulu? Mungkin jika kamu bilang bahwa Adam dekat dengan Davina, semua perselingkuhan itu gak akan terjadi." Rena mencoba menggurui. Seakan tahu benar dan paham betul bagaimana alur yang digariskan oleh semesta.     

"Aku tak ingin melakukan itu." Raffa menjawab. Lirih nada bicaranya hingga terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga Rena Rahmawati.     

"K--kenapa? Karena kamu takut akan menghancurkan hubungan kakak kamu?" tanyanya hati-hati. Takut kalau menyakiti atau menyinggung perasaan remaja yang sebenarnya terasa asing untuk Rena. Namun ia mencoba tetap menguasai keadaan. Sebisa mungkin ia ingin akrab dengan Raffa.     

"Aku gak peduli sama Kak Adam setelah tahu itu. Aku hanya peduli dengan Kak Davira."     

"Wah, kamu anak baik yang—"     

"Karena aku menyukainya."     

Shit! Kalimat itu menghentikan langkah Rena. Membuat gadis itu diam seribu bahasa. Ia menatap Raffa. Wajah polos tanpa ada rasa bersalah dan keraguan sebab rasa bodoh ada di dalam hatinya. Singkatnya begini, Raffa mencintai kekasih kakak kandungan sendiri.     

"Aku menyukai Kak Davira sebagai seorang laki-laki kepada wanitanya." Ia menegaskan.     

"S--sejak kapan kamu mempunyai perasaan itu?" Rena menelisik. Menatap masuk ke dalam lensa remaja yang kembali melanjutkan langkahnya selepas terhenti untuk mengimbangi dirinya.     

Rena mengekori. "Adam tahu soal ini?"     

"Tentu tidak. Tapi aku akan memberi tahunya nanti," ucap Raffa melirih.     

"Kamu tahu itu salah dan tetap akan mempertahankannya? Bagaimana kalau Adam kecewa dan merusak hubungan baik kalian?" Gadis itu mencoba mengorek masuk ke dalam. Ia sudah terlanjur mendengar pernyataan mengejutkan dari Raffardhan Mahariputra Kin. Perihal perasaan terlarangnya pada Davira.     

"Mencintai seseorang bukan sebuah kesalahan. Hanya pasal waktu saja. Terkadang perasan baik belum tentu datang di waktu yang baik pula," tuturnya bijak.     

Rena kini tersenyum manis. Menganggukkan kepalanya ringan sembari sesekali melirik ke arah remaja yang ada di sisinya. Wajahnya memang sama dengan Adam, namun sifatnya sangat berbeda. Ia bagaikan angin yang berembus di laut lepas. Perlahan tak terlihat, namun cukup berpengaruh dan menenangkan.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.