LUDUS & PRAGMA

88. Malam Yang Patah



88. Malam Yang Patah

0Sore menutup siang. Semua lelah diharapkan mampu pergi seiring dengan lengsernya kedudukan sang Surya. Di bawah remang cahaya lampu kamarnya remaja itu perlahan menarikan pensil yang ada di dalam genggamannya. Melukis apapun yang sedang terekam jelas di dalam ingatnya. Goresan itu sangat indah membentuk lukis wajah seorang gadis. Matanya bulat dengan dua duduk alis melengkung bulan sabit yang indah menghiasi. Hidungnya kecil nan mancung dengan lengkung bibir mungil yang indah. Lukis karya yang diciptakan oleh Adam benar-benar mirip dengan aslinya. Bagaimana bentuk mata, hidung, bibir, dan wajah sang kekasih, ia hapal secara detail.     
0

Adam ingin bersantai, melepas lelah tanpa memikirkan apapun sekarang ini. Dua bulan lagi kiranya ia akan purna dalam bertugas. Menjadi orang biasa yang hanya disibukkan dengan apapun yang berhubungan dengan ujian dan kelulusan. Tak ada Davira, juga tak ada basket yang mengganggunya malam ini, seakan semesta paham benar bahwa Adam sejenak ingin meminta jeda atas segala kesibukan yang dilakukannya selama ini.     

Tok ... tok ... tok ....     

Suara pintu nyaring diketuk. Menyita perhatian Adam yang kini menoleh sembari memincingkan matanya tegas. Seseorang kini mendorong pintu kala tak ada jawaban darinya. Sejenak diam untuk menyapu seluruh bagian ruangan dengan sepasang lensa indah identik dengan milik sang kakak. Raffardhan Mahariputra Kin. Remaja tampan dengan wajah sama namun tingkah dan perilaku yang amat sangat berbeda dari seorang Adam Liandra Kin.     

"Aku boleh masuk?" tanya Raffa dengan suara lirihnya. Adam menganggukkan kepalanya. Menyambut datangnya si adik semata wayang yang kini berjalan mendekat padanya.     

Ada satu nampan dengan secangkir kopi susu ia bawakan untuk menemani malam Adam kali ini.     

"Kopinya buat aku?" Remaja itu berbasa-basi. Menunjuknm secangkir kopi dengan kepulan asap yang mengudara.     

Raffa mengangguk kepalanya. "Mama yang bikin. Karena aku bilang akan datang ke sini, jadi mama menitipkan itu."     

Adam mengerti. Kembali tersenyum kemudian menutup Sketchbook yang ada di depannya dan mulai menfokuskan tatapan pada sang adik. Ia hapal benar bagaimana itu Raffardhan Mahariputra Kin, remaja itu tak akan datang kemari kalau tak ada mau dan keperluan yang mendesak. Dulunya mereka memang dekat, meskipun tak sedekat seorang suadara yang saling mencintai. Adam ingin melindungi adiknya, menjadi pengganti seorang ayah sebab sang papa masih saja sama dalam dua tahun terakhir. Memang, sesekali bahkan dua kali dalam seminggu pria tua itu sering mengambil cuti untuk bersama keluarganya. Akan tetapi tetap saja, seakan sedang membangun waktu dengan keluarga sah dan seseorang yang sedang ia sembunyikan, laki-laki itu bersikap aneh padanya.     

Adam sudah dewasa kini, jadi bukan hal yang tabu lagi jikalau menyingung pasal perselingkuhan yang mungkin dilakukan oleh sang ayah, toh juga ia melakukannya bukan? Bersama Davina.     

"Ada beberapa hal yang pengen Raffa omongin." Remaja itu mulai mengambil posisi. Duduk di sisi ranjang sang kakak selepas meletakkan nampan berisi segelas kopi untuk Adam.     

Tatapannya tak tentu arah dan tujuan. Bola matanya terus bergerak menyapu setiap bagian dinding yang ada di depannya. Ia mendesah sesekali. Menciptakan celah kecil yang membuat Adam kini tertarik padanya. Raffa bukan remaja yang mudah resah seperti ini. Pembawaannya sangat tenang, bahkan gerak gerik yang ia ciptakan selama ini hampir tak terdeteksi sama sekali.     

Adam tersenyum aneh. Menelisik arti tatapan dan ekspresi wajah remaja yang duduk sedikit jauh posisi dari dirinya.     

"Apa itu?" tanya Adam kala sang adik masih fokus dalam diamnya.     

"Soal hubungan kakak dan—"     

"Kamu tahu bukan?" Adam menyahut. Tegas tatapan ia tujukan pada Raffa. Seakan Adam lah yang seharusnya berbicara banyak sekarang. Adiknya memang pendiam, namun dalam diamnya itu sangat mengerikan.     

Raffa kini menaikkan pandangan matanya. Menatap sang kakak semata wayang yang masih dalam radar wajar. Wajah tak tegang juga tatapannya tak tajam bak seseorang yang sedang menyimpan banyak kebencian. Adam seakan banyak memberi toleransi padanya sekarang ini.     

"Kenapa gak kamu gak memberi tahu Davira selama ini?" Adam mengimbuhkan. Memutar tubuh jangkung miliknya sembari terus tersenyum aneh pada Arka. Remaja itu memainkan ujung jari jemarinya. Saling bertarung dalam sebuah gerakan kecil untuk mengusir rasa aneh yang ada di dalam hatinya saat ini. Raffa yang menjadi lawan bicaranya, masih kokoh dalam situasi tenang. Tak ingin banyak berlebihan dalam memberi respon dari situasi yang sedang terjadi sekarang ini.     

Raffa tersenyum manis. Menggelengkan kepalanya sembari mengerang ringan. Tak ada alasan yang ingin ia lontarkan sekarang ini. Hanya mampu diam sebab jujur saja, ia sedikit terkejut. Sang kakak juga mengawasi dirinya seperti ia memberi pengawasan pada Adam Liandra Kin.     

"Karena kamu gak mau hubungan kita hancur?" tanya Adam menimpali. Nada bicaranya lirih dan bersahabat. Sekarang ia sedikit memiringkan kepalanya, mencoba untuk bisa benar menatap Raffa yang masih kokoh menundukkan pandangannya. Dalam tebakan Adam, Raffa tak sedang bersalah sekarang ini. Memergoki kebusukan sang kakak bukanlah sebuah kesalahan dan dosa, jadi ia tak perlu diam dalam rasa bersalah seperti ini.     

"Aku berharap kamu menjawab iya untuk kalimat barusan," timpalnya menyusul.     

Adam kini bangkit dari posisi duduknya. Berjalan ringan sembari terus menatap sang adik yang masih kokoh dalam diamnya. Adam menarik cangkir berisi kopi yang rata dengan mulut cangkir. Mulai menyeruputnya dengan perlahan. Ia ber-ah ringan. Memberi sensasi pada tenggorokan yang kini teras hangat dan basah. Adam kembali menatap sang adik. Ditatapnya remaja satu tahun lebih muda yang kini mulai berani menatap dirinya. Paras Raffa ... Adam mengenal baik sang adik. Ia sedang menyembunyikan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya.     

"Karena kamu menyukai Davira?" Remaja itu bertanya lirih. Ragu nada bicaranya terdengar. Sukses menarik perubahan ekspresi yang ada di atas paras tampan milik Raffa.     

"Aku salah 'kan?" Adam melanjutkan.     

Baiklah, ini adalah tujuan awal Raffa datang kemari. Mengakhiri semua teka teki yang selama ini ia pendam sendirian.     

Raffa menganggukkan kepalanya ringan. "Kakak benar."     

Adam menghentikan aktivitasnya. Menjauhkan mulut cangkir kopi yang ada di dalam genggamannya untuk menjauh dari celah bibir merah muda tipis sedikit pucat miliknya. Remaja itu kini meletakkan cangkir itu. Memutar tubuhnya untuk pergi menjauh dari sisi meja tempatnya berdiri. Adam tak ingin berjalan mendekat untuk menghampiri Arka, ia memilih kembali duduk di tempat sebelumnya. Posisinya memang jauh dari sang adik, namun ia paham benar bahwa mendekat dan berbicara intim pun tak akan membuat hatinya lega. Adam mencurigai Raffa selama beberapa akhir bulan terakhir ini. Pertemuan Davira dengan Raffa malam itu, Adam mengetahui semuanya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.