LUDUS & PRAGMA

90. Sesak



90. Sesak

0Davira kini memalingkan wajahnya. Tak ingin menatap sang mama yang kini memberi sorot teduh penuh pengharapan agar Davira mau kembali berbaik hati dan melonggarkan waktunya untuk sang papa.     
0

"Davira sudah menjenguknya waktu itu. Mama bilang itu pertama dan terakhir, jadi jangan mengingkari janji. Davira membencinya," protesnya sembari menggerutu. Aneh! Sebab sang mama hanya diam. Tak menanggapi dengan kalimat cerewet untuk kembali memaksanya seperti kala itu.     

Tatapan Davira kini kembali tertarik. Ditatapnya sang mama yang kini melukiskan wajah sedih. Davira tak bisa menebak keadaannya sekarang ini. Entah marah sebab ia kembali menolak, atau sedang merasa sedih sebab sesuatu sedang terjadi di luar kendalinya.     

"Mama marah?"     

Diana tersenyum ringan. Menggelengkan kepalanya kemudian mengusap puncak kepala sang putri. Ia menghela napasnya ringan. Menghirup kembali napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.     

"Kita akan menghantarkan Tante Mira ke peristirahatan terakhir," papar Diana masih dalam aktivitas yang sama. Mengusap puncak kepala sang putri dalam diam. Davira menyentakkan kedua alisnya kompak. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang mama, namun ini adalah faktanya.     

"Mama baru saja mendapatkan telepon dari papa kamu, katanya Tante Mira sudah tidak ada dua jam yang lalu."     

Davira diam. Entah mengapa hatinya terasa begitu aneh. Sesak ia rasakan. Pedih di dalam jiwa menyelimuti dirinya sekarang ini. Jantung Davira seakan berhenti berdetak. Lidahnya kelu dan bibirnya kaku. Tak mampu berucap sepatah katapun untuk mengimbangi kalimat dari sang mama. Bukankah seharusnya ia bahagia? Orang yang paling ia benci sudah ditamatkan takdirnya oleh sang pencipta. Kini hanya tinggal nama bersama kenangan buruk yang melekat di dalam pikirannya.     

Davira tak mengerti mengapa rasa yang dirasakan olehnya justru berbanding terbaik seperti ini?     

"Kamu mau 'kan?" Diana mengulang. Menatap sang putri dalam-dalam. Ia berharap Davira mau sedikit menyisihkan egonya untuk datang dan melebur dendam.     

Gadis itu diam. Sejenak mengembuskan napasnya untuk melepaskan ketegangan yang ada di dalam dirinya.     

"Mama sudah siapkan baju untuk kamu, datanglah sebagai orang dewasa, Davira. Kamu sendiri 'kan yang bilang kalau kamu sudah dewasa?" Mamanya melanjutkan. Tersenyum manis untuk meyakinkan gadis yang ada di depannya.     

"Ini akan menjadi kunjungan terakhir kamu menemui keluarga mereka. Setelahnya, mama gak akan pernah untuk meminta kamu lagi—"     

"Bagaimana dengan Alia dan adiknya?" Davira memotong kalimat. Menyela suara sang mama yang duduk rapi di depannya sekarang ini. Gadis itu menatap dengan penuh pengharapan. Seakan ingin mamanya berkata jujur sejujur-jujurnya sekarang ini.     

"Tentunya kalau papa kamu berada di rumah, dia akan diasuh oleh papa kamu. Tapi kalau papa kamu pergi berbisnis, mereka akan dititipkan pada saudara Mira." Diana mempersingkat.     

"Katanya mereka orang jahat," sahut Davira penuh ketegasan. Diana menoleh. Menatap sepasang lensa yang indah mengarah padanya. Davira tahu sesuatu, begitulah arti tatapan Diana untuk sang putri sekarang ini. Entah apa yang diketahui oleh sang anak gadis yang sudah beranjak dewasa dan sejauh mana ia mengetahuinya, Diana tak ingin mengorek itu lebih dalam sekarang ini. Sebab yang paling penting untuknya adalah membujuk sang putri untuk datang menghadiri pemakaman besok pagi.     

"Kamu mulai peduli?" tanya Diana kembali melemparkan pertanyaan untuk sang putri alih-alih menjawabnya.     

Davira diam. Bungkam sejenak kemudian memalingkan wajahnya. "A--aku hanya ingin bertanya."     

"Mama senang kalau kamu mulai peduli, Davira. Mereka juga keluar—"     

"Davira pengen tidur mama. Bisa tutup pintunya dan matikan lampu kalau keluar?" Gadis itu mengubah arah pembicaraan. Tak ingin terlalu masuk ke dalam topik yang dibencinya. Ia bersalah, sebab berusaha untuk peduli sekarang ini. Toh juga, Davira tak ada hubungannya dengan dua putri kandung wanita sialan itu.     

Seakan paham dengan maksud sang putri, Diana hanya tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya mengerti dan mengusap puncak kepala sang anak gadis. "Tidurlah. Semoga mimpi indah, sayang," pungkasnya menutup kalimat. Bangkit dari tempat duduknya dan memutar langkah. Sejenak ia menatap sang putri kemudian benar-benar memutuskan untuk pergi dan keluar dari kamar Davira. Jika tak bisa meluluhkan hatinya, setidaknya Diana sudah berhasil membujuk putrinya itu.     

Davira kembali menghela napasnya kala suara pintu rapat tertutup kembali terdengar oleh sepasang telinganya. Gadis itu menatap keluar jendela kamar yang masih terbuka separuhnya. Sekali lagi, Davira tak tahu mengapa hatinya begitu hancur sekarang ini. Ia yakin bahwa itu semua bukan sebab Adam sang kekasih, namun sebab kabar kematian yang didengar olehnya beberapa waktu yang lalu.     

Perlahan tubuhnya kembali ambruk, menatap langit-langit yang kembali terlihat samar sebab sang mama baru saja mematikan lampu utama ruang kamarnya. Davira tak tahu, pikirannya menjadi kacau seperti ini. Rasa ingin memaksa untuk kedua matanya kembali terpejam rapat kini ada dan menguasai dalam dirinya. Ia ingin menghilangkan perasaan aneh yang menyelimuti. Membuat dirinya kacau balau seakan seseorang sedang mencoba untuk menghantamnya dengan benda tumpul.     

Ponsel berdering. Membuyarkan fokus gadis yang kini sigap menarik benda pipih berbentuk persegi panjang yang diletakkannya di atas meja sisi ranjang. Matanya mulai menelisik. Menyusuri kata yang terpampang jelas di dalam layar ponselnya sekarang ini. Arka Aditya, si sahabat dekat yang membuat panggilan suara untuknya malam ini. Jari jemari Davira kini menggeser tombol hijau, tanpa ragu memulai untuk membuka suara kala memutuskan menerima panggilan dari sang sahabat.     

Suara lirih nan berat khas milik Arka Aditya masuk ke dalam telinganya. Sejenak berbasa-basi untuk mencarikan suasana sebelum masuk ke pembicaraan inti.     

"Ada yang mau gue omongin," ucapnya dari seberang ponsel. Davira menganggukkan. Mengerang ringan sebab keseriusan dimulai dan basa-basi sudah selesai adanya.     

"Gue mendengar kabar buruk itu." Arka memulai. Singkat namun jelas membuat Davira kembali dibungkam paksa. Ada yang aneh di dalam hatinya, kembali lagi jantungnya terasa ditusuk-tusuk dengan benda tajam. Kematian Mira menyisakan banyak perasaan aneh di dalam dirinya sekarang ini.     

"Haruskah gue mengucapkan turut berduka cita sama lo?" tanya Arka melirih. Suara yang ada di seberang ponsel seakan hilang selepas remaja itu menyelesaikan pertanyaannya.     

"Simpan itu untuk Alia dan adiknya. Dia pasti membutuhkan ucapan dari orang yang tulus ingin mengatakan itu."     

"Bagaimana perasaan lo sekarang?" Arka menyahut. Tak peduli seberapa kuatkan Davira menyembunyikannya, namun dari nada bicara sang sahabat ia paham benar, bahwa sesuatu sedang melanda Davira malam ini.     

Gadis itu tersenyum. "Seperti biasa."     

"Jangan berbohong. Dia adalah mama tiri lo," tuturnya.     

Kalimat Arka tak hanya berhenti di sana, kembali helaan napas jelas masuk ke telinga Davira. Membuat gadis itu mengerti bahwa Arka ingin melanjutkan kalimatnya sekarang ini.     

"Meskipun seorang anak tiri, pasti ada rasa aneh yang lo rasakan ketika mendengar ibu tiri lo meninggal dunia 'kan?" tangannya menggurui.     

Davira diam. Tak mampu berucap apapun. Sebab yang dikatakan Arka, benar adanya. Sebenci-bencinya Davira pada Mira, wanita itu adalah ibu tiri yang meninggalkan dua putri cantik yang terlahir dari papa yang sama dengannya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.