LUDUS & PRAGMA

89. Garam Di Atas Luka



89. Garam Di Atas Luka

0"Jelaskan." Adam memberi kelonggaran. Tak ingin menatap sang adik yang kini diam seribu bahasa. Tak marah? Dusta jikalau ia mengatakan bahwa dirinya tak terbawa suasana sekarang ini. Adam memendam amarah yang menggebu-gebu. Dalam tebakannya ia berharap bahwa semua teka-teki itu tak pernah benar adanya. Awalnya remaja itu yakin benar bahwa Raffa menyayangi Davira hanya sebatas seorang adik pada kakaknya, layak seperti rasa yang seharusnya diberikan Raffa mengingat Davira adalah calon kakak iparnya jikalau semesta mengijinkan dirinya benar hidup bahagia bersama Davira. Akan tetapi, seperti layaknya sedang dikhianati oleh orang terdekatnya, Raffa menyukai Davira Faranisa sebagai seorang gadis. Menganggap bahwa kecantikan yang ada di dalam dirinya adalah sebuah anugerah yang patut dinikmati.     
0

Raffa kini kembali menghela napasnya. Menatap Adam yang menunggu dirinya untuk segera memberi penjelasan saat ini. Raffa tahu apapun alasannya, Adam sang kakak, akan tetap merasa kecewa padanya.     

"Tak ada yang ingin Raffa jelaskan, Kak." Remaja itu mulai berucap. Lirih namun tegas kalimat dan nada bicaranya.     

Adam menganggukkan kepalanya mengerti. Sejenak tersenyum kecut kala mendengar jawaban tak memuaskan dari sang adik.     

"Sejak kapan? Sejak kapan kamu tertarik dengan Davira?"     

"Dua tahun lalu saat kami pertama kali bertemu."     

Percakapan terhenti. Membiarkan hening sejenak membentang di antara keduanya saat ini. Raffa menatap ujung jari jemari kakinya, sedangkan Adam memalingkan wajahnya keluar jendela kamar. Cahaya rembulan seakan indah ingin menghibur hatinya malam ini. Ia kalut, gusar tentu ada menyelimuti di dalam hatinya. Pasal Davira, baiklah untuk sekarang ini ia masih menjadi miliknya. Namun bagaimana dengan esok pagi? Bagaimana dengan lusa? Tidak ada yang tahu bukan?     

"Kenapa kamu menemuinya waktu itu?"     

Raffa menoleh. Dahinya berkerut dengan kedua alis yang hampir saja terpaut satu sama lain. Sipit mata ia berikan untuk merespon pertanyaan sang kakak. Entah hanya terdiri dari kata-kata singkat itu atau memang Adam memutusnya secara tiba-tiba.     

"Pasar malam, aku lupa kapan tepatnya—"     

"Aku mencoba memberi tahu Kak Davira tentang perselingkuhan kakak." Jujur adalah caranya untuk menjawab. Toh juga tak ada gunanya berbohong bukan? Adam sudah terlanjur membicarakan ini.     

"Kakak tau seberapa kokohnya Kak Davira menolak itu? Meskipun matanya menyiratkan sebuah keraguan dan ketahuan, namun seakan hati memberi banyak kekuatan padanya, Kak Davira tetap mencoba kokoh dalam kepercayaannya." Raffa mulai menjelaskan. Kini tegas ia menatap sang kakak. Adam diam, seakan kalimat yang dilontarkan untuknya adalah sebuah penghakiman atas apa yang sudah dilakukan terhadap sang kekasih.     

"Jadi kenapa kakak harus melakukan itu? Menyelingkuhi Kak Davira yang terus berusaha percaya dengan kakak?" tangannya mengimbuhkan.     

Remaja itu menghela napasnya ringan. Tak ingin banyak berkomentar sekarang ini. Ia mulai bangkit berjalan mendekat pada sang adik yang menyiratkan raut wajah kekesalan dalam dirinya.     

"Aku akan mengambilnya kalau kakak gak cinta sama Kak Davira lagi," ucap Raffa menutup kalimatnya. Tatapannya naik, mengikuti postur tubuh jangkung yang berdiri di depannya dengan jarak normal.     

"Aku punya alasan dan aku tahu menjelaskan bagaimana pun alasannya, aku tetap salah." Adam mencoba memberi pengertian. Duduk di sisi remaja berwajah identik dengannya itu kemudian menepuk-nepuk pundaknya ringan.     

"Aku sudah memutuskan hubungan dengan Dav—"     

"Aku tahu, tapi aku tidak tersentuh karena itu." Raffa memotong. Menatap Adam yang kini menarik tangannya. Menghentikan aktivitas untuk menepuk-nepuk pundak si adik kandung. Tatapan Raffa kini aneh, seakan kebencian mulai muncul menghias di atas paras tampannya.     

"Kakak tahu kenapa aku membenci papa?" Ia berkelit. Menggeser posisi duduk agar menciptakan jarak jauh dari sang kakak.     

"Karena dia berselingkuh dari mama, wanita yang aku cintai dengan sepenuh hati."     

"Jadi jangan salahkan aku kalau aku juga membenci kakak," pungkasnya menutup kalimat. Bangkit dari posisi duduk sembari terus menatap Adam.     

Remaja jangkung berponi naik itu kini terdiam. Membisu dan mengunci rapat kedua sisi bibirnya. Nada bicara itu tegas, tatapannya tajam, dan ekspresi wajahnya sangat mendukung. Seakan mengesankan padanya bahwa apa yang dikatakan oleh Raffa adalah sebuah keseriusan.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Remang lampu kamar menerangi ruangan. Lamat bibirnya berucap tak tentu kalimat dan pembicaraannya. Tatap mata indah itu terlihat begitu sayu. Seakan tak ada semangat yang sedang membara di dalam dirinya. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantal tumpuan kepala dengan posisi tidur terlentang, sedangkan tangan kanan ia ulurkan naik ke atas sembari menggenggam kunci kecil dan menimang-nimangnya dengan teliti. Haruskah ia mulai memercayai Raffa sekarang ini? Haruskah Davira memeriksa apa yang ada di dalam kotak? Bagaimana jika Raffa hanya memanfaatkan keadaan lemahnya sekarang ini.     

Davira menggelengkan kepalanya. Melempar jauh kunci yang ada di dalam genggamannya dan mendesah ringan. Tubuhnya menggeliat kasar. Berguling di atas ranjang sembari sesekali menyentakkan kakinya kesal. Jujur saja bukan hanya perasaan sedih yang sedang menyelimutinya sekarang ini, namun juga perasaan aneh yang membuatnya kesal dan marah. Gundah juga gulana serta resah dan gelisah. Semua perasaan itu kini bercampur aduk di dalam hatinya. Ia bahkan tak tahu harus mempercayai siapa dan mendengar perintah yang mana? Baginya, dalam keadaan seperti ini semua terasa sama dengan kebohongan yang menyertai.     

Pintu diketuk. Membuyarkan fokus gadis yang kini menoleh ke ambang pintu yang baru saja ditekan. Seseorang mendorongnya. Nampak lirikan mata mengintip masuk ke dalam ruang kamar pribadinya. Ya, sang mama tercinta. Memangnya kau siapa lagi?     

"Tidak belajar?" Diana bertanya dengan kalimat singkat. Lembut nan manis terdengar masuk ke dalam telinga sang putri. Davira kini bangkit dari tempat tidurnya, menggeleng ringan sembari tersenyum kaku.     

"Mama bawakan susu—"     

"Mama! Davira bilang untuk gak memperlakukan Davira seperti anak kecil lagi!" Ia menggerutu. Menatap kesal wanita yang hanya tersenyum geli ke arahnya. Bagi Diana berapa pun usia sang putri sekarang, Davira tetaplah bocah kecil yang suka merengek manja.     

"Lagian persediaan susu masih banyak di kulkas, sayang kalau gak dihabiskan."     

Davira mengerutkan bibirnya. Samar menatap segelas susu hangat yang masih mengepulkan asapnya di udara. Perlahan tangannya meraih itu. Hangat ia rasakan kala permukaan telapak tangannya menyentuh permukaan gelas.     

Davira kini mulai menyeruput susu yang dibuatkan oleh mamanya. Sangat manis! Kata orang, minuman manis dan hangat seperti ini mampu meningkatkan mood dan perasaan yang sedang galau bukan? Ya! Semoga saja.     

"Ngomong-ngomong besok kamu libur bukan?" Diana menyela. Masih dengan nada bicara yang terdengar lembut dan bersahabat.     

Davira menganggukkan kepalanya ringan. Tersenyum kala semua susu yang ia bendung di dalam mulut sukses turun masuk ke dalam perut. Membasahi tenggorokannya yang sudah kering selama beberapa menit yang lalu.     

"Mau menemui Tante Mira?" tanya Diana sukses membuat putrinya menyentakkan kedua alisnya bersamaan.     

Wanita sialan itu lagi!     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.