LUDUS & PRAGMA

91. Derana



91. Derana

0Suasana berkabung. Tak ada yang tersenyum apalagi hingga tertawa terbahak-bahak sekarang ini. Suasana hitam gelap menyelimuti, meskipun di atas sana bentangan awan putih menjadi penghias cakrawala yang berseri. Embusan angin seakan membelai penuh kesedihan, ikut menghantar pemakaman seorang wanita yang baru saja meninggalkan dunia atas seijin sang kuasa. Tamat dan usai sudah kisahnya hidupnya. Baik buruk hanya bisa dikenang oleh orang-orang tercinta yang sedang berduka. Pakaian hitam khas seseorang yang sedang ada di masa duka penuh luka kini terlihat jelas mendominasi. Semua yang datang sibuk dengan aktivitas mereka.     
0

Hanya duduk sembari menatap apapun yang ada di depannya adalah aktivitas yang dipilih oleh Davira. Ditemani seorang remaja jangkung yang begitu gagah dengan jas hitam dipadukan kemeja berkerah dengan warna senada gadis itu tak berucap apapun. Entah mengapa, raut wajahnya terlihat tak asing untuk Arka Aditya yang terus menatap sang sahabat. Remaja itu memang tak datang bersama Davira, sebab orang tuanya yang memboyong dirinya sekalian bersama untuk datang menghadiri upacara pemakaman.     

Bertemu dengan Davira dan melaksanakan amanah dari Diana untuk menjaga sang putri sebab wanita itu sibuk mengurus jenazah juga keluarga yang sedang berduka, Arka tak berani membuka mulutnya. Memang Davira tak akan memakinya dengan umpatan dan sumpah serapah, namun tetap saja melihat gadis yang amat dekat dengannya dalam keadaan seperti ini sukses membuat Arka hanya mampu mengimbangi suasana.     

"Jenazah akan dikremasi beberapa menit lagi. Tante Mira berasal dari Bali, jadi keluarganya meminta untuk melakukan kremasi alih-alih menguburnya." Seseorang menyala Davira. Membuat gadis itu menoleh sembari mendongakkan kepalanya. Dia adalah sang papa. Lelaki berjas yang tak rapi sama sekali. Keadaannya lusuh, tatapannya nanar, dan cara bicaranya gusar. Penampilan yang dilihat Davira pagi ini sangat berbeda dengan laki-laki yang ia temui di rumah sakit kala itu.     

Davira paham benar bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang paling ia cintai. Dimana orang itu adalah harapan terakhir kita untuk bahagia selepas semua hilang meninggalkan kita nantinya.     

Gadis itu mengangguk. Tersenyum aneh sesekali melirik ke arah lain. Berharap sang mama datang dan memutus obrolan mereka.     

"Kamu mau ikut meng-kremasi jenazah Tante Mira?"     

Gadis itu diam sejenak. Haruskah ia menolak? Namun jika Davira menerima itu akan terasa aneh untuknya sekarang. Ia ingat kali terakhir bertemu dengan Mira, gadis itu mengumpatinya menolak segala permintaan baik yang ternyata adalah wejangan terakhir untuk Davira sebagai seorang anak tiri.     

"Davira akan menunggu mama di sini saja." Gadis itu menyahut. Diliriknya Arka yang diam menyimak pembicaraan singkatnya dengan sang papa.     

Laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya paham. Tentu, Davira membenci Mira. Bagi gadis itu menghantar Mira sampai di sini sudah sangat cukup.     

"Arka?" Laki-laki itu kini mengubah arah pandangannya. Menatap remaja laki-laki yang jauh lebih muda usia dari dirinya.     

.     

"Arka akan menjaga Davira. Dia akan kesepian jika sendiri," jawabnya ikut menolak. Bukan beralasan, namun itulah kenyataannya. Arka akan lebih memilih Davira ketimbang harus menghantar orang yang tentunya sangat asing untuknya. Sebab dalam keadaan apapun, bagi Arka Davira adalah nomor satu.     

Ia menghela napasnya kasar. Lagi-lagi mengangguk paham kemudian tersenyum kaku. Meninggalkan dua remaja yang kokoh berada di atas tempat duduknya.     

Arka menatap kepergian pria yang menjadi ayah kandung sang sahabat, sejenak ia ikut menghela napasnya kemudian menoleh pada Davira. Gadis itu menundukkan pandangannya. Samar-samar ia tersenyum aneh. Bukan untuk mengekspresikan betapa puasnya ia melihat kehancuran keluarga papanya. Namun senyumnya seakan mengisyaratkan pada Arka bahwa dirinya sedang mencoba menahan kehancuran yang ada di dalam hatinya dengan terus tetap diam dan tersenyum.     

"Lo udah ketemu sama Alia?" Arka kini menyela. Memantapkan suaranya untuk menginterupsi gadis yang ada di sisinya. Ia menoleh. Ditatapnya dengan penuh kesedihan sahabat yang sudah bertahun-tahun menemani dirinya dalam duka. Gadis itu tahu, mencoba menyembunyikan apapun yang ada di dalam dirinya tak akan membuahkan hasil yang maksimal. Arka bisa membaca semuanya dari sorot mata yang ia berikan.     

"Kenapa gue harus bertemu dengan dia? Keluarga aslinya pasti—"     

"Lo juga keluarganya 'kan?" Arka menyahut. Memotong kalimat gadis yang kini menoleh untuk menatap dirinya. Davira bungkam. Memilih untuk tak banyak memberi respon pada lawan bicaranya sekarang ini. Ia tak bersemangat untuk berdebat. Entah mengapa hatinya diselimuti kabut sekarang ini.     

"Gue bukan keluarga aslinya. Toh juga ada mama di sana." Davira memalingkan wajahnya. Berusaha untuk bersikap tak acuh dengan remaja jangkung yang ada di sisinya sekarang ini.     

Arka menghela napasnya kasar. Benar juga, Davira bukan gadis yang mudah. Membujuknya adalah sesuatu hal tersulit yang pernah dilakukan oleh Arka sebelum ini.     

"Apa yang akan lo lakukan sekarang? Lo hanya akan diam menampakkan wajah lo di sini?"     

Percakapan mereka terhenti kala sosok gadis cantik menyela. Berjalan menerobos kerumunan yang ada di depannya. Penampilannya ... terlihat baik-baik saja. Senyumnya manis mengembang untuk ia berikan pada Davira. Rambutnya tersisir rapi dengan ikat berwarna pekat yang menahan separuh surau pekat itu. Langkah kakinya tegas. Tak ada keraguan untuk menghampiri gadis yang jauh lebih tua darinya. Davira Faranisa.     

Semakin dekat, Davira semakin tegas menangkap raut wajah gadis yang kini menghentikan langkahnya. Berdiri dengan posisi jarak yang bisa dibilang pas dan strategis. Matanya berbinar, bahagia mungkin adalah kesan pertama yang turun dan tertangkap oleh kedua netranya.     

"Kakak Davira datang."     

Davira mengernyitkan dahinya. Menoleh pada Arka yang diam sembari ikut menatap gadis itu aneh. Alih-alih berduka dengan wajah lesu dan pilih membisu masuk ke dalam suasana yang ada, gadis itu seakan ingin memberi tahu pada Davira bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di dalam hati dan fisiknya sangat baik! Tak perlu yang yang dikhawatirkan olehnya terkait keadaan Alia sekarang ini.     

"Hm. Aku datang," sahut Davira lirih. Tak menoleh pada Arka yang kini memberi sorot matanya untuk Davira. Dua gadis itu sangat cocok. Seakan seperti dua tameng besar dengan bintang bersinar di tengahnya.     

"Kakak ingin berbicara denganku sekarang? Aku sangat merindukan kakak." Gadis itu tersenyum di bagian akhir kalimatnya.     

"Aku akan menunggu kakak di taman belakang rumah." Alia melanjutkan kala tak ada suara yang menyela juga suara yang menyanggah dirinya.     

Gadis itu diam sepersekian detik berjalan. Menatap satu persatu remaja yang duduk berjajar dengan tatapan aneh tak mengerti. Alia menutup semuanya dengan senyum manis. Berpaling dan kembali melangkah kakinya untuk pergi menjauh. Davira menatapnya sendu. Langkah kaki gadis mungil itu tak berdosa, namun mengapa ia harus menerima semua kekonyolan ini?     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.