LUDUS & PRAGMA

92. Derana Dua Gadis



92. Derana Dua Gadis

Semilir hawa bayu membelai lembut permukaan kulit gadis yang kini menatap tegas pancuran air kecil yang ada di depannya. Ikan berenang dengan bebas. Sesekali menyembulkan kepalanya di atas permukaan air. Gemercik suara air menjadi melodi penenang yang didukung oleh suasana damai nan tenang. Ada satu kalimat yang membuat gadis itu memutuskan untuk datang dan menemui adik tirinya. Kata Arka, Davira dan Alia mempunyai satu kemiripan. Pandai menyembunyikan apa yang sedang dirasa olehnya.     

"Kakak udah makan?" Gadis kecil itu memulai percakapan. Membuat sebuah suasana canggung terasa kala suara lirih yang asing untuknya masuk ke dalam lubang telinga Davira.     

Gadis itu menoleh. "Kenapa peduli dengan itu? Aku yang seharusnya tanya itu 'kan?" sahut Davira tersenyum kecut. Ia membuat helaan napas berat mengiringinya. Kesan canggung seakan hilang selepas gadis cantik yang ada di sisinya menoleh dan tersenyum.     

"Kakak pasti lega bukan?" Alia tersenyum aneh. Memalingkan wajahnya selepas kalimat singkat terlepas dari celah bibirnya.     

"Harusnya aku merasa begitu 'kan? Aku membenci mama kamu dan bahkan aku tak pernah menyukai kamu. Harusnya aku bahagia dengan adegan hari ini," paparnya berterus terang.     

Alia mengangguk ringan. Samar senyum kembali merekah di atas bibir pucatnya. Tatapan matanya kosong saat ini. Hati anak mana yang tak hancur dan sakit kala melihat jasad sang ibunda diangkat dan dikremasi? Tidak ada! Bahkan Alia ingin menangis sejadi-jadinya sekarang ini.     

"Aku tidak meminta kakak untuk menyukaiku, tapi untuk Ana—"     

"Aku tidak bisa memenuhi semua permintaan mama kamu. Jangan memaksa dan membuatku terbebani," potongnya menyahut. Samar kerutan muncul di atas dahinya. Menatap gadis yang diam dengan tatapan polos. Manik matanya berbinar, indah dan menyayat hati. Genangan air mata mulai muncul terlihat di dalam kelopak matanya. Bohong jikalau gadis itu tak tersayat hatinya selepas mendengar kalimat menyakitkan dari kakak tirinya. Semua pasti menginginkan hubungan keluarga yang harmonis. Tak seperti kisah Cinderella juga tak seperti kisah Putri salju yang diberi racun oleh penyihir. Meskipun akhir bahagia yang didapat, namun Alia membenci kisah itu.     

"Maaf menyakiti kamu di hari buruk ini, tapi jangan berharap padaku. Aku hanya manusia yang akan mengingkari janji kalau aku bosan untuk menjalani hidup."     

"Sebelum kematian mama, ada satu kalimat yang membuatku tak menangis sekarang ini." Alia mengubah arah pembicaraan mereka. Menarik tatapan gadis yang kembali menoleh padanya. Davira membuka lebar kedua telinganya. Tatap matanya fokus pada gadis sejajar posisi duduk dengannya saat ini. Arti tatapan dan nada bicaranya itu, Davira paham benar. Bukan sedih, ia hanya muak! Harus berpura-pura dewasa di saat usianya yang masih dikatakan belia. Ia belum menginjak masa remaja, bahkan ini adalah waktu yang tepat untuk berbahagia, membangun pertemanan, dan hidup harmonis penuh kasih sayang dengan keluarganya. Namun takdir menamatkan mimpi itu. Mengambil harapan terbesar seorang anak untuk bisa menjemput doa baik yang membangun masa depan cerah, seorang ibu. Tuhan mengambil ibu Alia. Mungkin bagi Davira ini hanya pasal kematian seseorang, namun bagi Alia ini adalah awal dari kehancuran hidupnya.     

Benar kata orang, selagi kau masih melihat senyum dan mendengar marahnya ibumu, maka kau akan baik-baik saja.     

"Jika suatu saat nanti mama benar menyerah untuk berjuang hidup lagi, kamu pasti menangis bukan?" Alia menirukan sang mama. Tersenyum kaku dibagian akhir kalimatnya sembari memblokir seluruh fokus milik Davira.     

"Ketika kamu ingin menangis ... lihatlah kakak kamu, Davira."     

Deg! Hatinya panas. Dadanya sesak dan jantungnya berhenti berdetak. Lidah Davira kelu, bibirnya kaku, dan matanya tak mampu berkedip saat ini. Pedih ia rasakan di kedua bola mata indahnya. Dalam sesaat dirinya terbawa oleh suasana. Gadis baik ini adalah korban keegoisan kedua orang tuanya, namun mengapa Davira begitu tak menyukai kehadiran Alia dan adiknya? Bukankah seharusnya ia berbagi kisah dan rasa sakit dengan anak gadis ini? Iya, harusnya! Akan tetapi ia memilih terlihat payah dan lelah sekarang.     

"Mama menganggap kakak adalah hal baik untuk Alia. Mama mengajarkan banyak kisah yang baik untuk membuat Alia dewasa dan menghadapi kemungkinan terburuk seperti saat ini."     

"Berhenti mengoceh," sahut Davira memotong kalimatnya. Ekspresi wajahnya datar dan kaku. Tak ada senyum juga tak ada kilatan amarah di dalam kedua lensa pekatnya. Jujur saja, Davira sendiri tak tahu rasa apa yang sedang mendominasi di dalam dirinya saat ini? Sedih? Marah? Duka? Khawatir? Bahagia? Entah! Davira membenci perasaan aneh seperti ini.     

"Aku terlalu banyak berbicara 'kan? Tapi kalau aku diam aku pasti menangis." Alia menundukkan wajahnya. Membiarkan helai demi helai poni panjang yang ia selipkan di antara kedua telinganya itu turun. Menutupi area pandang Davira untuk bisa menatap dan menelisik perubahan ekspresi wajahnya sekarang ini.     

"Kalau gitu menangis aja." Davira menyahut. Memalingkan wajahnya kembali menatap pancuran air yang ada di bawahnya. Hening sejenak membentang. Tak ada suara apapun juga tak ada sesenggukan yang menyela. Alia hanya diam. Entah sedang memikirkan apa, namun gadis itu tak menangis sama sekali.     

"Aku juga pernah menangis dalam keadaan seperti ini ," ucap Davira kembali bersuara.     

Alia menaikkan pandangannya. Wajahnya menengadah untuk menatap bentangan langit cerah di atasnya. Entah semesta sedang memaki atau memang ini adalah cuaca yang patutnya terjadi.     

Gadis itu kini menatap Davira. Tersenyum sejenak untuk mengapresiasi kalimat dari sang kakak tiri.     

"Kakak pernah menghadiri pemakaman dan menangis?"     

"Maksudku ditinggalkan. Aku pernah menangis sebab ditinggalkan." Percakapan terhenti sejenak. Kembali hening membentang seakan mengisyaratkan bahwa Alia tak mampu berkata apapun lagi. Jikalau ditinggalkan yang dimaksud oleh Davira adalah pasal papanya, maka ia sedang membahas masa lalu menyakitkan sebab sang mama.     

"Kenapa kakak menangis waktu itu?"     

Davira tersenyum aneh. Menoleh, sejenak diam untuk menelisik arti tatapan sang gadis. "Karena tak punya orang yang bisa mengatakan seperti yang mama kamu katakan." Gadis itu mengakhiri percakapan. Bangkit dari tempat duduknya dan menghela napasnya kasar. Davira tak ingin banyak masuk ke dalam obrolan ini. Berat rasanya jikalau ia harus membagi hati dan perasaan seperti ini. Jika egois adalah caranya untuk melindungi diri agar tak terlihat payah dan lemah, maka gadis itu akan melakukannya. Ia tahu, Alia benar hancur sekarang ini. Membutuhkan seseorang yang bisa menjadi tempatnya mengadu. Menyenderkan kepala dan memberikan pelukan hangat untuknya. Davira paham semua itu, namun bukan dia tempatnya. Bukan Davira yang tepat untuk melakukan itu.     

"Kakak mau pulang?" tanya Alia mencegah. Menarik pergelangan tangan gadis yang kini menoleh. Ia melirik genggaman tangan Alia. Basah dirasakan oleh Davira sekarang. Tatapan Davira naik, tepat mengarah pada paras gadis cantik di belakang punggungnya. Ia menangis!     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.