LUDUS & PRAGMA

93. Kisah Ramanda



93. Kisah Ramanda

0"Kenapa kamu sekarang menangis?" Davira melepas genggaman tangan si gadis. Memutar tubuhnya kala tetesan air mata jelas turun membasahi pipi gadis muda di sisinya itu.     
0

Alia mengusap kasar air matanya. Berusaha membendung dengan senyum dan sesekali menggigit bibir bawahnya dengan kasar. Ia tak ingin menangis sekarang ini, sungguh. Dirinya hanya ingin terus tersenyum dan menjadi gadis kuat seperti Davira. Namun dirinya kalah, hati Alia benar-benar hancur sekarang ini. Besok adalah hari pertama dirinya hidup tanpa sang ibu. Sang papa mungkin akan menetap sementara bersamanya, sebelum perjalanan bisnis memisahkan mereka. Alia ingin ikut, namun ia tak bisa berpindah sekolah seenak dirinya sendiri. Semua akan berubah selepas jasad abu yang mama masukkan ke dalam guci. Ucapara sakral dilaksanakan dengan menandakan bahwa semua benar berubah tak sama seperti dulu lagi.     

"Karena kakak bilang bahwa kakak juga menangis waktu itu," ucapnya di sela sesenggukan lirih yang tercipta. Kini isak tangis benar-benar pecah. Suara nyaring nan melengkung seorang gadis yang sedang disiksa oleh semesta masuk ke dalam lubang telinganya. Hati Davira tersayayat. Mendengar isak tangis itu, ia teringat masa tersulit yang pernah Davira alami sebelum ini. Ali sangat mirip dengannya.     

"Jangan menangis seperti itu," lirihnya berucap. Mencoba menelisik arti tatapan gadis yang kini samar memberi sorot lensa padanya. Ia terisak. Matanya penuh air matanya dan hidungnya mulai memerah.     

"Aku memang menangis, tapi gak sampai seperti itu." Davira berdusta. Mencoba untuk menenangkan gadis yang masih terisak kuat dengan suara tangisan yang menyayat hati.     

Alia mengabaikannya. Masih kokoh dalam tangisan tanda ia tak bisa benar menahan semuanya lagi. Alia muak dengan kepura-puraan ini. Membatasi air mata tetap berada di dalam hatinya adalah hal yang membuat dadanya benar-benar sesak.     

Davira melangkahkan kakinya. Mendekat pada gadis yang kini menundukkan wajahnya. Perlahan tangannya terulur. Menepuk pundak Alia untuk memberikan sedikit kebaikan yang ia punyanya. Canggung memang awalnya, namun seiring dengan tepukan tangannya yang mencoba untuk menenangkan gadis di depannya itu isak tangis semakin kuat pula memecah keheningan.     

Sigap tubuh Davira merengkuhnya. Memberi pelukan hangat pada si adik tiri untuk meredam isak tangisnya siang ini. Davira merasakannya. Segala rasa sakit akan kehilangan seseorang yang paling berharga, gadis itu paham benar bagaimana rasanya. Sedih, muak, dan sesak! Hatinya hancur sangat hancur. Seakan semesta mulai berpaling darinya kala itu. Mengambil orang yang paling berharga, sama dengan mengurangi separuh napas kehidupan yang dimiliki.     

Seseorang menatap keduanya sekarang ini. Dalam diam penuh pengharapan, Arka sejenak tersenyum tipis. Melihat sang sahabat mulai lebur di dalam keadaan yang ada, juga melihat Davira memeluknya. Lega dia rasakan sekarang ini. Meskipun ia tahu Davira tak akan pernah menyukai seseorang hanya dengan cara dan waktu yang singkat seperti itu, namun ia paham benar bahwa sahabatnya itu masih memiliki sisi baik di dalam hatinya.     

"Syukurlah dia mirip dengan mamanya bukan mirip denganku." Seseorang menyala fokus Arka. Membuat dirinya menoleh tepat ke arah sumber suara. Seseorang berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Lesu dan lelah. Payah dan lemah adalah kondisinya sekarang ini.     

"Tante Mira sudah—"     

"Kita menunggu Alia, jadi aku mencarinya." Pria itu menyahut. Tersenyum pahit mengiringi kalimatnya.     

"Dia sedang mengenal keadaan. Tinggalkan saja dan—"     

"Dia harus melihat mamanya untuk terakhir kali." Laki-laki itu mempertegas. Mendesah di bagian akhir kalimatnya.     

Arka menganggukkan kepalanya tegas. Mengerti dengan bagaimana cara berpikir pria tua di sisinya itu.     

"Om akan memisahkan pelukan hangat itu? Aku merasa sejuk dan indah melihatnya sekarang ini." Arka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang nan pekat yang ia kenakan saat ini. Lagi-lagi kembangan senyum indah menghias di atas paras tampannya.     

"Aku akan menunggunya sampai Alia puas. Dia mirip dengan Davira, gadis sok kuat yang suka berpura-pura."     

Arka kini menolehkan wajahnya. Menatap pria dengan penampilan kacau yang kini berdiri sejajar dengannya.     

"Tapi Alia sedikit lemah dari Davira dulu. Tangisannya terdengar menyakitkan 'kan?" imbuhnya menyela. Arka diam. Menyeringai samar kemudian menundukkan pandangan. Memainkan ujung sepatunya untuk menggesek dan menggerakkan kerikil di bawahnya.     

"Tapi dulu Davira menangis lebih kencang daripada Alia." Arka menyahut. Tak menatap pria yang ada di sisinya. Masih kokoh dalam permainan asik yang menyita segala fokusnya sekarang ini.     

"Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri saat itu," paparnya melirih.     

"Benar. Itu sebabnya Davira tak pantas punya papa seperti om." Arka menimpali. Tak ada keraguan di dalam kalimatnya. Terlontar keluar begitu saja.     

"Aku bersyukur Davira memiliki sahabat seperti kamu, Arka. Dia adalah gadis yang baik dan dia pantas mendapatkan kehidupan yang baik pula." Ia menepuk pundak remaja yang sedikit lebih tinggi darinya sekarang ini. Arka menoleh. Senyum aneh mengembang di atas paras tampannya. Tak ada yang ingin ia katakan selepas mendengar pertanyaan itu. Sejenak suasana hening membentang di antara keduanya. Membiarkan sepi dengan fokus tatapan yang saling menatap jauh ke depan. Dua gadis masih kokoh dalam pelukannya. Seakan sedang melebur rasa sakit satu sama lain sekarang ini.     

"Soal permintaan Davira kala itu. Tentang mengambil perusahaan om. Om akan menyetujuinya?" Arka mengubah topik pembicaraan mereka saat ini. Tak ingin hening datang mendukung suasana canggung di antara keduanya.     

Laki-laki yang ada di sisinya tersenyum singkat. Menaikkan salah satu sisi bahunya dengan kekehan kecil nan singkat bermakna lain terdengar masuk ke dalam telinga Arka kali ini. Remaja itu menoleh. Memberi tatapan aneh dengan menautkan kedua alisnya samar. Dari pertanyaannya itu, ada yang salah? Ada yang membuatnya harus ditertawakan seperti itu? Dua tahun berselang, seakan hilang lenyap ditelan bumi dan kembali menyembul ke permukaan, keluarga ini kembali hadir menghias di dalam kehidupan sang sahabat.     

Arka mengira bahwa permasalahan selesai dan Davira berhasil melepaskan ikatannya, menghilangkan segala perasaan buruk yang berhubungan dengan keluarga tirinya itu. Namun tak ada angin dan tak ada hujan, mereka muncul kembali. Mengisahkan sebuah cerita dengan menyinggung luka lama yang dimiliki oleh Davira sekarang ini.     

"Kenapa om tertawa? Om menganggap itu lelucon?"     

"Davira hanya ingin balas dendam bukan?" Ia menyahut. Menarik pundak remaja yang ada di sisinya dan merangkulnya kuat. Menepuk-nepuk pundak Arka untuk memberi pengertian terhadap remaja itu. Baginya baik Arka maupun Davira mereka sama saja. Sama-sama remaja labil yang belum bisa mengolah emosi dengan baik.     

"Toh juga, perusahaan itu akan jatuh padanya atau Alia. Aku tidak bisa mengolahnya di usia yang semakin tua." Ia memungkaskan kalimatnya. Sukses membuat Arka menoleh sembari menegaskan arti tatapan yang ia berikan untuk si papa sahabat dekatnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.