LUDUS & PRAGMA

97. Kata Hati



97. Kata Hati

0Cairan merah kental kini mulai merembes keluar menembus permukaan kain kasa yang dibalutkan di atas kulit. Suasana hening, dengan sesekali tersela oleh rintihan remaja jangkung yang duduk di tepi sofa. Davira menatapnya ngeri, sesekali menyipitkan matanya sembari mengernyitkan dahinya tajam. Ia tak menyangka, rencana bantuan itu melibatkan sesuatu yang menyeramkan begini. Tangan remaja itu terluka. Meskipun darah tak lagi menetes, luka sudah terobati juga sudah ditutup dengan benar, namun tetap saja. Bagi Davira itu terlalu berlebihan. Banyak alasan yang bisa digunakan oleh Raffa untuk memancing Adam keluar. Memberikan dirinya sebuah jeda waktu untuk mengulik apapun yang masih tertutup oleh sebuah rahasia sang kekasih.     
0

Dari semua yang terjadi ada satu fakta yang tak bisa disanggahnya lagi, gadis itu mendapatkan semua yang ia inginkan. Foto dan apapun benda gila yang ada di dalam kotak, Davira tak mengambil semuanya. Ia hanya mengambil beberapa foto dan memasukkan benda sialan itu ke dalam tas selempang kecil yang menggantung di sisi pundaknya.     

"Selesai." Adam menyela rintihan sang adik. Perban indah membalut tangan remaja tampan berwajah identik dengannya itu.     

"Lain kali hati-hati," perintahnya dengan lembut. Remaja itu menepuk-nepuk punggung tangan sang adik. Diam tak bersuara juga tak menciptakan sedikitpun celah di atas bibir merah mudanya adalah aktivitas yang dipilih oleh Raffa sekarang ini. Toh juga, tak ada yang ingin ia katakan. Semua kejadian ini adalah rencana yang dirinya susun dengan baik untuk membantu gadis yang dicintainya.     

"Aku akan membersihkan pecahanan kacanya di dapur." Davira menyela. Niat hati ingin bangkit dan mulai melakukan apa yang otaknya rencanakan saat ini. Jika bukan untuk Adam, ia melakukan itu untuk Raffa. Setidaknya remaja itu sudah banyak berkorban hari ini. Merelakan tangannya untuk terluka hanya untuk menarik perhatian dari Adam.     

"Tidak, terlalu berbahaya. Biar aku aja." Adam menyela. Menarik pergelangan sang kekasih untuk memaksanya kembali duduk.     

"Kamu jaga Raffa aja. Aku akan segera kembali," imbuhnya melanjutkan. Davira diam sejenak ditatapnya Raffa yang terdiam membisu. Menjadi pendengar baik untuk adegan kali ini.     

Adam kembali menganggukkan kepalanya. Memberi pengertian pada sang kekasih untuk tak perlu melakukan hal seperti itu. Jadi, Adam menundukkan sang kekasih dengan lembut. Membelai rambut Davira sembari tersenyum manis. Pergi berlalu selepas memastikan bahwa Davira tak menolak idenya saat ini.     

Gadis itu menatap kepergian sang kekasih. Setiap langkah yang ia ciptakan, seakan terasa begitu sendu untuknya. Datangnya Davira ke sini bukan untuk menjenguk atau berkunjung, melainkan mengambil sesuatu yang membuat hatinya mengganjal kali ini.     

Raffa berdeham ringan. Menarik pandangan gadis yang duduk sedikit jauh darinya. Jikalau bukan sebab Adam yang memanggilnya untuk turun sebab tak ingin Davira menunggu sendirian terlalu lama di dalam kamarnya, gadis itu tak akan duduk di sini sekarang. Ia akan memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Sebab dirinya yakin, Raffa belum mengetahui semua rahasia yang disimpan sang kakak di dalam kamar ini.     

"Makasih," ucap Davira melirih. Menatap balutan perban yang melingkar rapi di tangan kiri remaja itu.     

"Kakak sudah mengambilnya?" tanya Raffa menyahut. Remaja itu menatapnya penuh harap. Sendu sedikit sayu sorot mata ia berikan untuk Davira. Gadis yang dituju diam sejenak. Melirik tas kecil yang kini ada di atas pangkuannya. Entah mengapa balutan busana yang ia kenakan, seakan-akan mendukung kesan yang sedang terjadi di dalam hati gadis itu.     

"Kenapa menipuku?" Davira menyahut. Manik matanya indah berbinar. Menunggu jawaban dari remaja yang duduk sedikit jauh darinya itu.     

Remaja itu menyunggingkan senyum seringai. "Bisa kembalikan kuncinya?" Raffa mengulurkan tangannya. Tepat di depan wajah gadis yang masih diam tak percaya dengan ulah remaja yang satu tahun lebih muda darinya itu. Nada bicaranya sangat tenang, ekspresi wajahnya datar, bahkan sekarang ia tertawa kecil nan singkat.     

Davira sigap merogoh kunci kecil yang ia simpan di dan tas selempang miliknya. Menyodorkan pada remaja sialan yang sudah berani mempermainkan dirinya sebelum ini. Ia tak tahu, sejak kapan Davira bisa termakan omongan remaja satu itu? Bukankah sebelumnya Davira selalu mengabaikan Raffa?     

"Kenapa menipuku?" Gadis itu mengulang pertanyaan. Mempertegas kalimat agar Raffa mau menjawabnya. Davira tak ingin jawaban yang muluk-muluk. Tak ingin juga kalimat pujian atau kalimat baik yang masuk ke dalam telinganya guna melegakan dan menjaga perasaannya, toh juga semua sudah terlanjur seperti ini bukan? Hatinya sudah terlanjur lelah dan letih.     

"Kalau aku gak memberikan kunci ini ... kakak akan percaya dengan apa yang Raffa katakan?" Skakmat! Kalimat itu selalu saja membuat dirinya terbungkam. Tak bisa berkata dan berucap sepatah katapun. Ia tak punya alasan untuk menolak ini. Dirinya sadar, bahwa ia bukan gadis mudah yang anak cepat lunak dan luluh. Keras kepala adalah salah satu sifat unik yang dipunyai oleh seorang Davira Faranisa.     

"Juga, kalau aku tak membuat cerita macam itu kakak akan datang hari ini?"     

Sialan betul remaja satu ini! Tak cukup dengan hantaman satu kalimat yang memukul hatinya, Raffa kembali mengimbuhkan. Menyudutkan posisi Davira menjadi lebih sulit lagi. Ia mengakui, bahwa dirinya hanyalah seorang gadis bodoh yang keras kepala. Tak mau mendengar orang lain dan menganggap itu sebagai kebagian. Dirinya hanya percaya dengan keputusannya saja, sebab mempercayai orang lain tak selalu mendapat hasil yang baik dan sebuah keberuntungan.     

"Maaf karena membohongi kakak. Tapi aku lega karena kakak datang ke sini." Raffa mengimbuhkan. Tersenyum ringan menutup kalimatnya.     

"Aku melihat semuanya, tapi aku hanya mengambil beberapa." Davira menimpali. Ringan tatapan dengan pandangan teduh yang menenangkan. Gadis itu tak lagi mampu memalsukan senyum dalam keadaan begini. Seakan menyerah dengan kuasa semesta dirinya hanya bisa mengikuti alur dan langkah kaki yang digerakkan oleh takdir.     

"Kenapa? Kakak bisa mengambil semua. Sebab jika itu hilang, Kak Adam hanya akan—"     

"Aku merasa hanya itu yang aku butuhkan nanti. Aku tak ingin serakah lagi," paparnya memotong.     

"Kenapa kakak gak memberi tahu Kak Davina tentang ini?" Raff kembali bertanya. Seakan tak puas dengan obrolan mereka saat ini, ia ingin terus mengorek apapun yang ada di dalam hati Davira. Sebab semua jawaban terasa tak memuaskan.     

Davira menghela napasnya kasar. Menaikkan kedua pundak bersamaan. Ia melipat bibirnya. Sejenak diam untuk mengambil satu ancang-ancang yang bagus.     

"Karena belum waktunya. Aku hanya ingin mencoba mempercayai Adam sekali lagi," tukasnya mempersingkat.     

"Kalau Kak Adam mengkhianati kakak lagi?"     

"Berarti aku kalah," sahutnya tanpa keraguan. Tatapan matanya kini terasa benar-benar tulus penuh makna. Di wajah itu, Raffa melihat sebuah kekhawatiran, juga sebuah amarah yang menggebu-gebu dan rasa sedih dalam duka yang amat dalam. Namun helaan napas itu menandakan bahwa Davira sedikit lega. Entah sebab apa, namun setidaknya waktu memberikan celah dirinya untuk bisa bernapas panjang.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.