LUDUS & PRAGMA

99. Nayanika



99. Nayanika

0"Boleh aku meminta sesuatu?" tanya Adam menatap dalam kedua manik indah sang kekasih. Davira diam. Mengikuti segala hal yang diberikan oleh Adam sore ini. Tak ada gerak-gerik mencurigakan dari sang kekasih. Semuanya masih dalam ambang batas normal. Remaja itu tak sedang bergairah sekarang. Tatapannya matanya teduh seakan ingin mencoba menenangkan hati sang kekasih yang sedang gundah, gelisah, dan gulana.     
0

"Apa?" Gadis itu menyahut. Nadanya lirih dan bersahabat. Senyum manis menutup kalimat singkatnya itu.     

Sejenak hening membentang di antara keduanya. Dalam diam tatapan Adam menyusuri segala bagian wajah sang kekasih. Bisa dikatakan penampilan Davira sedikit kacau. Entah memang sengaja agar terlihat menjiwai suasana yang terjadi atau memang itu benar berasal dari dalam dirinya. Sebahagia apapun Davira sore ini, Adam paham kalau semua itu tak tulus datang dari dalam hatinya. Ada sebuah kepalsuan untuk menutup luka dan kabut tebal yang menyelimuti senyum bahagianya.     

"Aku ingin bertemu dengan keluarga tiri kamu. Setidaknya aku datang untuk melayat." Adam meminta. Memohon dengan belas kasih sembari mengusap ujung dagu sang kekasih dengan menggunakan ibu jarinya. Ia ingin memohon. Bagaimanapun caranya, Adam ingin meminta sedikit kelonggaran hati dari Davira sore ini.     

Gadis itu diam. Hendak memalingkan wajahnya, namun sang kekasih mencegah. Menarik dagu itu dengan sedikit kuat. Tak berniat untuk berbuat kasar, namun Adam yakin sang kekasih akan paham maksud dari tarikannya itu.     

"Jangan menghindar." Adam menarik pandangan. Jernih matanya menatap sang kekasih. Ia tahu, Davira akan menolaknya, lagi. Bukan pasal hubungan intim di sini, namun ia akan menolak dengan tegas untuk Adam tak masuk ke dalam urusan pelik keluarga tirinya.     

Davira malu? Untuk apa! Toh juga, Adam sudah mendengar semua kisah tentang papanya dulu. Davira menceritakan itu tanpa ada keraguan di dalam hatinya. Jadi jikalau seseorang mengira bahwa Davira malu akan latar belakang keluarnya, itu alasan yang salah! Ia tak ingin Adam ikut campur ke dalam masalah keluarga tirinya sebab Davira tak ingin membebani sang kekasih. Davira hanya ingin hidup bahagia dengan Adam Liandra Kin. Menjadi pasangan harmonis yang tak terpengaruh oleh apapun lagi. Impiannya ... sangat sederhana.     

"Aku sudah bilang berapa kali, aku tak akan mengijinkan itu." Davira menyahut. Samar dahinya berkerut dengan kedua alis yang duduk di atas sepasang mata bulatnya itu bertautan. Sekali lagi, ia tak suka Adam mengenal keluarga tirinya. Cukup tahu kisah, para tokoh yang berperan, dan situasi yang terjadi sekarang ini. Tak perlu masuk menjadi lakon dan wayang yang memperagakan adegan.     

"Kenapa? Beri aku satu alasan yang lebih baik dari pada 'aku tak ingin membebanimu dan membuatmu masuk ke dalam permasalahan yang pelik.' Tak ada bukan?" Adam menyela. Ia tak ingin kalah kali ini. Setidaknya, dalam keadaan seperti ini Adam ingin menunjukkan betapa ia menghargai setiap inci kisah dan kehidupan sang kekasih.     

"Kamu mau cari muka sama papa Alia? Adam ... kamu tak perlu melakukannya. Waliku hanya mama," ucap Davira melirih. Memendam kesal kala sang kekasih memulai berdebat dengannya.     

"Dia adalah papa kamu. Setidaknya aku harus menyapa dan memberi bela sungkawa untuk keadaan ini."     

"Please, Davira." Adam kembali mengimbuhkan. Ia benar-benar memohon kali ini. Semakin tegas mengusap kedua pipi gadis yang menatapnya penuh luka.     

"Aku hanya akan menyapa dan membeli bela sungkawa. Tak lebih."     

"Janji!" Pembicaraan terhenti kala Adam mengacungkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah sang kekasih. Memohon dengan kedua mata yang berbinar hebat. Davira menundukkan wajahnya. Menghela napas kasar kemudian berdecak lirih.     

Persetanan gila! Selalu saja dirinya luluh begini!     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Musik jazz menjadi pemecah keheningan yang membuat suara siapapun akan terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga. Arka --remaja berbalut hoodie tebal berwarna cokelat muda yang apik di padukan celana jeans pekat sepekat sepasang sepatunya itu-- sengaja memilih tempat yang paling jauh dari sumber suara. Memang tak tenang, namun cukup untuk membuat suasana sedikit lebih baik dari sebelumnya.     

"Berisik banget, sialan." Lirih suaranya menyela aktivitas makan Arka. Remaja itu mendongakkan wajahnya. Untuk ketiga kalinya, gadis itu mengumpat. Bukan pada dirinya, namun pada semangkuk mie pedas yang dibubuhi potongan cabai merah dengan satu telur besar yang menghias di sisinya.     

"Kalau tau berisik kenapa ngajak datang ke sini?" Remaja itu menggerutu. Meletakkan garpu dan sendok dengan kasar. Mencuri perhatian gadis yang baru saja memasukkan gumpalan mie di dalam mulutnya.     

"Karena lo minta gue yang traktir!" Ia ikut menggerutu. Kasar memutar sumpit di dalam sela jari jemarinya kemudian tepat mengarahkan benda itu menuju ke depan wajah tampan milik Arka.     

"Kalau dipikir-pikir, bukankah lo terlalu mengada-ada? Maksud gue, Davira yang berduka, tapi lo datang dan mengatakan bahwa lo butuh hiburan terus suruh gue traktir semua makanan ini?" Rena mulai menelisik. Memutar balik waktu sebelum mereka benar datang dan memesan.     

Ya, Arka yang mendatanginya. Mengajak Rena untuk makan sore bersama sembari indah menjemput senja datang. Arka berkata, bahwa berita buruk menimpa Davira. Salah satu keluarga gadis itu dipanggil oleh sang pencipta, sedih rasanya. Ingin menangis, namun ia adalah seorang laki-laki. Arka meminta Rena untuk berbaik hati padanya kali ini saja. Dengan wajah lusuh penuh dengan duka, Arka meminta Rena untuk menjajakannya makanan enak sore ini.     

"Lo juga mau," kekehnya tertawa ringan.     

Rena menatapnya tajam. Menyeringai samar sesaat kalimat itu keluar begitu saja dari celah mulut Arka Aditya.     

"Lo juga mau?!" ulangnya penuh penekanan.     

Arka mengangguk ringan. Tersenyum kuda lalu melanjutkan aktivitas makannya.     

"Sialan emang lo itu. Gue bahkan belum sempat memberi ucapan duka sama Davira," tuturnya kesal.     

"Dia pasti sedang bersama Adam sekarang. Jadi jangan khawatir."     

Rena menghela napasnya. Mengangguk-anggukkan kepalanya samar. Benar juga, Davira pasti sedang mengadu dukanya pada sang kekasih.     

"Ngomong-ngomong, lo tau sebuah rahasia adiknya Adam?" Rena mengubah topik pembicaraan mereka. Menatap Arka dalam-dalam tanpa mau mengubah sorot matanya sekarang ini.     

"Raffa?" tanya Arka menegaskan.     

"Apa yang lo tau tentang Raffa?"     

Remaja itu sejenak bungkam. Mengunyah kasar makanan yang ada di dalam mulutnya kemudian menelannya kasar. Kembali menatap gadis yang menunggu jawaban pasti keluar dari mulutnya sekarang ini.     

"Dia tampan, bahkan menurut gue lebih tampan dari si brengsek Adam." Arka memulai. Kecewa? Sedikit! Jawaban Arka membuat Rena sedikit kecewa.     

"Lagi?"     

"Dia lebih pintar dari kakak. Nilai bahasa Inggris-nya bagus banget," ucapnya menarik gelas yang ada di sisinya. Meneguk segelas es teh manis dengan kasar. Arka kini ber-ah ringan. Merasakan lega yang amat sangat nikmat.     

"Lagi?!" sahut Rena malas.     

"Dia menyukai Davira." Arka menutup kalimatnya. Tatapan Rena sukses mendarat tepat di atas paras tampan remaja itu.     

"Lo tau tentang itu?"     

"Gue adalah Arka Aditya," pungkasnya menyombong.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.